FiqihTanya Jawab

Haramkah Asuransi?

Soal:

Bagaimana status akad asuransi? Bagaimana hukum mengikuti asuransi? Bagaimana status harta yang diperoleh dari asuransi?

Jawab:

Asuransi jiwa, barang, hak milik, atau yang lain adalah salah satu bentuk akad.  Asuransi merupakan akad antara perusahaan asuransi dan tertanggung (insured). Pihak tertanggung meminta komitmen perusahaan asuransi untuk memberikan ganti rugi (pertanggungan) kepada yang bersangkutan. Bisa jadi pertanggungan berupa barang, sebagai ganti rugi atas barang yang hilang; atau berupa uang pertanggungan yang terkait dengan barang atau hak milik; atau bisa berupa uang pertanggungan terkait dengan jiwa dan sejenisnya. Termasuk jika ada kejadian yang menimpa pihak tertanggung dalam jangka waktu tertentu, sebagai ganti rugi dalam bentuk uang tertentu.  Perusahaan asuransi, sebagai pihak penanggung (penjamin), menerimanya.

Berdasarkan ijab dan qabul semacam ini, perusahaan asuransi berkomitmen untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung sesuai dengan persyaratan tertentu yang telah disetujui oleh pihak kedua;  baik berupa barang yang dihilangkan, atau berupa harga pada saat terjadinya peristiwa, atau berupa uang yang telah disepakati.  Contoh, jika barang atau mobil seseorang rusak, rumah terbakar, hak miliknya dicuri orang, meninggal dunia atau yang lain, dalam jangka waktu tertentu, maka pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebagai ganti uang tertentu yang telah dibayarkan oleh pihak tertanggung, dalam jangka waktu tertentu.

Dari sini tampak jelas, asuransi, yaitu kesepakatan antara perusahaan asuransi dan pihak tertanggung atas jenis asuransi dan persyaratannya, merupakan salah satu bentuk akad.  Berdasarkan akad, yakni kesepakatan, yang dilakukan kedua belah pihak, perusahaan asuransi memberikan janji untuk mengganti, atau membayar sejumlah uang sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.

Ketika pihak tertanggung mengalami suatu peristiwa yang sesuai dengan polis asuransi, maka perusahaan asuransi, sebagai pihak penanggung, harus mengganti barang yang rusak, atau mengganti sesuai dengan harga pasar pada saat kejadian tersebut terjadi.  Perusahaan asuransi inilah yang berhak memilih, antara membayar mahal atau mengganti barang kepada pihak tertanggung, atau kepada orang lain.

Dengan demikian ganti rugi ini merupakan salah satu hak pihak tertanggung terkait dengan asuransi perusahaan, ketika poin-poin yang disebutkan dalam polis asuransi tersebut terjadi, yaitu ketika perusahaan asuransi mengakui haknya, atau ketika pengadilan memutuskan hak tersebut.

Kadang asuransi ini untuk kepentingan pihak tertanggung itu sendiri, atau untuk kepentingan orang lain seperti anak, istri, dan ahli warisnya yang lain, atau untuk kepentingan seseorang atau kelompok yang telah ditentukan oleh pihak tertanggung.

Asuransi yang digunakan untuk jiwa, barang, atau yang lain adalah untuk menarik minat orang agar ikut terlibat dalam asuransi tersebut.  Sebenarnya asuransi itu tidak menjamin jiwa, tetapi hanya menjamin pinjaman yang terjadi, dengan uang, sebagai pertanggungan tertentu yang diberikan kepada anak-anak, istri atau ahli warisnya, atau orang-orang yang memiliki kelompok yang telah ditentukan oleh pihak tertanggung, namun ia meninggalkan.  Jadi, asuransi tidak pernah menjamin barang, mobil, hak milik dan juga yang lain, selain jaminan pinjaman dengan mengganti barang atau membeli barangnya, mobil atau hak miliknya atau apa saja yang menjadi miliknya, dapat diperbaiki atau dihapus miliknya.

Karena itu asuransi pada dasarnya merupakan Jaminan atas uang yang diberikan kepada orang yang diminta atau yang lain, atau dengan ganti rugi jika kejadiannya merupakan barang yang dia hapus sendiri, atau rusak, dan dapat dipertanyakan.  Inilah fakta asuransi.

Dengan meneliti secara mendalam, sebenarnya tampak bahwa asuransi ini batil, dari dua aspek.  Pertama: Asuransi adalah akad (transaksi). Ia merupakan kesepakatan antara kedua pihak yang ada dalam ijab dan qabul. Ijab dari pihak tertanggung (insured), sedangkan qabul dari perusahaan asuransi/pihak penanggung (insurer). Agar akad tersebut sah menurut syariah, syarat-syarat sahnya harus dipenuhi.  Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi, akadnya sah.  Jika tidak,  akadnya tidak sah.

Syarat akad menurut syariah harus dilakukan terhadap barang atau jasa.  Jika tidak dilakukan pada barang atau jasa, akad ini statusnya batil. Karena memang tidak terjadi pada sesuatu yang layak diakadkan menurut syariah.  Sebab, akad menurut syariah bisa dilakukan terhadap barang, seperti jual-beli, salam dan sebagainya;  bisa juga terjadi pada barang, tanpa kompensasi apapun, seperti hadiah;  atau terjadi pada jasa, seperti transaksi ijârah;  atau layanan tanpa kompensasi, seperti pinjaman (‘ariyah).  Karena itu akad yang syar’i harus dilakukan terhadap sesuatu (barang atau jasa).

Akad asuransi tidak termasuk dalam kategori akad yang terjadi pada barang dan jasa, namun pada janji atau jaminan pertanggungan. Janji atau jaminan pertanggungan tidak bisa dianggap sebagai barang, sebab zatnya tidak bisa dipakai dan tidak bisa diambil manfaatnya.  Janji juga tidak dapat dianggap sebagai jasa karena seseorang tidak bisa menggunakan janji tersebut, baik untuk disewakan atau dipinjamkan.

Dari sini transaksi asuransi tidak bisa dinyatakan telah terjadi pada barang dan jasa.  Dengan demikian, akad tersebut dianggap tidak memenuhi syarat yang harus dipenuhi dalam akad syar’i.

Kedua: Perusahaan asuransi, sebagai pihak penanggung (insurer), telah memberikan kepada pihak tertanggung (insured) sesuai dengan persyaratan tertentu.  Jika ditinjau dari segi jaminan (dhaman), maka harus dipenuhi ketentuan dhaman menurut syariah, agar jaminan tersebut menjadi jaminan yang sah.  Jika memenuhi syarat tersebut, jaminan tersebut sah.  Jika tidak, jaminan tersebut tidak sah.

Jaminan (dhaman) adalah pemindahan harta pihak penjamin (dhamin) kepada pihak yang meminta dalam menunaikan suatu hak (madhmun lahu).  Dalam pemindahan harta seseorang ke pihak lain harus ada penjamin (dhâmin), orang yang dijamin (madhmûn ‘anhu) dan yang menerima jaminan (madhmûn lahu).

Jaminan sebenarnya merupakan penunaian hak harta tanpa kompensasi apapun.  Agar sah, jaminan tersebut harus dilakukan dalam perkara penunaian hak yang harus diselesaikan atau akan jatuh tempo pemenuhannya.  Jika yang diterima tidak memperoleh apa-apa, maka dalam hal ini tidak terjadi pemindahan harta. Adapun dalam hak yang akan jatuh tempo pemenuhannya, seperti seorang laki-laki mengatakan kepada seorang wanita, “Nikahlah dengan si Fulan, aku yang akan membayar maharmu,” maka pihak penjamin di sini telah memindahkan tanggungan (harta)-nya kepada orang yang menerima. Sesuatu yang menjadi tanggungan pihak yang dijamin, kemudian menjadi tanggungannya.

Jika tidak ada hak wajib, atau hak wajib yang jatuh tempo pemenuhannya, yang harus ditunaikan oleh seseorang, maka makna jaminan tersebut tidak dapat diberlakukan kepada orang tersebut.  Sebab, faktanya tidak terjadi pemindahan hak seseorang kepada pihak lain. Karena itu jaminan seperti ini tidak sah. Atas dasar itulah, ketika hak yang diterima oleh pihak yang mendapat jaminan atas pihak yang dijamin itu tidak ada, maka jaminan tersebut tidak sah.  Sebab, pihak penjamin disyaratkan agar menjamin barang, jika barang tersebut hilang atau rusak; atau menjamin hutang, baik menjadi secara langsung, jika saat itu hak tersebut merupakan hak yang jatuh tempo; atau menjamin dengan kemampuan (kekayaannya), jika hak ini belum jatuh temponya.

Bila yang dijamin ini tidak harus mendapatkan jaminan, baik pada saat itu juga, atau dengan kekayaan pihak penjamin, maka jaminan tersebut tidak sah. Sebab, sesuatu yang tidak wajib ditunaikan oleh pihak yang dijamin tentu lebih tidak wajib ditunaikan oleh pihak penjamin. Contoh, ada seseorang yang menerima pakaian dari orang lain, lalu ada seseorang yang berkata kepada pemberi pakaian, “Berikanlah pakaianmu yang membantah, aku yang akan menjaminnya.”  Lalu pakaian tersebut hilang. Apakah pihak penjamin harus membayar? Jawabannya, jika pakaian tersebut hilang bukan karena pihak yang mendapat jaminan (madhmun ‘anhu), juga bukan karena kecerobohannya, maka dalam hal ini penjamin tidak memiliki kewajiban apapun, karena madhmûn ‘anhu tidak memiliki kewajiban apa-apa.  Alasannya, jika penerima pakaian tersebut tidak memiliki kewajiban apa-apa, maka pihak penjamin tentu lebih tidak memiliki kewajiban apapun.

Atas dasar ini, hak itu harus berupa hak wajib atas yang lain, yang harus diterima oleh pihak yang dijamin, atau suatu kewajiban yang akan jatuh tempo pemenuhannya, sehingga jaminan tersebut memang layak disebut sebagai jaminan. Hanya saja, yang dijamin dan pihak yang mendapatkan jaminan tidak disyaratkan harus jelas, karena kalaupun pihak yang dijamin tersebut belum diketahui, status jaminannya tetap sah.

Jika seseorang berkata, “Berikan pakaianmu kepada tukang cuci itu.”  Kemudian dia menjawab, “Aku khawatir, dia akan menghilangkannya.”  Lalu orang tadi berkata lagi, “Berikan pakaianmu kepada tukang cuci itu, akulah yang akan memintanya jika hilang.”  Orang tadi tidak menentukan tukang cuci yang mana.  Jaminan semacam ini tetap sah. Jika orang tadi memberikan pakaian tersebut kepada tukang cuci, lalu pakaian tersebut hilang, maka orang tadi harus menjaminnya, meski orang yang dijamin tadi masih belum jelas (majhûl).

Begitu juga, ketika dia mengatakan, “Fulan adalah tukang cuci yang mahir. Setiap orang mencucikan kepada dia. Akulah yang akan menjamin para tukang cuci itu.”  Akad semacam ini juga sah meskipun pihak yang disetujui masih belum diketahui (majhûl).

Dalil-dalil tentang jaminan (dhaman) menjelaskan bahwa jaminan itu merupakan pemindahan hak (kepemilikan) seseorang kepada orang lain (sebagai tanggungan). Jaminan tersebut juga merupakan jaminan atas hak yang diwajibkan dalam tanggungan.  Jelas, di dalam penjaminan itu ada pihak penjamin (dhamin), pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu) dan pihak yang mendapatkan jaminan (mandhmun lahu).  Jelas juga, jaminan itu tanpa disertai kompensasi.  Pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu), dan yang menjamin (dhamin) boleh jadi sama-sama masih belum diketahui.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir ra.  yang mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لاَ يُصَلِّي عَلَى رَجُل مَاتَ وَعَلَيْه دَيَنٌ فَأُتِي بِمَيِّتٍ، فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ قَالُوْا نَعَم دِيْنَارَانِ، قَالَ صَلَّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ الأنْصَارِيُّ هُمَا عَلَىَّ  يَا رَسُولَ الله. قَالَ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ، فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَى رَسُولِ الله، قَالَ: أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، فَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَ لَىَّ قَضَاوُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ

Rasulullah saw.  pernah tidak bersedia menyalatkan (mayat) laki-laki yang memiliki utang (semasa hidupnya).  Jenazahnya dibawa ke hadapan beliau (untuk disalatkan), kemudian Baginda bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?”  Mereka menjawab, “Benar, yaitu dua dinar.”  Baginda bersabda, “Salatkan sahabat kalian ini.”  Kemudian Abu Qathadah al-Anshari berkata, “Biarlah utangnya menjadi tanggung jawab saya, ya Rasulullah.”  Mendengar itu, Baginda baru mau menyalatkannya.  Ketika Allah telah menaklukkan seluruh negeri di bawah kekuasaan Rasulullah, beliau bersabda, “Aku lebih utama (dalam menjamin) bagi setiap Mukmin dari diri mereka sendiri. Karena itu siapa pun yang mau melepaskan diri dari hutang, akulah yang akan melunasinya, dan siapa pun yang mewariskan harta warisan, itu menjadi hak ahli warisnya.”  (HR Abu Dawud).

Dalam hadis ini, Abu Qatadah jelas telah memindahkan kepemilikan hartanya kepada si mayit dalam menunaikan hak harta yang harus ditunaikan oleh si mayit.  Jelas pula, dalam akad jaminan (dhaman) tersebut ada pihak penjamin, yang dijamin dan pihak yang mendapatkan jaminan.  Jaminan adalah hak ganti rugi tanpa imbalan apa pun.  Jelas pula, pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu), yaitu si mayit, dan pihak yang mendapatkan jaminan (madhmun lahu), yaitu orang yang mempunyai piutang pada mayit, adalah sama-sama majhûl, tidak jelas.

Hadis ini menjelaskan syarat sah dan tidaknya jaminan, serta syarat terwujud dan tidaknya akad jaminan tersebut.  Jaminan ini sah menurut syariah.

Dengan demikian, dengan mencocokkan akad asuransi pada fakta akad jaminan (dhaman), sementara komitmen yang diberikan asuransi hanya sekadar janji, maka kita menemukan bahwa praktik asuransi ini jelas tidak memenuhi syarat yang diterima oleh syariah.

Dalam asuransi tidak ada pemindahan (kepemilikan) seseorang kepada orang lain secara mutlak. Perusahaan asuransi, sebagai dhamin, tidak menjaminkan hartanya kepada seseorang (madhmun ‘anhu) untuk menunaikan kewajiban pihak tertanggung (madhmun lahu).  Di sini juga tidak ada jaminan (dhaman). Dengan demikian asuransi tersebut statusnya jelas batil.

Asuransi juga tidak memerlukan hak penerima tanggungan yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi.  Pasalnya, tidak ada hak istimewa untuk penerima tanggungan pada seorang pun, yang kemudian ditanggung oleh perusahaan asuransi.  Di sini juga tidak ada hak harta.

Karena itu perusahaan asuransi juga tidak berhak atas jaminan apa pun hingga jaminannya bisa disebut jaminan, sebagaimana ketentuan syariah.  Klaim yang diberikan oleh perusahaan asuransi, atau harga barang, atau uang yang dikirim oleh perusahaan asuransi ternyata tidak diterima oleh penerima tanggungan ketika polis asuransi ditandatangani, baik secara tunai maupun dibayarkan kemudian, agar jaminan tersebut sah menurut syariah. Dengan demikian perusahaan asuransi ini menjamin asuransi yang tidak wajib dilakukan, baik tunai maupun kredit, sehingga jaminannya tidak sah. Akibatnya, asuransi tersebut statusnya batil.  Lebih dari itu, dalam asuransi ini tidak ada pihak yang dijamin (madhmûn ‘anhu) karena perusahaan asuransi tidak memberikan jaminan kepada seseorang yang harus memenuhi suatu hak, agar agar bisa disebut sebagai jaminan.

Karena itu akad asuransi ini tidak memenuhi syarat adanya unsur dasar dari akad dhaman, yang harus ditunaikan secara syar’i, yaitu ada pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu).  Ini karena di dalam sistem penjaminan harus ada: pihak penjamin (dhamin);  yang dijamin (madhmun ‘anhu);  juga yang mendapatkan jaminan (madhmun lahu).  Karena dalam akad ini tidak ada madhmûn ‘anhu, maka akad asuransi ini batal menurut syariah.

Lagi pula, ketika perusahaan asuransi menyerahkan pertanggungannya, atau uang ganti rugi pada saat terjadi kerusakan, hilangnya  barang, atau terjadinya kecelakaan, sebenarnya ini merupakan imbalan dari pembayaran premi yang diberikan oleh pemegang polis (pihak tertanggung).  Jadi, asuransi tersebut adalah jaminan dengan imbalan.  Ini jelas tidak sah. Pasalanya, salah satu syarat keabsahan jika dalam praktik dhaman tersebut tanpa disertai imbalan. Dari praktik asuransi yang disertai imbalan ini, jelas bahwa akad ini batil.

Dengan demikian, jelaslah bagaimana polis asuransi tidak memenuhi syarat jaminan yang telah dinyatakan  keabsahannya oleh syariah.  Asuransi juga tidak memenuhi syarat jaminan berikut syarat keabsahannya. Dengan begitu, pertanggungan yang diberikan oleh asuransi untuk menjamin penyerahan sejumlah uang, atau jaminan harta jelas batil sejak dari akarnya.

Karena itu, status asuransi secara keseluruhan, menurut syariah, jelas batil.  Atas dasar itu, hukum asuransi secara keseluruhan, menurut syariah, jelas haram.  Hukum ini mencakup semua jenis asuransi, asuransi jiwa, asuransi barang, atau asuransi harta benda dan lain-lain.  Keharamannya terletak pada akadnya yang batil.  Selain itu, janji yang diberikan oleh perusahaan asuransi pada saat penandatanganan polis asuransi adalah janji yang batil. Dengan demikian meminta harta melalui akad semacam ini hukumnya haram. Hartanya dikategorikan harta yang diperoleh dengan cara yang batil, dan termasuk dalam kategori harta-harta yang ghulul.

[KH. Hafidz Abdurrahman]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close