Tanya JawabTsaqofah

Betulkah Satu Khilafah Hanya Pendapat HT?

Soal:

Benarkah satu Khilafah untuk umat di seluruh dunia hanya merupakan pendapat Hizbut Tahrir? Ataukah ini merupakan pendapat ulama kaum Muslim? Ataukah sebaliknya, tidak ada satu pun kitab fikih yang menyatakan bahwa Khilafah wajib satu?

 

Jawab:

Pendapat bahwa umat Islam di seluruh dunia wajib mempunyai satu Negara Khilafah sesungguhnya merupakan pendapat para ulama mu’tabar. Imam an-Nawawi, misalnya, dalam Syarh Shahîh Muslim, menyatakan:

إذا بويع لخليفتين بعد خليفة، فبيعة الأول، صحيحة، ويجب الوفاء وبيعة الثاني باطلة، ويحرم الوفاء بِهَا، ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول، أم جاهلين، وسواء كانا في بلدين، أو بلد، أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل، والآخر في غيره.. واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد، سواء اتسعت دار الإسلام أم لا..

Jika baiat diberikan kepada dua khalifah, setelah sebelumnya ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil dan haram ditunaikan. Haram bagi orang yang kedua untuk menuntut baiat, baik mereka yang telah mengangkat yang kedua tadi tahu tentang pengangkatan yang pertama atau tidak; baik keduanya di dua wilayah, satu wilayah, atau salah satunya di wilayah Imam [Khalifah] yang terpisah, sementara yang lain di wilayah yang lain.. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dua khalifah diangkat dalam satu waktu, baik Darul Islam tersebut luas atau tidak.1

Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitabnya, Fath al-Bâri, juga menyatakan:

والمعنى: إذا بويع الخليفة بعد الخليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها، وبيعة الثاني باطلة، وقال القرطبي: في هذا الحديث – أي حديث: (أوفوا ببيعة الأول..) حكم بيعة الأول، وأنه يجب الوفاء بها، وسكت عن بيعة الثاني، ونص عليه حديث  عرفجة في صحيح مسلم، حيث قال: فاضربوا عنق الآخر..

Maknanya: Jika baiat diberikan kepada dua khalifah setelah sebelumnya telah ada khalifah yang dibaiat, maka baiat pertamalah yang sah, dan wajib ditunaikan, sementara baiat yang kedua batil. Dalam konteks hadis ini, yaitu hadits, “Tunaikanlah baiat yang pertama,”, al-Qurthubi menjelaskan hukum baiat yang pertama, bahwa ia wajib ditunaikan. Beliau mendiamkan baiat yang kedua. Hadis Arfajah, dalam Shahîh Muslim, telah menyatakan hal ini ketika menyatakan, “…maka penggalah leher yang terakhir (dari keduanya)…”2

Imam al-Mawardi, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, juga menyatakan:

فصل: وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما، لأنه لايجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد

Pasal: Jika Imamah [Khilafah] telah diberikan kepada dua imam di dua wilayah, maka Imamah [Khilafah]  keduanya tidak sah. Alasannya, karena umat ini tidak boleh mempunyai dua imam dalam satu waktu yang sama.3

Imam al-Farra’, dalam kitabnya, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, menyatakan:

ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين..

Tidak boleh [haram] mengangkat Imamah [Khilafah] untuk dua imam dalam dua wilayah.4

Inilah pendapat berbagai ulama tentang kesatuan Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi juga pendapat para ulama mu’tabar di kalangan Ahlus Sunnah.

Memang, Imam al-Haramain al-Juwaini menyatakan:

قال أصحابنا: لا يجوز عقدها لشخصين، قال: وعندي: أنه لا يجوز عقدها لاثنين في صقع واحد، وهذا مجمع عليه، قال: فإن بعد ما بين الإمامين، وتخللت بينهما شسوع فللاحتمال فيه مجال، وهو خارج من القواطع.

Para pengikut mazhab kami berkata, “Tidak boleh Imamah [Khilafah] itu diberikan kepada dua orang.” Menurut saya, “Imamah [Khilafah] itu tidak boleh diberikan kepada dua orang dalam satu wilayah. Ini telah disepakati.” Berkata [Para pengikut mazhab kami], “Jika wilayah di antara dua imam [Khalifah] itu jauh, dan dipisahkan oleh jarak, maka di sana ada kemungkinan. Ini keluar dari pendapat yang pasti.”5

Namun demikian, Imam an-Nawawi tidak sependapat dengan Imam al-Haramain al-Juwaini, bahkan dengan tegas menyanggah pendapat beliau:

وهو قول فاسد، لما عليه السلف والخلف، ولظواهر الأحاديث.

Ini merupakan pendapat yang rusak, menyalahi apa yang menjadi pendapat ulama salaf dan khalaf, juga menyalahi dhahirnya sejumlah hadis.6

Begitu juga dengan klaim pendapat Imam al-Mawardi, yang menyatakan kebolehan mengangkat dua orang untuk menduduki jabatan Imamah (Khilafah). Dengan kata lain, tiap orang diangkat di wilayah yang berbeda dengan yang lain, sebagaimana konotasi ijmak yang dinukil oleh Imam al-Haramain al-Juwaini, justru Imam al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang aneh.7

 

Dalil Kesatuan Khilafah

Khilafah Islam wajib satu bagi umat Islam di seluruh dunia telah dinyatakan dalam banyak hadis, di antaranya:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِه بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَة جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah (HR Muslim).

Nabi saw. juga bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).

Beliau pun bersabda:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِي خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَ إِنَّهُ لاَ نَبي بَعْدِيْ، وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَمَا تأمرنا؟ قَالَ: أُوْفُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلُ، أُعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ، وَاسْأَلُوْا اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ…

“Dulu Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia akan digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya setelah aku tidak akan ada seorang nabi pun. Yang akan adalah para khalifah sehingga jumlah  mereka banyak.” Mereka [para sahabat] bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Baginda saw. menjawab, “Tunaikanlah baiat yang pertama, maka yang pertama [itu yang sah]. Berikanlah kepada mereka hak mereka, dan memintalah kepada Allah, apa yang menjadi hak kalian.” (HR Muttafaq ‘Alaih).

Berdasarkan hadis-hadis di atas jelas bahwa: Pertama, di pundak setiap leher kaum Muslim wajib ada baiat, yaitu ketaatan kepada Imam [Khalifah] yang telah dibaiat oleh kaum Muslim, baik semua kaum Muslim yang ada di dunia terlibat dalam pembaiatannya, atau tidak, kecuali mayoritas, atau yang merepresentasikan suara mayoritas. Pasalnya, begitu baiat tersebut telah sah diberikan kepada seorang imam [khalifah], maka baiat tersebut telah mengikat leher setiap kaum Muslim sekalipun individu ini, atau kelompok itu, tidak terlibat langsung dalam proses pembaiatannya. Ini sebagaimana baiat terhadap Abu Bakar, yang diberikan oleh mayori-tas sahabat, telah mengikat leher Ali bin Abi Thalib ra, meski untuk beberapa saat beliau belum membaiatnya. Baiat tersebut juga mengikat leher Saad bin Ubadah meski belum sempat sama sekali membaiatnya hingga meninggal dunia. Semua ini membuktikan bahwa adanya baiat  kepada seorang khalifah yang sah menjadikan baiat tersebut mengikat leher setiap kaum Muslim.

Kedua, baiat yang mengikat leher tiap kaum Muslim tak lain adalah baiat kepada seorang imam (khalifah) sebagaimana yang ditunjukkan dua hadis di atas. Menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, “Ini merupakan seruan kepada seluruh kaum Muslim agar mereka tidak mempunyai dua khalifah, baik adanya khalifah yang kedua dengan sukarela dan persetujuan kaum Muslim, dengan pembaiatan mereka kepadanya, ketika yang pertama sudah ada, atau adanya khalifah melalui kekerasan dan perampasan kekuasaan khalifah yang pertama.” 8

Ketiga, hanya boleh ada seorang khalifah bagi kaum Muslim di seluruh dunia merupakan kinayah, tentang adanya satu instruksi, satu kekuasaan dan kepemimpinan. Itulah yang dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bâri.9

Itulah pendapat para ulama mu’tabar tentang kedudukan satu Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Pendapat ini dituangkan dalam kitab-kitab mereka. Jadi, jelas ini ada dalam kitab-kitab mereka. Dengan begitu pendapat yang menyatakan bahwa Khilafah bagi kaum Muslim di seluruh dunia hanya satu adalah bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi pendapat yang disepakati oleh hampir seluruh ulama kaum Muslim.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa ini hanya pendapat Hizbut Tahrir jelas dia telah menjatuhkan kredibilitasnya, apalagi jika dia diklaim sebagai orang alim dan ahli fikih. Orang seperti ini tidak layak disebut orang yang alim, apalagi ahli fikih. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40.

2      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, VI/497.

3      Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.

4      Imam al-Farra’, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 9.

5      Lihat: Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.

6      Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VIII/40-41.

7      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/336.

8      Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fi as-Siyâsah as-Syar’iyyah, I/330.

9      Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Syarh Shahîh al-Bukhâri, XIII/8.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close