Tafsir

Kebenaran Al-Quran dan Perintah Bersabar

(Tafsir QS al-Insan [76]: 23-26)

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ تَنزِيلٗا  ٢٣ فَٱصۡبِرۡ لِحُكۡمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعۡ مِنۡهُمۡ ءَاثِمًا أَوۡ كَفُورٗا  ٢٤ وَٱذۡكُرِ ٱسۡمَ رَبِّكَ بُكۡرَةٗ وَأَصِيلٗا  ٢٥ وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَٱسۡجُدۡ لَهُۥ وَسَبِّحۡهُ لَيۡلٗا طَوِيلًا  ٢٦

Sungguh Kami telah menurunkan al-Quran kepada kamu (Muhammad) dengan berangsur-angsur. Karena itu bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu. Janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka. Sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang. Pada sebagian malam, bersujudlah kepada-Nya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada malam yang panjang (QS al-Insan [76]: 23-26).

 Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Inná Nahnu nazzalná ‘alayka al-Qur’ân tanzîl[an] (Sungguh Kami telah menurunkan al-Quran kepada kamu [Muhammad] dengan berangsur-angsur). Ayat ini menegaskan bahwa al-Quran itu benar-benar berasal dari Allah SWT yang Dia turunkan kepada Rasulullah saw. Imam al-Qurthubi berkata, “(Al-Quran itu) bukan sesuatu yang kamu buat-buat dan bukan datang dari dirimu sendiri. Juga bukan dari kemauanmu sendiri sebagaimana dituduhkan orang-orang musyrik.”1

Penegasan tersebut ditunjukkan dengan penggunaan huruf inna (sungguh) yang memberikan makna li at-ta’kîd (untuk menegaskan). Lalu kata Nahnu (Kami) berguna untuk ta’kîd li ism (untuk mengukuhkan isim, inna).2 Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa al-Quran benar-benar diturunkan oleh Allah SWT.

Turunnya ayat-ayat al-Quran itu terjadi secara bertahap. Ini dapat dipahami dari kata nazzalná (Kami telah menurunkan). Kalimat tersebut dikuatkan dengan kata tanzîl[an]. Kata tersebut merupakan bentuk mashdar dari kata nazzala yang berfungsi li at-ta’kîd (untuk mengukuhkan).3

Ibnu Abbas berkata, “Al-Quran diturunkan secara terpisah: ayat-perayat. Bukan diturunkan sekaligus. Oleh karena itu, Dia berfirman: nazzalná (Kami telah menurunkan).”4

Penjelasan demikian disampaikan oleh banyak mufassir.5

Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat ini menegaskan kebenaran semua berita yang telah disampaikan. Mulai awal mula penciptaan manusia, azab bagi orang-orang kafir hingga berbagai kenikmatan surga yang akan diberikan kepada al-abrâr (orang-orang yang berbuat kebajikan). Semua itu benar adanya. Demikian pula berbagai siksaan yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir. Tidak ada keraguan sama sekali. Semuanya diberitakan dalam al-Quran, kitab yang berasal dari Allah, Zat Yang Mahabenar dengan segala firman-Nya.

Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya adalah ketika Allah SWT menyebutkan janji dan ancaman, lalu menerangkan bahwa Kitab ini (al-Quran) telah mengandung semua yang dibutuhkan oleh manusia. Bukan sihir, perdukunan, maupun syair; namun merupakan kebenaran.”6

Setelah itu disebutkan: Fa[i]shbir li hukmi Rabbika (Karena itu bersabarlah kamu untuk [melaksanakan] ketetapan Tuhanmu). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Beliau diperintahkan untuk bersabar terhadap semua ketetapan Allah SWT. Perintah ini juga berlaku kepada umatnya. Sebab, khithâb ar-Rasûl khithâb li ummatihi (seruan kepada Rasul saw. juga merupakan seruan kepada umatnya). Pasalnya, tidak ada qarînah yang mengkhususkan perintah itu hanya untuk beliau. Artinya, seruan ini juga berlaku untuk seluruh umatnya.

Secara bahasa, kata ash-shabr bermakna al-imsâk fî dhayyiq (menahan diri dalam kesusahan, kesulitan, kesempitan). Dikatakan: Shabartu ad-dâbbah (aku menahan hewan tunggangan). Maknanya: Hasibtuhâ bilâ ‘ilâf (Aku menahan hewan tunggangan tanpa memberi makanan). Kata ash-shabr juga diartikan: menahan diri atas apa yang diharuskan oleh akal dan syariah.7

Saat perintah bersabar itu dikaitkan dengan hukmu Rabbika (keputusan Tuhanmu), berarti harus tetap menahan diri dalam menanggung, memikul dan mengemban keputusan Allah SWT sekalipun terasa berat dan susah.

Tentang makna li hukmi Rabbika (terhadap ketetapan Tuhanmu), ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufassir. Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani bermakna: li qadhâ‘ Rabbika (terhadap qadha’ atau ketetapan Tuhanmu).8

Ibnu Katsir juga berkata, “Sebagaimana Aku telah memuliakan kamu dengan al-Quran yang telah Aku turunkan kepadamu, maka bersabarlah dalam menghadapi ketetapan dan takdir-Nya, dan ketahuilah bahwa Dia akan mengaturmu dengan pengaturan yang terbaik.”9

Ada yang memaknainya sebagai tugas mengemban risalah yang diturunkan kepada beliau. Al-Jazairi berkata, “Engkau harus bersabar untuk mengemban risalahmu dan menyampaikannya kepada manusia.”10

Ada juga menafsirkan, berbagai gangguan dari kaum Musyrikin. Ibnu Abbas berkata, “Bersabarlah dari gangguan orang-orang musyrik. Demikianlah yang diputuskan kepadamu.” Kemudian di-naskh dengan ayat-ayat perang.11

Menurut yang lainnya, kesabaran atas ketetapan hukum-Nya. Dengan demikian maknanya, “Bersabarlah untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan terhadap semua hukum yang ditetapkan atas kamu.”

Yang lain berkata, “Tunggulah keputusan Allah SWT ketika Dia telah berjanji kepada kamu untuk menolong kamu atas mereka. Janganlah kamu terburu-buru. Sebab, janji itu pasti terjadi.”12

Menurut asy-Syaukani, termasuk ketetapan dan qadha’-Nya adalah penundaan pertolongan terhadap beliau hingga waktu yang sesuai dengan ditetapkan.13

Ada juga penjelasan lebih umum dan mencakup semua taklif keputusan Tuhan itu bersifat umum dalam semua taklif. Dengan demikian maknanya, “Bersabarlah terhadap semua yang diputuskan Allah, baik taklif khusus, seperti ibadah dan ketaatan; atau berhubungan dengan yang lain, seperti tablig, menyampaikan risalah, menanggung berbagai kesulitan, dan lain-lain.”14

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Bersabarlah kamu terhadap ujian Tuhanmu berupa kewajiban-kewajiban, penyampaian risalah dan pelaksanaan apa yang diwajibkan dalam wahyu yang diturunkan kepada kamu.”15

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa lâ tuthi’ minhum âtsim[an] aw kafûr[an]  (Janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang kafir di antara mereka).  Pada saat yang sama, beliau juga dilarang untuk menaati âtsim[an] dan kafûr[an]. Menurut al-Qurthubi, âtsim[an] adalah dzâ itsm (orang yang mempunyai dosa). Adapun kafûr[an]  berarti al-kâfir (orang-orang kafir). Janganlah kamu taat kepada keduanya.16

Menurut Ibnu Jarir, yang dimaksud dengan âtsim[an] adalah orang yang melakukan kemaksiatan, sedangkan kafûr[an[ adalah orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat-Nya, ingkar kepada-Nya dan menyembah kepada selain-Nya.17 

Dengan definisi ini, semua kafûr (orang yang kafir) adalah âtsim (orang yang berdosa). Namun, tidak berlaku sebaiknya, bahwa semua âtsim  adalah kafûr. Hal itu disebabkan karena al-itsm (dosa) mencakup semua kemaksiatan, seperti menyekutukan Allah SWT (QS al-Nisa [4]: 48), menyembunyikan kesaksian (lihat QS al-Baqarah [2]: 283), khamar dan perjudian (lihat QS al-Baqarah [2]: 219). Semua ayat itu menunjukkan bahwa al-itsm (dosa) mencakup seluruh kemaksiatan.18

Diriwayatkan dari Qatadah, Abu Jahal berkata, “Jika aku melihat Muhammad sedang shalat, maka aku injak lehernya. Lalu turunlah ayat ini.”19

Oleh karena itu ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan âtsim[an] atau kafûr[an] adalah Abu Jahal.20

Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Utbah bin Rabi’ah dan Walid bin al-Mughirah. Kedua orang itu mendatangi Rasulullah saw. Mereka menawarkan harta dan istri dengan syarat beliau tidak menyebut-nyebut kenabian lagi.21

Ayat ini memang turun berkenaan dengan mereka, namun berlaku umum kepada semua orang yang memiliki dua sifat tersebut, yakni: âtsim[an] aw kafûr[an]. Alasannya, yang dijadikan sebagai pegangan dalam dalil adalah keumuman lafal, bukan kekhususan sebabnya, sebagaimana kaidah: Al-Ibrah bi umum al-lafzhi, la bi khususi sabab (Yang dijadikan pedoman adalah lafalnya yang bersifat umum, bukan kekhususan sebabnya).

Menurut al-Zajjaj, huruf  al-alif (yang berarti: atau) pada kata  âtsim[an] aw kafûr[an]  lebih kuat dibandingkan huruf al-wâwu (yang berarti: dan). Sebab, jika dikatakan: Lâ tuthi’ Zayd[an] wa Amr[an] (Jangan kamu taati Zaid dan Umar), maka menaati salah satu dari keduanya  bukan merupakan kesalahan. Sebab, perintahnya adalah tidak menaati dua-duanya. Namun, jika dikatakan: Lâ tuthi’ minhum âtsim[an] awa kafûr[an] (Janganlah kamu menuruti orang yang berdosa atau orang yang kafir), maka huruf aw itu menunjukkan bahwa masing-masing dari keduanya tidak boleh dituruti. Sebagaimana dikatakan: Lâ tukhâlif al-Hasan aw Ibnu Sirrîn (Jangan kamu menyelisihi al-Hasan atau Ibnu Sirin). Maksudnya, keduanya adalah orang-orang yang harus dipatuhi, dan masing-masing dari keduanya harus patut diikuti.22

Setelah dilarang menuruti orang yang berdosa dan orang kafir, kemudian Allah SWT berfirman: Wa[i]dzkur [i]sma Rabbika bukrat[an] wa ashîl[an] (sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang). Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk menyebut asma Allah SWT. Dalam ayat ini digunakan kata adz-dzikr. Secara bahasa, kata adz-dzikr bermakna dhidd al-nisyân (kebalikan dari lupa).23

Dalam konteks ayat ini, kata adz-dzikr dalam ayat menurut kebanyakan mufassir bermakna ash-shalâh (shalat).24 Dengan demikian maknanya: wa shalli li Rabbika (dan shalatlah karena Tuhanmu).25

Shalat tersebut dilakukan pada bukrat[an] wa ashîl[an] (pagi dan sore hari). Kata bukrah menunjuk waktu permulaan siang, sedangkan ashîl[an] berarti penghujungnya.26 Shalat yang diperintahkan pada pagi hari adalah subuh, sedangkan pada sore hari adalah zhuhur dan ashar.27

Ada juga yang memaknainya dengan makna bahasanya. Asy-Syaukani berkata, “Senantiasalah menyebut nama-Nya dalam semua waktu.”28

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa min al-Layl fa[i]sjud lahu wa sabbihhu layl[an] thawîl[an] (Pada sebagian dari malam, sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada malam yang panjang). Sebagaimana pada siang hari, hal yang sama diperintahkan untuk dikerjakan pada malam hari. Hanya bedanya dalam ayat ini digunakan kata: fa[i]sjud lahu (maka bersujudlah kepada-Nya). Maksud dari kata as-sujûd (sujud) di sini, sebagaimana kata al-dizkr (menyebut) asma Allah SWT, adalah shalat. DEngan demikian, yang diperintahkan ayat ini adalah shalat yang dikerjakan pada malam hari, yakni shalat maghrib dan isya. Demikian penjelasan para mufassir, seperti al-Qurthubi, al-Khazin, al-Jazairi dan lainnya.29 Dengan demikian ayat tersebut menghimpun semua shalat lima waktu.30

Selain sujud, diperintahkan juga bertasbih kepada-Nya pada malam yang panjang. Menurut asy-Syaukani, penggalan ayat: wa sabbihhu layl[an] thawîl[an]  bermakna: nazzihhu ‘ammâ lâ yalîqu bihi (sucikanlah Dia dari segala yang tidak layak bagi-Nya).31

Penafsiran lainnya, perintah tasbih juga bermakna shalat. Penyebutan layl[an] thawil[an] (malam yang panjang) memberikan makna shalat sunnah malam hari. Itulah shalat tahajud.32 

Pelajaran

Terdapat banyak pelajaran penting dari ayat-ayat ini. Pertama: Kebenaran al-Quran. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah SWT yang menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. Bukan buatan dan karangan beliau. Karena berasal dari Zat Yang Mahabenar maka semua isi al-Quran adalah benar. Hal ini disebutkan pula dalam dalam al-An’am [6] 115. 

Kedua: Perintah bersabar terhadap semua keputusan Allah SWT. Sebagaimana telah diterangkan, sabar adalah menahan jiwa untuk tetap menanggung beban dalam kesulitan dan kesempitan. Adapun hukm Rabbika mencakup semua keputusan Allah SWT, baik semua taklif hukum-Nya, qadha’-Nya, pertolongan-Nya yang belum datang, perintah menyampaikan risalah maupun konsekuensinya. Terhadap semua itu, kita diperintahkan untuk bersabar menanggungnya. Tidak bergeser, berpaling atau mundur. Seberat apa pun keputusan itu harus diterima dan dipikul dengan sabar. Itulah sabar yang diperintahkan.

Selain ayat ini, perintah untuk bersabar tersehadap semua keputusan Allah SWT  juga disebutkan dalam QS al-Qalam [68]: 48. Sebagai layaknya perbuatan yang diperintahkan, disediakan pahala amat besar bagi pelakunya (lihat: QS az-Zumar [39]: 10).

Bahkan dalam ayat sebelumnya juga diberitakan bahwa orang-orang yang berbuat kebajikan itu dimasukkan ke dalam surga disebabkan kesabaran mereka (lihat: QS al-Insan [76]: 12).    

Ketiga: Larangan menaati orang-orang yang berdosa dan orang-orang kafir. Sebagaimana telah dijelaskan, yang dimaksud dengan al-âtsim adalah orang yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat, apa pun jenisnya. Adapun al-kafûr adalah orang-orang yang kafir.

Perbuatan dosa dan kekufuran adalah terlarang. Semuanya mengundang murka Allah SWT dan menyebabkan pelakunya mendapatkan azab-Nya sebagaimana diberitakan di awal surat (QS al-Insan [74]: 4).

Sebagaimana para pelaku dosa dan orang-orang kafir itu diazab, balasan yang sama juga akan diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalannya dan menuruti perintahnya (lihat: QS al-Ahzab [33]: 48).

Keempat: Perintah untuk berzikir kepada Allah SWT, mengerjakan shalat lima waktu serta perintah shalat malam. Sebagaimana telah diterangkan, menurut banyak mufassir maksud ayat ini adalah perintah mengerjakan shalat lima waktu. Adapun bertasbih pada malam hari adalah shalat tahajud atau shalat malam.

Menurut Ibnu Katsir, ini semakna dengan apa yang disebutkan  dalam QS al-Isra [17]: 79 dan al-Muzzammil [73]: 1-4).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [KH. Rokhmat S. Labib]

 

Catatan Kaki:

1        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 148

2        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 303

3        Abu al-Biqa’ al-‘Abkari, al-Tibyân fî I’râb al-Qur`ân, vol. 5, 68

4        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 148

5        al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 426

6        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 148-149

7        al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-qalam, 1992), 474

8        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 426

9        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 294

10      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 488

11      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149

13      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 426

14      al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 758; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-‘Ilmiyyah, 1995), 381

15      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 115

16      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149

17      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 115

18      al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 758-759

19      al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 115; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149

20      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-‘0Ilmiyyah, 1995), 381

21      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149

22      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 149; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 426

23      Zainuddin al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999), 112

24      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 150

25      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

26      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 294

27      Lihat al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 116; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 150; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 488

28      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 426

29      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 150; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 488

30      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

31      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 426

32      al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 488; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 381

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close