Tafsir

Ragam Wajah Manusia di Akhirat

(QS al-Qiyamah [75]: 20-25).

كَلَّا بَلۡ تُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ  ٢٠ وَتَذَرُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ  ٢١ وُجُوهٞ يَوۡمَئِذٖ نَّاضِرَةٌ  ٢٢ إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٞ  ٢٣ وَوُجُوهٞ يَوۡمَئِذِۢ بَاسِرَةٞ  ٢٤ تَظُنُّ أَن يُفۡعَلَ بِهَا فَاقِرَةٞ  ٢٥

Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kalian mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah (kaum Mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka meliha. Wajah-wajah (kaum kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat  (QS al-Qiyamah [75]: 20-25).

 Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Kallâ bal tuhibbûna al-‘âjilah (Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kalian mencintai kehidupan dunia). Ayat ini diawali dengan kata kallâ (sekali-kali janganlah demikian).

Ada yang menafsirkan kata tersebut dengan haqq[an] (benar-benar). Di antaranya adalah al-Khazin.1 Menurut Fakhruddin ar-Razi, itu penafsiran semua mufassir. Maknanya: Kalian benar-benar mencintai kehidupan sekarang dan meninggalkan akhirat. Artinya, sesungguhnya mereka mencintai dunia dan berbuat untuk dunia seraya meninggalkan akhirat dan berpaling dari akhirat.2

Ada pula yang memaknainya sebagai li al-rad’ (penolakan, sanggahan). Menurut asy-Syaukani, kata tersebut bermakna li al-rad’, yakni sebagai penolakan terhadap sikap tergesa-gesa sekaligus dorongan untuk bersikap pelan dan teliti.3 Penjelasan senada dinyatakan al-Baidhawi.4 Al-Zamakhsyari juga memaknai kata itu dengan rad’[un] (mencegah) Rasulullah saw. dari kebiasaan tergesa-gesa dan mendorong untuk hati-hati dan waspada.5

Menurut Ibnu ‘Athiyah, kata kallâ di sini ditujukan kepada orang Quraisy. Ayat ini membantah mereka atas perkataan mereka yang menolak syariah. Dengan demikian kata kallâ bermakna: Tidak seperti yang mereka katakan.6

Hal senada juga dikemukakan oleh Abu Bakar al-Jazairi. Menurut al-Jazairi,  kata kallâ di sini bermakna: Urusannya tidak seperti yang kalian sangka bahwa tidak ada kebangkitan dan pembalasan.7

Adapun kata al-‘âjilah (segera, cepat-cepat) merupakan bentuk muannats dari kata al-‘âjil. Artinya, al-waqt al-hâdhir (waktu yang sekarang).8 Lawan dari kata al-âjil wa al-âjilah (waktu yang akan datang).9 Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud adalah negeri dunia dan kehidupan di dalamnya.10

Kesimpulan tersebut dapat dipahami dari ayat sesudahnya yang mengkontraskan kata al-‘âjilah  dengan kata al-âkhirah (akhirat). Lawan kata akhirat tak lain adalah dunia. Dengan demikian ayat ini menyatakan bahwa kalian mencintai kehidupan dunia.  

Tampak jelas mukhâthab ayat ini telah beralih dari ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya, mukhâthab-nya adalah Rasulullah saw. Dalam ayat ini jelas bukan beliau. Hal ini dapat dipahami dari kata bal  yang mengandung li al-idhrâb.11 

Menurut al-Imam al-Qurthubi dan al-Khazin, mukhâthab atau orang yang diseru ayat ini adalah orang kafir. Al-Qurthubi  berkata, “Namun kalian, wahai orang-orang kafir Makkah, mencintai al-‘âjilah. Artinya, dunia dan kehidupan di dalamnya.”12

Menurut Syihabuddin al-Alusi, khithâb ayat ini bersifat umum untuk semuanya.13 Hal yang sama juga dikatakan Ibnu Jarir al-Thabari. Menjelaskan ayat ini, mufassir tersebut berkata: Allah SWT berfirman kepada hamba-hamba-Nya yang mengutamakan kehidupan akhirat, “Masalahnya tidak seperti yang kalian katakan, wahai manusia, bahwa kalian tidak akan dibangkitkan setelah kematian dan tidak akan dibalas amal-amal kalian. Akan tetapi, apa yang kalian katakan itu disebabkan oleh kecintaan kalian pada dunia yang sebentar dan kalian lebih mengutamakan syahwat kalian daripada akhirat.”14

Az-Zamakhsyari juga  menyatakan bahwa seolah-olah Allah SWT berfirman: “Justru kalian, wahai anak Adam, karena diciptakan suka tergesa-gesa dan dibuat memiliki watak seperti itu, kalian tergesa-gesa dalam segela sesuatu. Lalu kalian pun mencintai al-‘âjilah (kehidupan yang sekarang).”15

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa tadzarûna al-âkhirah (dan meninggalkan [kehidupan] akhirat).

Jika terhadap dunia mereka sangat cintai, sebaliknya terhadap akhirat mereka justru meninggalkannya. Kata tadzarûna  bermakna tadda’ûna (kamu meninggalkan) akhirat.16

Asy-Syaukani berkata, “Kalian mencintai dunia dan meninggalkan akhirat sehingga tidak beramal untuknya.”17

Al-Khazin berkata, “Kalian lebih memilih dunia daripada Hari Akhir dan beramal untuknya.”18

Menurut Ibnu Katsir ayat ini menerangkan penyebab yang mendorong mereka mendustakan Hari Kiamat dan menentang al-Quran. Mufassir tersebut berkata, “Sesungguhnya yang membuat mereka mendustakan Hari Kiamat dan menentang wahyu yang benar dan al-Qur’an al-‘Azhim yang diturunkan Allah SWT kepada Rasul-Ny adalah karena ambisi besar mereka terhadap kehidupan dunia yang sekarang dan melalaikan akhirat.”19

Menurut Abu Bakar al-Jazairi, yang menjadikan kalian mendustakan Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan adalah kecintaan terhadap kehidupan saat ini, yakni dunia beserta kenikmatan dan kesenangannya. Kalian meninggalkan akhirat, yakni kehidupan akhirat, karena dibebani untuk shalat, puasa dan jihad serta menjauhi berbagai kenikmatan dan kesenangan.20

Setelah menggambarkan kecintaan mereka terhadap kehidupan dunia dan kelalaian mereka terhadap akhirat, kemudian Allah SWT mengingatkan dengan kejadian di akhirat yang mendorong mereka untuk mementingkan akhirat dan memberitakan berbagai keadaan manusia pada saat itu dengan firman-Nya: Wujûh[un] yawmaidzin nâdhirah (wajah-wajah [kaum Mukmin] pada hari itu berseri-seri).

Kata yawmaidzin (pada hari itu) dalam ayat ini merujuk pada ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang al-âkhirah (akhirat) yang mereka lalaikan. Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan para mufassir, maksud dari yawmaidzin (pada hari itu) adalah Hari Kiamat.21

Ayat ini memberitakan potret wajah-wajah manusia pada hari itu. Ada wajah-wajah yang digambarkan nâdhirah. Kata tersebut dari kata al-nadhdhârah yang berarti bagus, indah dan segar.22

Pengertian itu pula yang dijelaskan para mufassir tentang makna kata tersebut. Menurut Ibnu Abbas, kata tersebut bermakna al-hasan (bagus). Menurut Ibnu Katsir, maknanya adalah bagus, indah, bercahaya dan gembira.23

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, makna  nâdhirah adalah hasanah jamîlah min al-na’îm (bagus dan indah karena merasa senang).24 Al-Zajjaj berkata, “Wajah-wajah merasa riang dengan kenikmatan surga. Itu sebagaimana dalam QS al-Muthaffifin [83]: 24).”25

Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh banyak mufassir lainnya. Intinya, pada Hari Kiamat ada wajah-wajah yang indah, elok, berseri-seri, bercahaya dan riang-gembira.

Kendati tidak disebutkan dalam ayat ini, jelas bahwa para pemilik wajah tersebut adalah kaum yang bertakwa. Menurut Abu Bakar al-Jazairi, wajah yang indah, berseri-seri dan bercahaya itu karena ruh pemiliknya ketika di dunia disinari dengan cahaya iman dan amal shalih.26

Lalu diberitakan bahwa wajah-wajah tersebut: Ilâ Rabbihâ nâzhirah (Kepada Tuhannyalah mereka melihat). Kata nâzhirah berasal dari kata an-nazhar (melihat, memandang). Ayat ini memberitakan bahwa orang-orang yang berwajah bagus, indah dan ceria itu memandang Tuhannya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ikrimah, Ismail bin Abu Khalid dan banyak syaikh dari Kufah yang berkata: Tanzhuru ilâ Rabbihâ nazhar[an] (Wajah-wajah itu benar-benar memandang wajah Tuhannya).27

Pendapat tersebut juga dipilih Ibnu Jarir ath-Thabari. Menurut ath-Thabari, makna ayat ini adalah tanzhuru ilâ Rabbihâ (memandang Penciptanya). Ini juga didasarkan hadis riwayat Ibnu Umar.28

Ibnu Katsir juga menuturkan makna ayat ini adalah melihat Tuhannya dengan terang-terangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahulLâh di dalam kitab sahihnya:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَاًنًا

Sesungguhnya kalian kelak akan melihat Tuhan kalian dengan terang-terangan.29

Ibnu Umar berkata, “Ahli surga yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah orang yang dapat memandang wajah-Nya pada waktu pagi dan petang.” Kemudian beliau membaca dua ayat ini.30

Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama. Yang dimaksud ayat ini adalah melihat Tuhannya dengan matanya tanpa hijab.31

Bahkan menurut al-Khazin, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat bahwa melihat Allah terjadi di akhirat. Kaum Mukmin melihat Allah SWT dan tidak bagi kaum kafir. Dalilnya adalah QS al-Muthaffifin [83]: 15).32

Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa ini termasuk perkara yang disepakati oleh para Sahabat, Tâbi’în dan salaf al-ummah, sebagaimana juga disepakati oleh para imam.33

Kemudian Allah SWT berfirman: Wawujûh[un] yawma’idzin bâsirah (Wajah-wajah pada hari itu muram). Jika ada yang wajahnya indah, cerah, berseri-seri dan riang gembira maka ada pula yang sebaliknya. Wajah mereka digambarkan bâsirah (muram). Menurut Qatadah, kata tersebut bermakna kâlihah (murung, muram, cemberut).34

Ibnu Zaid dan Qatadah dalam riwayat lain menafsirkan kata itu dengan ‘âbisah (muram).35 Asy-Syaukani memaknainya sebagai kâlihah ‘âbisah kaîbah (cemberut, merengut, dan bersedih).36

Semua penjelasan tersebut, meskipun berbeda-beda redaksinya, maknanya berdekatan. Pada hari itu ada orang-orang yang berwajah muram, murung, cemberut dan semacamnya yang menunjukkan kesedihan dan ketakutan. Mereka adalah kaum kafir37 atau kaum fâjir.38

Kemudian disebutkan: Tazhunnu an yuf’ala fâqirah (Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat). Ini menerangkan penyebab wajah mereka muram, murum dan cemberut. Pasalnya, mereka mengetahui dahsyatnya azab yang akan menimpa mereka. Menurut Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan wujûh (wajah-wajah) dalam ayat sebelumnya adalah ash-hâb al-wujûh (pemilik wajah).39 Dengan demikian ayat ini memberitakan kaum yang berwajah muram itu yakin akan ditimpa malapetaka yang amat dahsyat.

Menurut Ibnu Katsir, kata tazhunnu di sini bermakna tastayqînu (meyakini).40 Menurut al-Jazairi bermakna tûqinu (meyakini, memastikan).41 Al-Imam al-Qurthubi juga memaknai frasa itu dengan tûqinu wa ta’lamu (meyakini dan mengetahui).42 Mereka meyakini bahwa mereka akan ditimpa fâqirah.

Menurut Mujahid, fâqirah berarti dâhiyah (bencana, malapetaka). Asy-Syaukani memaknai kata ini dengan malapetaka yang besar.43 Abu Bakar al-Jazairi pun menafsirkan kata ini dengan dâhiyah (malapetaka besar yang menghancurkan tulang punggung).44

Menurut Abdurrahman as-Sa’di kata itu bermakna: ‘uqûbah syadîdah (hukuman yang pedih) dan adzâb azhîm (azab yang berat). Oleh karena itu wajah mereka berubah dan menjadi masam.45

Dengan demikian ayat ini menerangkan bahwa kaum kafir merasa sangat ketakutan yang tercermin dalam wajah-wajah mereka karena dahsyatnya azab yang akan menimpa mereka. As-Suddi berkata, “Mereka sangat yakin bahwa mereka pasti binasa.” Ibnu Zaid juga berkata, “Mereka yakin akan masuk neraka.”46

Beberapa Pelajaran Penting

Pertama: Penyebab manusia mengingkari Hari Kebangkitan. Ayat ini menyebutkan adanya manusia yang sangat mencintai dunia dan melalaikan akhirat. Sikap itulah yang menyebabkan mereka mendustkan Hari Kebangkitan dan Pembalasan. Karena itu  pengingkaran mereka terhadap Hari Kebangkitan dan Pembalasan sesungguhnya bukan didasarkan pada argumentasi, bukti dan dalil yang kuat. Mereka tidak bisa membantah berbagai dalil dan bukti yang memastikan adanya Hari Kiamat.

Kedua: Gambaran wajah-wajah kaum yang bertakwa di akhirat. Wajah mereka pada hari itu sangat indah, elok, cerah, berseri-berseri, bercahaya, dan riang gembira. Berita senada juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS ‘Abasa [80]: 38-42 dan al-Ghasyiyah [88]: 8-10).

Ketiga: Kenikmatan penghuni surga berupa dapat melihat Allah SWT dengan penglihatan mereka. Menurut para ulama ayat ini memberitakan bahwa kaum Mukmin akan melihat Allah SWT di akhirat. Hal ini juga dikuatkan banyak hadis-hadis sahih. Menurut Ibnu Katsir, hadis-hadis itu diriwayatkan melalui berbagai jalur mutawâtir menurut para imam ahli hadis sehingga tidak mungkin ditolak atau dibantah.47

Imam an-Nawawi berkata: Ketahuilah sesungguhnya mazhab Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa melihat Allah SWT adalah mungkin dan tidak mustahil menurut akal. Mereka juga sepakat bahwa itu terjadi di akhirat. Kaum Mukmin akan melihat Allah SWT, namun tidak bagi kaum kafir.48

Keempat: Wajah kaum kafir dan fâjir di akhirat. Ayat ini juga mengabarkan tentang adanya wajah-wajah orang yang masam, muram, murung, cemberut dan menghitam karena ketakutan. Itu terjadi karena mereka sangat yakin terhadap azab yang akan menimpa mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya.

Menurut para ulama, para pemilik wajah tersebut adalah kaum kafir dan fâjir. Hal ini juga diberitakan dalam banyak ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS Ali Imran [3]: 106, ‘Abasa [80]: 38-42 dan al-Ghasyiyah [88]: 2-4).

Semoga kita termasuk orang-orang yang dikarunia berwajah indah, cerah, berseri-seri, bercahaya dan riang gembira. Bukan sebaliknya; yang musam, murung, lusuh dan menghitam.

WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [KH. Rokhmat S. Labib]

 

Catatan kaki:

1        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 372

2        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 729. Lihat jiga dalam al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 264

3        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 407

4        Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, 1998), 266

5        Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab, 1987), 661

6        Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 405

7        Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1993), 477

8        Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Qâhirah, vol. 2 (tt: Dar al-Dakwah, tt), 586

9        Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 11 (Beirut: Dar Shadir, tt), 425

10      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: al-Maktabah al-Mishriyyah, 1992), 107; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 372

11      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 173

12      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 372

13      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995). 157

14      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 70

15      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730

16      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107

17      Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 407

18      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 372

19      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 279

20      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 478

21      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 71; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl, vol. 4, 372; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 478

22      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl, vol. 4, 372

23      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 279

24      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 71

25      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730

26      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 478

27      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 72

28      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 73

29      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 279

30      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107

31      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 372. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 407; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730

32      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî  Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 373

33      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 280

34      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 74

35      Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 74. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 110

36      Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 407

37      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 110; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 407

38      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281

39      Ibnu Athuyah. Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 405

40      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281

41      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 478

42      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 110

43      Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 407

44      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 477

45      Al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 900

46      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281

47      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281

48      An-Nawawi, Syarh Muslim, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, 1349 H), 134

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close