Tsaqofah

Propaganda Anti Jilbab, Upaya Mendistorsi Ajaran Islam

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Pendahuluan

Propaganda anti-jilbab hakikatnya adalah upaya mendistorsi ajaran Islam. Karena kewajiban menutup aurat, kewajiban mengenakan kerudung dan jilbab, dan kewajiban menjaga kehormatan pada perempuan muslimah adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Artinya, ini adalah perkara yang muttafaq ‘alaihi (para ulama menyepakatinya)bukan mukhtalaf fihi (para ulama berbeda pendapat di dalamnya)Umat Islam harus sama pada perkara yang muttafaq, tidak boleh ada perbedaan. Sebaliknya, umat Islam seharusnya toleran pada perkara yang mukhtalaf, tidak perlu disamakan. Jika ada yang menyelisihi kewajiban menutup aurat, mengenakan kerudung dan jilbab, dan menjaga kehormatan, maka dipastikan pendapatnya syadz bahkan munkar. Tidak menutup aurat, dan tidak berkerudung dan berjilbab, adalah bentuk kemaksiatan. Namun penolakan pada perintah untuk menutup aurat, berkerudung dan berjilbab, bisa terjatuh pada kekufuran. Karena hal itu berarti penolakan kepada nash yang qath’i, baik aspek tsubut maupun dilalahnya. Berikut ini kami jabarkan hal-hal yang penting untuk kita pahami.

Kewajiban Menutup Aurat

Allah ta’ala telah mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat. Kewajiban menutup aurat telah disebutkan di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:

يَابَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS. al-A’raf: 26)

Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat. Sebab, Allah SWT telah menurunkan kepada kita, pakaian yang digunakan untuk menutup aurat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagian tubuh mana yang termasuk aurat.[1]

Adapun dalil as-Sunnah, yang menunjukkan kewajiban menutup aurat diantaranya adalah hadits riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ

Sesungguhnya, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang perempuan melihat aurat perempuan lain. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki yang lain dalam satu selimut; dan janganlah seorang perempuan tidur dengan perempuan lain dalam satu selimut.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).

Imam al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi menyatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat perempuan, dan perempuan tidak boleh melihat aurat laki-laki.[2]

Demikian juga dengan riwayat dari Bahz bin Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, dan bapaknya berasal dari kakeknya, bahwasanya kakeknya berkata:

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ

Saya bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami tutup?  Nabi SAW menjawab, “Jagalah auratmu, kecuali kepada isteri-isterimu dan budak-budak yang kamu miliki.”  Saya bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika ada suatu kaum, dimana satu dengan yang lain bisa saling melihat auratnya?  Nabi SAW menjawab, “Jika kamu mampu, jangan sampai auratmu dilihat oleh seorangpun. Oleh karena itu, janganlah seseorang melihat aurat orang lain.”  Saya bertanya lagi, “Bagaimana, jika seorang diantara kami telanjang?  Nabi menjawab, “Harusnya ia lebih malu kepada Allah SWT.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain).

Orang yang membuka aurat, mendapat ancaman yang sangat keras. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan perempuan yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium harumnya. Padahal, harum surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.” (HR. Muslim).

Para ulama berbeda pendapat terkait dengan batasan aurat perempuan, apakah seluruh tubuh atau dikecualikan untuk muka dan telapak tangan. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Menurut Imam al-Thabari, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah “muka” dan “telapak tangan”.[3] Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram.  Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan perempuan dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah SAW pun berpaling seraya berkata:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini,  sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.” (HR. Muslim)

Sebagian ulama madzhab juga menyepakati kesimpulan tersebut. Abu al-Husain dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah, menurut madzhab Hanafi aurat perempuan adalah sebagai berikut, “Seluruh tubuh perempuan merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[4] Demikian juga dalam kitab Kifayah al-Thalib, Abu al-Hasan al-Maliki menyatakan, “Aurat perempuan merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”[5].

Imam al-Syirazi al-Syafi’i dalam al-Muhadzdzab mengatakan, “Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”[6] Al-Dimyathi, dalam kitab I’anah al-Thalibin, menyatakan, “Aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.”[7] Dalam kitab Mughni al-Muhtaj, Imam Syarbini menyatakan, “Aurat perempuan adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”[8]

Ibnu Qudamah al-Hanbali menyatakan dalam kitab al-Mughni, “Para ulama sepakat, bahwa perempuan boleh membuka wajahnya di dalam shalat, dan ia tidak boleh membuka selain muka dan kedua telapak tangannya. Sedangkan untuk kedua telapak tangan ada dua riwayat, dimana para ulama berbeda pendapat, apakah ia termasuk aurat atau bukan. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang perempuan boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang perempuan mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang perempuan shalat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi shalatnya”[9]

Selain pendapat jumhur di atas, sebagian ulama bahkan menetapkan seluruh tubuh perempuan adalah aurat tanpa kecuali. Sebagian ulama madzhab Syafi’i juga membedakan aurat di dalam dan di luar shalat, dan bahwasannya aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh tubuh. Para ulama juga berbeda pendapat seputar wajib atau tidaknya menutup wajah dengan niqab (cadar). Inilah batasan dalam perkara yang disepakati dan perkara yang tidak disepakati.

Berikutnya kami jelaskan terkait dengan syarat tertutupnya aurat. Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satr al-‘aurah” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra terkait Asma’ binti Abu Bakar seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Memahami Kewajiban Memakai Kerudung

Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi perempuan ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar (kerudung) dan jilbab (baju kurung). Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah SWT:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..” (QS. al-Nur: 31)

Ayat ini berisi perintah dari Allah SWT agar perempuan mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.

Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisan al-‘Arab menuturkan, “al-khimar  li al-mar`ah : al-nashif  (khimar bagi perempuan adalah al-nashif (penutup kepala).”  Ada pula yang menyatakan, bahwa khimaar adalah kain penutup yang digunakan perempuan untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur.[10] Khimar (kerudung) juga diartikan sebagai ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[11]

Di dalam kitab Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para perempuan itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata, “Pada masa jahiliyyah, perempuan mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya.  Khimar (kerudung) bagi perempuan mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.”[12]

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan, “Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqana’). Sa’id bin Jabir berkata,”wal yadlribna: walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa la yara syai` minhu (walyadlribna: ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[13]

Dalam kitab Zad al-Masir, dituturkan, “Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`saha (apa-apa yang digunakan perempuan untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nur: 31) adalah hendaknya para perempuan itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[14]

Memahami Kewajiban Jilbab

Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan mukminat dijelaskan dalam surat al-Ahzab ayat 59.  Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. al-Ahzab: 59)

Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada perempuan mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi perempuan selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”

Di dalam kamus Lisan al-‘Arab dituturkan, “al-jilbab; al-qamish (baju); wa al-jilbab tsaub awsa’ min al-khimar duna rida’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas dari pada khimar, namun berbeda dengan rida’, yang dikenakan perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbabtsaub al-wasi’ duuna milhafah talbasuha al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan perempuan). Ada pula yang menyatakan, al-jilbab: al-milhafah (baju kurung).[15]

Imam al-Qurthubi di dalam Tafsir al-Qurthubi menyatakan, “Jilbab adalah tsaub al-akbar min al-khimar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbab adalah rida’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qana’ (kerudung).  Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jami’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang perempuan diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab, “Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[16]

Dalam Tafsir Ibnu Katsir Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbab huwa al-rida` fauq al-khimar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jabir, Ibrahim al-Nakha’i, ‘Atha’ al-Khuraasani, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izar) sarung pada saat ini.  Al-Jauhari berkata, “al-Jilbab; al-Milhafah (baju kurung).”[17]

Al-Hafizh al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain berkata, “Jilbab adalah al-mula`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh perempuan, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang perempuan hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]

Penutup

Tugas umat Islam adalah melawan propaganda anti Islam, atau upaya untuk mendistorsi ajaran Islam. Sesungguhnya kampanye #NoHijabDay adalah suatu hal yang aneh jika diamini oleh kaum muslim. Sikap ini tidak sesuai dengan jati diri seorang muslim yang seharusnya mempunyai kewajiban menyebarkan ajaran Islam dan menunjukkan argumen yang kokoh kepada pihak-pihak yang menyebarkan keraguan. Kewajiban perempuan muslim untuk menjaga pandangan, menutup aurat, memakai busana islami ketika berada di luar rumah, dan menjaga kehormatan diri (seperti larangan tabarruj) telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang pasti penunjukkannya. Sayangnya, ada sebagian diantara mereka justru menolak kewajiban menutup aurat, dan kewajiban mengenakan khimar dan jilbab di kehidupan umum. Padahal sudah jelas bahwa busana yang harus dikenakan perempuan muslimah ketika keluar dari rumah adalah khimar dan jilbab. Khimar adalah kain kerudung (penutup kepala) yang diulurkan hingga menutupi dada perempuan. Jilbab adalah pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian biasa (pakaian sehari-hari), dan ia wajib diulurkan hingga ke bawah kaki. Hanya saja, jilbab wajib dikenakan ketika perempuan hendak keluar dari rumah. Adapun jika ia berada di dalam rumah, ia tidak diwajibkan mengenakan jilbab, dan cukup mengenakan pakaian sehari-hari. []

Catatan Kaki

[1] Al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubi, juz 7/172; Imam al-Jashshash, Ahkam al-Quran, juz 4/203.

[2] Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, Syarah hadits no.2717; al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 9/338.

[3] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, juz 18/118.

[4] Abu al-Husain, al-Hidayah Syarh al-Bidayah, juz 1/43.

[5] Abu al-Hasan al-Maliki, Kifayah al-Thalib, juz 1/215.

[6] Al-Syiraziy, al-Muhadzdzab, juz 1/64.

[7] Al-Syiraziy, al-Muhadzdzab, juz 1/113.

[8] Al-Syarbiniy, Mughni al-Muhtaj, juz 1/185.

[9] Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 1/349.

[10] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, juz 4/257.

[11] Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafasir, juz 2/336.

[12] Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 10/106.

[13] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285; al- Thabari, Tafsir al-Thabari, juz 18/120; Durr al-Mantsur, juz 6/182.

[14] Ibnu Jauzi, Zad al-Masir, juz 6/32; al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafi, juz 3/143.

[15] Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, juz 1/272.

[16] Al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubi, juz 14/243.

[17] Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, juz 3/519.

[18] Al-Suyuthi, Tafsir Jalalain, juz 1/560.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close