Tanya Jawab

Benarkah Imam an-Nawawi tidak Mewajibkan Khilafah?

Soal:

Benarkah Imam an-Nawawi tidak mewajibkan Khilafah? Benarkah Imam an-Nawawi tidak mengharuskan sebutan khalifah, tetapi boleh dengan sebutan apapun, termasuk presiden, sebagaimana yang diklaim kaum Liberal? Kalau tidak benar, apa buktinya?

Jawab:

Benarkah Imam an-Nawawi tidak mewajibkan Khilafah? Jawabannya jelas: tidak benar. Dengan tegas, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa mengangkat Imam, Khalifah dan Amir al-Mukminin adalah wajib.

Dalam kitab Rawdhah at-Thâlibîn wa Umdah al-Muftîn, Imam an-Nawawi menyatakan:

اَلْفَصْلُ الثَّانِي : فِي وُجُوْبِ اْلإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلِّي الإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلا وَاحِدًا، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَنْ يَبْتَدِئُوْهُ، واللهُ أَعْلَمُ.

Pasal kedua: Tentang Kewajiban Imamah (Khilafah) dan Penjelasan Tentang Metode (Pengangkatannya): Umat wajib mempunyai Imam (Khalifah) yang menegakkan agama (Islam), menolong Sunnah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan meletakkannya pada posisinya. Saya tegaskan: pengangkatan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada yang layak, kecuali hanya seorang, maka hukumnya fardhu ‘ain bagi dia. Dia wajib menuntutnya (jabatan Imamah/Khilafah) jika mereka (umat) tidak memulainya. WalLahu a’lam.”1

Dalam kitab Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan:

وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَوُجُوْبُهُ  بِالشَّرْعِ لاَ  بِالْعَقْلِ

Mereka (para sahabat) sepakat bahwa wajib kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajibanya itu dinyatakan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.2

Dalam dua kitab yang berbeda, yang sama-sama ditulis oleh Imam an-Nawawi, digunakan istilah yang berbeda. Dalam kitab Ar-Rawdhah, beliau menggunakan kata Imâm dan Imâmah. Dalam kitab Syarh Shahîh Muslim, beliau mengggunakan kata Khalîfah. Dua-duanya dinyatakan wajib.

Imam an-Nawawi, Ar-Rawdhah, bahkan memberikan penegasan bahwa Imam boleh disebut dengan Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn. Beliau menyatakan:

اَلْمَسْأَلَة الثَّالِثَة : يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ اْلإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ، وَالإِمَامُ، وَأَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ

Masalah Ketiga: Imam boleh disebut dengan Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin.3

Karena itu dalam Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, karya Imam an-Nawawi, yang dilanjutkan oleh Muhammad Najib al-Muthi’i, dinyatakan:

وَالإِمَامَةُ، وَالْخِلاَفَةُ وَإِمَارَةُ الْمؤْمِنِيْنَ مُتَراَدِفَةٌ

Imamah, Khilafah dan Imarah al-Mu’minin itu merupakan sinonim (beda lafal, tetapi maknanya sama).4

Artinya, kesimpulan Muhammad Najib al-Muthi’i, yang melanjutkan Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab tentang Imamah, Khilafah dan Imarah al-Mu’minin merupakan sinonim itu tidak keluar dari penjelasan Imam an-Nawawi, sebagaimana ketika beliau menyebut Imam dengan Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin.5 Pasalnya, Imamah, Khilafah dan Imarah al-Mu’minin adalah bentuk mashdar dari lafal Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin.

Kewajiban mengangkat Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin tentu bukan hanya terkait dengan orangnya saja, tetapi juga melekat padanya jabatan yang disebut Khilafah, Imamah dan Imarah al-Mu’minin. Dari mana kesimpulan ini? Coba simak penjelasan beliau tentang metode pengangkatan Imamah (Khilafah), dalam kitabnya, Ar-Rawdhah, sebagai berikut: 6

Akad Imamah (Khilafah) bisa dinyatakan sah melalui tiga metode. Pertama: Baiat, sebagaimana para sahabat membaiat Abu Bakar ra.. Mengenai jumlah yang dengan baiat mereka menentukan sah (tidaknya) akad Imamah (Khilafah) itu ada enam pendapat. Pertama, empat puluh orang. Kedua, empat orang. Ketiga, tiga orang. Keempat, dua orang. Kelima, satu orang. Untuk ini, disyaratkan satu orang tersebut harus mujtahid…

Empat pendapat tersebut mensyaratkan pada jumlah orang yang diakui haruslah ada mujtahid, agar bisa mengkaji syarat-syarat yang diakui itu (ada atau tidak). Tidak disyaratkan semuanya harus mujtahid. Keenam, dan ini merupakan pendapat yang paling benar, yang diakui adalah baiat Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi di kalangan ulama’, tokoh dan orang-orang yang berpengaruh lainnnya, yang dimungkinkan kehadirannya. Tidak ada syarat, semua Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi di seluruh negeri dan wilayah harus sepakat. Namun, jika berita dari penduduk negeri yang jauh itu sampai kepada mereka, mereka wajib sepakat dan mengikuti. Karena itu tidak ada jumlah tertentu yang diakui. Bahkan jumlah tersebut tidak bisa dijadikan patokan. Bahkan kalaupun solusi dan penyelesaian itu dikaitkan dengan satu orang yang ditaati, maka baiatnya dianggap cukup untuk menyatakan sah (tidaknya) akad Imamah itu. Disyaratkan, orang-orang yang membaiat itu memenuhi kriteria (sebagai) saksi…

Metode kedua, penunjukan yang dilakukan Imam (Khalifah) sebelumnya, dan dia menunjuknya. Sebagaimana Abu Bakar menunjuk ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhuma sehingga Ijmak (Sahabat) menyatakan kebolehannya. Penunjukan itu dilakukan dengan menyerahkan Khilafah setelahnya kepadanya (orang yang ditunjuk) semasa hidupnya. Jika dia mewasiatkan Imamah (Khilafah) kepadanya, maka ada dua pendapat, sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi. Kalau dia (Khalifah) menjadikan urusan (Khilafah) tersebut dimusyawarahkan di antara dua orang atau lebih, sepeninggalnya, maka ini statusnya seperti penunjukan. Bedanya, yang ditunjuk tidak definitif, sehingga mereka saling berembuk, lalu sepakat terhadap salah seorang di antara mereka. Sebagaimana ‘Umar radhiya-Llahu ‘anhu menjadikan urusan (Khilafah) ini dimusyawarahkan di antara enam orang. Lalu mereka sepakat terhadap ‘Utsman radhiya-Llahu ‘anhu. Al-Mawardi menyatakan, bahwa disyaratkan orang yang diberi mandat (menjadi putra mahkota) harus memenuhi syarat Imamah (Khilafah), sejak waktu penunjukan. Karena itu kalau dia masih kecil, atau fasik saat akad, balig dan adil saat orang yang memberi mandat (Khalifah sebelumnya) mati, maka dia belum menjadi Imam (Khalifah), kecuali setelah dibaiat oleh Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Boleh jadi ia bergantung pada ini…

Metode ketiga, menggunakan kekuatan militer dan kudeta. Jika Imam (Khalifah) mati, lalu ada seseorang yang memenuhi syaratnya (Imamah/Khilafah) merebut Imamah (Khilafah), tanpa adanya penunjukan maupun baiat, kemudian dia memaksa rakyat dengan kekuatan dan tentaranya, maka Khilafahnya dinyatakan sah, agar persatuan kaum Muslim bisa terjaga. Namun, jika dia tidak memenuhi syarat, misalnya fasik dan bodoh, maka ada dua pendapat. Yang paling benar, Khilafahnya dinyatakan sah, sebagaimana alasan yang kami sebutkan, sekalipun dengan tindakannya itu dia dinyatakan maksiat.

Penjelasan yang hampir sama, dengan redaksi yang berbeda, dinyatakan dalam kitab Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, karya Imam an-Nawawi, yang dilanjutkan oleh Muhammad Aiman as-Syibrawi.7 Redaksi yang lebih ringkas juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Al-Minhaj:

وَتَنْعَقِدُ الإِمَامَةُ بِالْبَيْعَةِ، وَالْأَصَحُّ بَيْعَةُ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ، وَوُجُوْهُ النَّاسِ الَّذِيْنَ يَتَيَسَّرَ اِجْتِمَاعُهُمْ، وَشُرْطُهُمْ صِفَةُ الشُّهُوْدِ، وَبِإِسْتِخْلاَفِ الإِمَامِ، فَلَوْ جَعَلَ الأَمْرَ شُوْرَىْ بَيْنَ جَمْعِ فَكَاسْتِخْلاَفٍ فَيَرْتَضُوْنَ أَحَدَهُمْ، وَبِاسْتِيْلاَءِ جَامِعِ الشُّرُوْطِ .

Imamah itu dinyatakan sah melalui baiat. Yang paling benar adalah baiat Ahli al-Halli wa al-‘Aqdi, dari kalangan ulama’, pemimpin dan tokoh-tokoh yang mereka memungkinkan berkumpul. Mereka disyaratkan sebagaimana kriteria pada saksi. Juga melalui penunjukan Imam (Khalifah). Kalau dia menjadikan urusan tersebut sebagai perkata yang dimusyawarah-kan di antara sejumlah orang, maka statusnya seperti penunjukan. Mereka akan ridha terhadap salah seorang di antara mereka. Juga melalui kekuatan militer (kudeta) oleh orang yang memenuhi semua syarat (Imam/Khalifah). 8

Dengan memperhatikan penjelasan Imam an-Nawawi di atas, bahwa metode pengangkatan Imam, Khalifah atau Amirul Mukminin ada tiga, meski menurut al-Mawardi hanya ada dua, yaitu baiat dan istikhlâf (penunjukan putra mahkota),9 pertanyaannya: Masuk akalkah jika dikatakan bahwa Imam an-Nawawi tidak sedang membahas sistem Khilafah, tetapi membahas sistem pemerintahan Presidensial, Monarchi, atau Parlementer dalam sistem Demokrasi? Jelas tidak masuk akal. Pasalnya, sistem yang disebutkan terakhir ini tidak kompatibel dengan sebagian—jika tidak boleh dikatakan semuanya—isi kitab Imam an-Nawawi.

Lebih tidak masuk akal lagi kalau dikatakan, bahwa Imam an-Nawawi tidak sedang membahas Khilafah, tetapi sedang membahas Nation State. Pasalnya, justru penyataan Imam an-Nawawi yang menyatakan ketidakbolehan adanya dua Imam meski wilayahnya berjauhan itu, tak ada konotasi lain, kecuali yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi adalah Negara Khilafah. Bukan Nation State. Perhatikan penjelasan beliau berikut ini, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Ar-Rawdhah:

اَلْمَسْأَلَة الثَّانِيَّة : لاَ يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ وَإِنْ تَبَاعَدَ إِقْلِيْمَاهُهَا. وَقَالَ الأُسْتَاذُ أَبُوْ إِسْحَقْ : يَجُوْزُ نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِيْ إِقْلِيْمَيْنِ، لِأَنَّهُ قَدْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَهَذَا اِخْتِيَارُ الإِمَامِ. وَالصَّحِيْحِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ هُوَ الأَوَّلُ، فَإِنْ عُقِدَتْ اَلْبَيْعَةُ لِرَجُلَيْنِ مَعًا، فَالْبَيْعَتَانِ باطلتان, وَإِنْ تَرَتَّبَتَا فَالثَّانِيَّةُ بَاطِلَةٌ…

Masalah Kedua: Tidak boleh mengangkat dua Imam dalam satu waktu meski wilayah keduanya berjauhan. Al-Ustadz Abu Ishaq10 berpendapat: Boleh mengangkat dua Imam di dua wilayah yang berbeda karena hal itu kadang-kadang dibutuhkan. (Komentar an-Nawawi) Ini adalah pilihan Imam (al-Haramain).11 Yang benar adalah apa yang menjadi pendapat Jumhur, yaitu pendapat yang pertama. Jadi, ketika baiat telah diberikan kepada dua orang sekaligus, maka kedua baiat tersebut sama-sama batal (tidak sah). Jika beruturan maka yang kedua batal (tidak sah).” 12

Karena itu jelas merupakan kebohongan atas nama Imam an-Nawawi, jika menyatakan, bahwa Imam an-Nawawi membolehkan Imam, Khalifah dan Amirul Mukminin boleh disebut dengan sebutan Presiden, Raja, atau yang lain. Mana ada pernyataan Imam an-Nawawi yang menyatakan begitu? Begitu juga merupakan kebohongan atas nama Imam an-Nawawi jika beliau tidak sedang membahas kewajiban Khilafah dan satu Khilafah, tetapi sedang membahas tentang Nation State. Kalau ada, tunjukkan di kitab mana Imam an-Nawawi menyatakan begitu!

Berbeda halnya ketika Imam an-Nawawi menyatakan kewajiban mengangkat Imam, yang juga berarti Khalifah. Begitu juga Imamah, yang berarti Khilafah. Jelas rujukannya. Pasalnya, dua istilah ini, baik Imam maupun Khalifah, begitu juga Imamah dan Khilafah digunakan secara bersamaan, dan bergantian dalam kitab yang sama, atau kitab yang berbeda.

Selain itu, pembahasan Imam an-Nawawi tengang Kitab al-Jinayat, Kitab ad-Diyat, Kitab ar-Riddah, Kitab Hadd az-Zina, Kitab Hadd al-Qadzaf, Kitab as-Sariqah, Kitab Dhaman al-Imam wa Hukm as-Shayal, Kitab as-Siyar, Kitab ‘Aqd al-Jizyah wa al-Hudnah, belum lagi Kitab Qism al-Fai’ wa al-Ghanimah, termasuk Jizyah dan Kharaj, mungkinkah bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan Demokrasi, baik yang menganut Presidensial, Monarchi, Parlementer, maupun yang lain?

Jawabannya jelas tidak mungkin. Karena itu kalau ada klaim seolah Imam an-Nawawi membolehkan sistem apapun, tidak harus Khilafah, jelas merupakan kebohongan terhadap Imam an-Nawawi. Faktanya, semua isi kitab Imam an-Nawawi itu diterapkan pada zaman Khilafah ‘Abbasiyah yang menerapkan sistem Khilafah. Sebaliknya, faktanya hari ini, apa yang dibahas dalam kitab beliau itu tidak bisa diterapkan dalam sistem Demokrasi, baik Presidensial, Parlementer, Monarchi, khususnya beberapa bab yang disebutkan di atas. Itu adalah bukti yang sahih bahwa ketika Imam an-Nawawi membahas kewajiban mengangkat seorang Imam, Khalifah, atau Amirul Mukminin, tak lain beliau sedang membahas tentang pengangkatan seorang kepala negara dalam sistem Khilafah. Bukan yang lain.

Jadi siapa yang tidak paham isi kitab Imam an-Nawawi, dan melakukan manipulasi terhadap karya beliau?

[KH. Hafidz Abdurrahman]


Catatan kaki:

1        Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Cet. I, 1427 H/2006, Juz IV/252.

2        Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Shahîh Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, t.t, Juz XI/205.

3        Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Cet. I, 1427 H/2006, Juz IV/256.

4        Muhammad Najib al-Muthi’i, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah, t.t, Juz XXI/26. Sebagai catatan, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab yang ditulis oleh Imam an-Nawawi memang tidak selesai, karena beliau wafat. Imam an-Nawawi hanya merampungkan sampai Bab Riba, Juz X. Kemudian dilanjutkan oleh as-Subki, Khiyar al-Majlis, Juz XI, sampai Bai’ al-Musharrat wa ar-Raddu bi al-‘Aib, Juz XII. Selebihnya dilanjutkan oleh sejumlah ulama’, termasuk Muhammad Najib al-Muth’i, Muhammad Aiman as-Syabrawi, dll. dari Juz XIII sampai selesai.

5        Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Cet. I, 1427 H/2006, Juz IV/256.

6        Imam An-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/252-254.

7        Imam An-Nawawi wa Muhammad Aiman as-Syibrawi, al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, Dâr al-Hadîts, Qâhirah, cet. 1431 H/2010 M, Juz XX/73.

8        Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Minhaj at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cet. I, 1432 H/2011, hal. 323.

9        Lihat, Imam al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dâr al-Fikr, Beirut, cet. tt, hal. 6-21.

10      Abu Ishaq yang dimaksud di sini adalah Ibrahim bin Ahmad bin Ishaq al-Marwazi (w. 340 H). Lihat, al-Ustâdz as-Assyid Shâlih bin Ahmad bin Sâlim al-‘Idrûs, as-Syâfiyah fî Bayâni Isthilahâti al-Fuqahâ’ as-Syâfi’iyyah, Juz I-II, Mathba’ah al-Hajûn, Malang, Indonesia, cet. VI, 1429 H/2008 M, hal. 4.

11      Al-Imam yang dimaksud di sini adalah Imam al-Haramain, Dhiya’u ad-Din Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik bin ‘Abdullah bin Yusuf al-Juwaini (w. 478 H). Lihat, al-Ustâdz as-Assyid Shâlih bin Ahmad bin Sâlim al-‘Idrûs, as-Syâfiyah fî Bayâni Isthilahâti al-Fuqahâ’ as-Syâfi’iyyah, Juz I-II, Mathba’ah al-Hajûn, Malang, Indonesia, cet. VI, 1429 H/2008 M, hal. 7.

12      Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa ‘Umdatu al-Muftîn, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. I, 1427 H/2006 M, Juz IV/254.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close