Tanya Jawab

SJ: Taklid dan Batasan Satu Masalah

Pertanyaan kedelapan:

Apakah ada penjelasan yang memadai untuk masalah yang di dalamnya tidak boleh bertaklid kepada lebih dari satu orang mujtahid? Kemudian bagaimana saya mengetahui bahwa ini satu masalah atau lebih? Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.

Jawab:

Di dalam asy-Syakhshiyah juz I pada bab : at-Tanaqqul bayna al-Mujathidîn halaman 234, 235 disebutkan sebagai berikut:

“Hanya saja wajib menjadi jelas bahwa masalah yang boleh baginya meninggalkan hukum yang dia taklid di dalamnya kepada hukum lain, disyaratkan di situ hendaknya masalah itu terputus dari yang lain dan meninggalkannya tidak mengakibatkan kekosongan hukum syara’ yang lain. Adapun jika berkaitan dengan yang lainnya maka ia tidak boleh meninggalkannya hingga ia meninggalkan seluruh masalah yang berkaitan dengannya, sebab semuanya itu dianggap sebagai satu masalah. Seperti merupakan syarat dalam hukum lain atau salah satu rukun perbuatan yang sempurna. Hal itu seperti shalat dan wudhu dan rukun-rukun shalat. Orang yang bertaklid kepada asy-Syafi’iy tidak boleh bertaklid kepada Abu Hanifah dalam pendapat Abu Hanifah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, sementara ia terus shalat menurut mazhab syafi’iy. Tidak boleh ia bertaklid kepada orang yang mengatakan bahwa gerakan banyak tidak membatalkan shalat berapapun banyaknya, atau bahwa tidak membaca al-Fatihah bukan rukun shalat, sementara ia terus shalat dengan bertaklid kepada orang yang mengatakan bahwa perbuatan yang banyak membatalkan shalat atau bahwa al-Fatihah merupakan rukun shalat. Hukum yang boleh ditinggalkan adalah hukum yang tidak berpengaruh terhadap perbuatan yang dilakukannya sesuai hukum-hukum syara’ yang lain”, selesai. Jelas dari ini bahwa definisi masalah bergantung pada keterputusannya dari yang lain, dan meninggalkannya tidak mengakibatkan kekosongan hukum syara’ lainnya. Jadi masalah lain itu bukan merupakan rukun, syarat in’iqad, atau syarat sah hukum lainnya, sebab pada kondisi itu berarti tidak terputus dari masalah lainnya itu.

Bisa kita katakan untuk lebih menjelaskannya sebagai berikut:

Definisi masalah : maksud dari masalah di sini adalah semua perbuatan atau sejumlah perbuatan yang tidak menjadi sandaran keabsahan perbuatan lainnya.

Sedangkan bagian masalah adalah setiap perbuatan yang menjadi keharusan untuk terealisasinya keabsahan hal lainnya seperti syarat dan rukun.

Contoh:

Wudhu: keabsahan perbuatan lainnya bergantung kepadanya sebab keabsahan shalat bergantung pada wudhu. Oleh karena itu sesuai definisi tersebut wudhu bukan masalah sendiri, akan tetapi wuhdu dinilai sebagai bagian dari shalat yang menjadi keharusan untuk terealisirnya keabsahan shalat.

Shalat: perbuatan yang tidak menjadi sandaran keabsahan perbuatan lainnya. Jadi shalat merupakan masalah, dan yang dinilai sebagai bagian dari shalat adalah semua hal yang harus ada untuk terealisirnya keabsahan shalat, semisal rukun dan syarat sah seperti suci dan menghadap kiblat.

Niat dalam hal puasa: merupakan perbuatan yang keabsahan perbuatan lainnya bersandar kepadanya. Keabsahan puasa bergantung kepada niyat. Karena itu niat bukan masalah akan tetapi bagian dari masalah lain.

Puasa: merupakan perbuatan yang tidak menjadi sandaran keabsahan perbuatan lainnya. Jadi puasa adalah masalah. Yang dinilai sebagai bagian dari puasa adalah setiap apa saja yang harus ada untuk terealisirnya keabsahan puasa seperti niyat, imsak (menahan diri) dari hal-hal yang membatalkan.

Atas dasar itu, maka jika seseorang bertaklid kepada seorang mujtahid dalam hal shalat maka ia wajib bertaklid kepadanya dalam semua bagiannya seperti wudhu, mandi janabat, tayamum, menghadap kiblat dan rukun-rukun shalat. Jika ia bertaklid kepada seorang mujtahid dalam masalah puasa maka ia wajib bertaklid kepada mujtahid itu dalam semua bagian puasa seperti niyat, wajibnya berniyat pada malam hari untuk tiap hari atau satu bulan keseluruhan, apakah niyat itu sah di siang hari atau harus di malam hari, hal-hal yang membatalkan dan rukhshah berbuka. Akan tetapi ia boleh bertaklid kepada mujtahid lain dalam masalah lain.

Ini semua selama seseorang itu seorang muqallid. Adapun sekiranya ia jadi memiliki kemungkinan mengadili dalil-dalil dan mentarjihnya maka ia boleh meninggalkan mujtahid yang ia taklidi dan mengikuti dalil yang lebih kuat.

Saya berharap masalah tersebut telah menjadi jelas… dan Allah SWT adalah Zat yang berkuasa memberi taufiq.

 

Atha’ bin Khalil Abu Rasytah

23 Syawal 1433 H

6 September 2012 M

 

===================

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close