Tsaqofah

Meneladani Kepemimpinan Rasulullah Saw.

Oleh: Ustaz Azizi Fathoni

Di antara nikmat dan karunia Allah SWT yang sangat besar adalah menjadi pengikut Rasulullah Muhammad saw. Dialah sebaik-baik manusia (khayr al-anâm), bahkan sebaik-baik makhluk Allah (khayr khalqilLâh). Dialah pemimpin para nabi dan rasul (imâm al-anbiyâ‘ wa al-rusul), penghulu seluruh umat manusia (sayyid walad âdam) dan pemberi syafaat agung di Hari Akhir kelak. Dia dutus dengan mengemban sebaik-baik risalah (risâlah al-Islâm), sebaik-baik kitab (al-Qur’ân) yang diturunkan di sebaik-baik waktu (laylat al-qadar), di sebaik-baik tempat (Dua Tanah Haram), melalui perantaraan sebaik-baik malaikat (Jibril as). Sungguh sempurna keutamaan beliau beserta risalah yang beliau emban dari segala aspeknya.

Demikian mulianya pribadi Rasulullah saw. hingga syariah menetapkan beliau sebagai contoh panutan yang utama bagi seluruh umat manusia pada akhir zaman.

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS al-Ahzab [33]: 21).

Ayat mulia ini merupakan dalil yang penting terkait perihal mengikuti Rasulullah saw. dalam berucap, berbuat dan bersikap. Begitulah al-Imam Abu Fida’ Ibnu Katsir (w. 774 H) menafsirkan ayat tersebut. Ungkapan uswah hasanah di situ mengantarkan pada pemahaman bahwa uswah itu ada yang baik (uswah hasanah) dan ada yang buruk (uswah sayyi’ah). Uswah hasanah ada pada diri Baginda Rasulullah saw. Siapa saja yang menjadikan beliau sebagai panutan, ia berada di jalan yang lurus yang akan mengantarkan pada ridha Allah SWT. Adapun  uswah sayyi’ah adalah setiap suri teladan yang menyalahi beliau dan ajaran Islam yang beliau bawa.

Allah SWT berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia  larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya (QS al-Hasyr [59]: 7).

Konteks ayat ini memang berkenaan dengan harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun, sebagaimana kata Imam az-Zamakhsyari (w. 538 H), akan lebih tepat mengartikan ayat ini secara umum, yakni meliputi segala apa saja yang Rasulullah saw. berikan dan segala apa saja yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Maka dari itu, wajib menjadikan Rasulullah saw. sebagai panutan dan suri teladan secara totalitas, baik dalam aspek individu, keluarga, maupun negara; kecuali hal-hal yang hanya berlaku khusus bagi beliau saja (khawâsh al-Rasûl) sebagaimana diterangkan oleh ulama ushul dalam kitab-kitab mereka.

Di antara bagian yang wajib untuk dicontoh dan diteladani dari diri beliau adalah dalam hal kepemimpinan.

Urgensi Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan perkara pokok dalam hidup berjamaah, bahkan merupakan salah satu dari qiwâm (penopang) suatu masyarakat. Seorang penyair jahiliah bernama Afwah al-Audi pun mengakui hal itu. Sebagaimana dikutip oleh al-Imam Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H):

لاَ يَصلُحُ الْقَوْمُ فَوضى لاَ سَراةَ  لَهُم … وَلا سَراةَ إِذا جُهّالُهُم سَادُوْا

Tidak akan baik suatu kaum itu hidup tercerai-berai tanpa memiliki pemimpin dan tidak terhitung memiliki pemimpin jika orang-orang bodoh di kalangan mereka yang menjadi pemimpin. (Asy-Syi’r wa asy-Syu’arâ‘, 1/217).

Kepemimpinan Rasulullah saw.

Rasulullah saw. adalah seorang pemimpin teragung dan terbaik yang pernah ada dalam sejarah manusia. Jules Masserman, seorang peneliti independen sekaligus seorang professor di Universitas Chicago Amerika, pernah melakukan penelitian dengan meletakkan tiga syarat untuk menentukan pemimpin terbaik dunia yaitu: (1) Hendaknya pada diri pemimpin ada proses pembentukan kepemimpinan yang baik; (2) Hendaknya pemimpin tersebut menaungi kesatuan masyarakat yang terdiri dari keyakinan yang berbeda-beda; (3) Hendaknya pemimpin tersebut mampu mewujudkan sebuah sistem masyarakat yang manusia dapat hidup di dalamnya dengan aman dan tenteram.

Secara jujur lalu beliau berkesimpulan: “Barangkali pemimpin teragung sepanjang sejarah adalah Muhammad yang telah memenuhi tiga syarat tersebut.” (Majalah Time, Who Were History’s Great Leaders, edisi 15 Juli 1974).

Bagi Muslim, secara ‘itiqâdi (keyakinan) beliau akan terus menyandang gelar demikian hingga Hari Penghakiman tiba. Hal ini terbukti dalam sejumlah dalil, di antaranya:

Pertama, Nabi saw. pernah bersabda, “Saat terjadi Hari Kiamat kelak, akulah pemimpin para nabi, juru bicara dari mereka (di hadapan Allah) dan pemberi syafaat mereka, tanpa rasa sombong.” (HR at-Tirmidzi).

Hadis ini—dan yang semisalnya—menunjukkan betapa kedudukan Rasulullah saw. adalah sebagai pemimpin tertinggi manusia seluruhnya, baik pada masa beliau, sebelum maupun sesudahnya hingga Hari Akhir tiba. Sebab para nabi dan rasul merupakan para pemimpin bagi kaum mereka masing-masing. Adapun Rasulullah Muhammad saw. disebut sebagai pemimpin mereka (para nabi) dan merupakan nabi sekaligus rasul terakhir yang Allah bangkitkan. Maka jadilah beliau adalah pemimpinnya para pemimpin, atau pemimpin seluruh umat manusia. Isyarat kepemimpinan beliau atas mereka juga ditunjukkan dalam peristiwa Isra’ yang beliau alami. Saat itu beliau didaulat menjadi imam salat para nabi dan rasul, sebelum kemudian di-mi’raj-kan ke Sidratul Muntahâ. Isyarat yang cukup jelas akan kepemimpinan beliau atas seluruh umat manusia dipertegas lagi dengan ayat:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨

Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh manusia, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak tahu (QS Saba‘ [34]: 28).

Aspek Terpenting Kepemimpinan Nabi saw.

Pertama: Beliau bukan sekadar pemimpin spiritual (za’îm rûhi) semata, melainkan sekaligus pemimpin politik (za’îm siyâsi). Dalam konteks saat ini, beliau dapat disebut sebagai pemimpin negara (ra’îs ad-dawlah).

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ٦٤

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk ditaati dengan izin Allah (QS an-Nisâ‘ [4]: 64).

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah saw. tidak sebatas penyampai risalah semata, melainkan juga sebagai pemimpin yang wajib untuk ditaati setiap perintah dan larangannya. Hal ini ditunjukkan oleh banyak dalil. Di antaranya adalah kelanjutan daripada ayat di atas:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim (pemutus perkara) atas apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh penerimaan (QS an-Nisâ‘ [4]: 65).

Dalam praktiknya, apa yang disebutkan ayat tersebut tertuang dalam Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah):

Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw…Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504).

Kedudukan Rasulullah saw. sebagai pemegang keputusan yang wajib ditaati oleh semua kalangan yang berada dalam wilayah kekuasaan beliau cukup jelas menunjukkan beliau adalah seorang penguasa tertinggi di wilayah tersebut. Bukan sebatas pemimpin spiritual semata yang hanya berperan sebagai pengajar dan juru nasihat.

Jika ada yang bertanya: Bukankah tugas nabi hanya menyampaikan tanpa memiliki kuasa? Contohnya dalam ayat:

فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡكَ ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٨٢

Jika mereka tetap berpaling, sungguh kewajiban yang dibebankan atas kamu (Muhammad) hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (QS an-Nahl [16]: 82).

Contoh lain:

لَّسۡتَ عَلَيۡهِم بِمُصَيۡطِرٍ ٢٢

Kamu (Muhammad) bukanlah orang yang berkuasa atas mereka (QS al-Ghasyiyah [88]: 22).

Ada beberapa ayat lain yang serupa. Jawabannya, menurut ulama tafsir, dapat dimaknai dengan dua cara. Pertama, ayat tersebut sudah di-naskh hukm[an] lâ qirâ‘at[an] (dihapus secara hukum saja), yakni dalam konteks sebelum Rasulullah saw. berkuasa dan sebelum pensyariatan jihad. Kedua, ketidakkuasaan Rasulullah saw. di situ adalah terkait dengan keimanan. Artinya, beliau tidak dapat memaksakan petunjuk kepada seorang manusia pun. Jadi tidak ada kaitannya dengan posisi beliau sebagai penguasa, pengurus urusan umat.

Kedua: Dalam kepemimpinannya Rasulullah saw. menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Bagaimana tidak? Beliau sendiri adalah shâhib asy-syarî’ah yang seluruh gerak-gerik beliau (ucapan, perbuatan dan taqrîr) menjadi salah satu dasar syariah bagi umatnya.

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤

Tiadalah yang dia ucapkan menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dia) (QS an-Najm [53]: 3-4).

Dalam hal ini termasuk kebijakan-kebijakan beliau dalam mengurus setiap urusan rakyat yang beliau pimpin.

Ketiga: Sangat gigih dan tegas dalam menerapkan syariah Islam. Cukup tergambar, misalnya, pada saat beliau dirayu oleh manusia kesayangan beliau untuk tidak menerapkan hukuman secara syar’i dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang wanita terpandang dari kalangan Quraisy.

Aisyah ra. menuturkan, suatu ketika kaum Quraisy gelisah memikirkan nasib seorang wanita makhzumiyyah yang telah melakukan pencurian. Mereka berkata, “Siapa yang sanggup melobi Rasulullah saw. terkait ini?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw.” Lalu Usamah pun melobi beliau. Rasulullah kemudian bersabda, “Apakah kalian hendak meringankan hukuman syar’i (hadd) di antara hukuman-hukuman syar’i Allah?” Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah, “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan, tapi bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan had atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR Muslim).

Demikian pula saat beliau dirayu dengan tebusan yang tidak syar’i (seratus kambing dan seorang budak) oleh seorang bapak, agar putranya yang tersangkut kasus perzinaan dibebaskan dari hukuman syar’i.

Dari Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Syibl: Berkatalah Rasulullah saw. (kepada sang bapak), “Demi nyawaku yang ada di genggaman-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdasarkan al-Quran. Seratus kambing dan budak dikembalikan lagi kepadamu. Atas putramu adalah hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun…” (HR Ibnu Majah).

Ini sekaligus menunjukkan bahwa Rasulullah saw. hanya menjadikan Islam dan syariahnya sebagai dasar dalam menjalankan roda pemerintahan. Beliau tidak mentoleransi aturan yang tidak berasal dari Islam, betapapun itu cukup menggiurkan dan menggoda menurut kacamata duniawi.

Keempat: Beliau menyatukan masyarakat yang beliau pimpin dengan ikatan yang kokoh, yakni ikatan akidah Islam yang termanifestasi-kan dalam bentuk ukhuwwah islamiyyah. Beliau sekaligus melenyapkan ikatan-ikatan ‘ashabiyyah jâhiliyah, seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan.   Penggambaran cukup apik oleh KH. Hasyim Asy’ari berikut ini patut untuk direnungkan:

Lalu hilanglah perbedaan-perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian dan kezaliman. Masyarakat pun–atas nikmat Allah–berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah. Tujuan mereka semua hanya satu, yaitu menjadikan kalimat Allah menjadi unggul dan kalimat setan menjadi hina. Mereka mengabdi demi Islam dengan ikhlas. Semoga Allah mengganjar mereka dengan sebaik-baik balasan. Inilah Salman al-Farisi, Shuhaib ar-Rumi, Bilal al-Habasyi, dan yang lainnya. Mereka adalah di antara yang beriman kepada Allah dengan ikhlas, memperjuangkan dan menolong Islam dengan segala kekuatan yang mereka miliki, memprioritaskan kepentingan Islam di atas kepentingan bangsa dan kaum mereka. Ini karena mereka memandang bahwa ketaatan kepada Allah adalah di atas segalanya dan bahwa kebaikan atas kemanusiaan ada pada pengabdian mereka pada Islam. (KH Hasyim Asy’ari, Irsyâd al-Mu‘minîn ilâ Sîrah Sayyid al-Mursalîn, hlm 44).

Kelima: Dalam kepemimpinannya beliau menjalankan misi agung menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dengan begitu Islam dan penerapannya secara totalitas merambah ke berbagai negeri menebarkan rahmat di setiap jengkalnya.

Rasulullah saw. bersabda: “Aku diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia hingga mereka mau mengucapkan: Lâ ilâha illâ Allâh. Siapa saja yang mengucapkan Lâ ilâha illâ Allâh, berarti ia telah menyelamatkan harta dan nyawanya dariku, kecuali dengan jalan yang haq (menurut syariah Islam), sedang hisabnya di tangan Allah.” (HR Muslim).

Misi inilah yang kemudian dilanjutkan oleh para pengganti (khulafâ’) beliau sepeninggal beliau. Hasilnya, kekuasaan Islam mencapai apa yang belum pernah dicapai oleh imperium raksasa manapun dalam sejarah manusia.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close