Tsaqofah
Penyebutan “Khilafahisme” adalah Penistaan
Oleh Yuana Ryan Tresna
Sekjen PDPI Hasto Kristianto membuat pernyataan kontroversial terkait isu “Khilafahisme”. Menurut Hasto, PDIP juga setuju penambahan ketentuan menimbang untuk menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, seperti Marxisme – komunisme, Kapitalisme -Liberalisme, Radikalisme serta bertuk Khilafahisme. Artinya jika RUU HIP disetujui jadi Undang-undang, penyebar paham Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme, Radikalisme dan Khilafahisme akan diburu dan ditangkap karena bertentangan dengan ideologi Pancasila.[1] Sesungguhnya pernyataan itu menggambarkan permusuhan nyata pada ajaran Islam yang sangat mulia, dan upaya menutupi masalah yang sebenarnya terjadi di negeri ini.
Kesalahan Penggunaan Istilah dan Motif Menyerang Ajaran Islam
Penggunaan istilah “khilafahisme” untuk menyebut sistem khilafah adalah bentuk penistaan terhadap ajaran Islam. Apalagi ketika Khilafah disetarakan dengan Marxisme-Komunisme dan Kapitalisme-Liberalisme yang pengembannya bisa diburu dan ditangkap. Khilafah adalah ajaran Islam. Oleh karena itu siapa saja yang memperjuangkannya bukan pelaku kriminal. Mengusahakan tegaknya khilafah adalah wujud ketaatan pada agamanya. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung dari Allah SWT. Khilafah sistem pemerintahan dalam Islam, sekaligus sebagai metode pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Khilafah bukan “isme” karena ia ajaran Islam yang bersumber dari wahyu, sedangkan isme berasal dari akal dan hawa nafsu manusia. Dalam Wikipedia, sufiks -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Prancis Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran atau kepercayaan. Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks -isme.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, “-isme sufiks pembentuk nomina sistem kepercayaan berda-sarkan politik, sosial, atau ekonomi: terorisme; liberalisme; komunisme”.[3] Dengan demikian, menyebut khilafah dengan “khilafahisme” adalah kekeliruan, penyesatan, dan pengkerdilan terhadap sesuatu yang agung.
Selain itu, kita juga harus membaca secara politik bahwa istilah tersebut adalah alat propaganda untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Istilah “radikalisme” –dan sekarang “khilafahisme”- selalu digunakan untuk menyasar umat Islam. Kita ketahui bersama bahwa khilafah itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasi? Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih bias makna dan lebih cenderung sebagai narasi politik untuk melawan pihak-pihak tertentu yang berseberangan dengan penguasa. Ia hanya akan menjadi alat pukul terhadap warga negara yang kritis dan berbeda cara pandang dengan rezim.
Narasi “khilafahisme” dan “radikalisme” adalah alat propaganda. Dalam dunia politik, propaganda adalah metode sekaligus alat yang sangat efektif untuk mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawan yang dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action).
Secara konseptual, propaganda adalah rangkaian pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Bahkan, propaganda dapat dilihat dari konteks kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi.[4]
Penyebutan “khilafahisme” masuk dalam teknik propaganda penjulukan (name calling). Teknik ini merupakan teknik propaganda dengan cara memberikan sebuah ide atau label yang buruk kepada orang, gagasan, objek agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Pemberian label buruk tersebut bertujuan untuk menjatuhkan atau menurunkan kewibawaan seseorang atau suatu ajaran yang agung.
Dalam term literatur Islam, kondisi saling melabeli dengan julukan ini sering disebut dengan “perang istilah” (harb al-musthalahat). Perang ini merupakan perang dengan suatu agenda besar, yaitu menimpakan bahaya dan kehancuran pemikiran dan politik kepada lawan. Caranya dengan menggunakan istilah sebagai alat untuk melemahkan, menyesatkan atau mencitraburukkan lawan.[5] Perang Istilah telah digunakan oleh musuh-musuh Islam sejak awal perjuangan Nabi SAW di Makkah. Kaum Quraisy di Makkah telah menyerang Nabi SAW dengan perang istilah ini. Mereka mempropgandakan bahwa Muhammad adalah tukang sihir, dukun bahkan gila.[6]
Serangan terhadap istilah khilafah dalam bentuk pengkerdilan dan reduksi istilah sebenarnya sudah berlangsung lama. Upaya distorsi terhadap istilah khilafah dilakukan secara terus-menerus dan oleh lintas gerenasi. Rasyid Ridha (1865-1935) dengan bukunya yang berjudul al-Khilafah, juga Ali Abdurraziq (1888 – 1966) dengan bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm, merupakan dua tokoh yang mengawali upaya pendistorsian makna khilafah.[7]
Upaya jahat mendistorsi ajaran Islam merupakan konfirmasi atas kebenaran firman Allah SWT,
يُرِيدُونَ أَن يُطۡفِئُواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُۥ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya meski orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubah: 32)
Khilafah Adalah Ajaran Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Nahl Ayat 89. Abdullah Ibn Mas’ud ra menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[8]
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi SAW bersabda,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad).
Lafazh عُرْوَةً عُرْوَةً) ) menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[9] Adapun maksud kalimatوَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ) ) adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[10]
Khilafah memiliki makna yang khas dan agung dalam Islam. Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[11] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran, seperti QS. Al-Baqarah: 30, QS. Al-An’âm: 165, dan QS. Al-Naml: 62.
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad SAW dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[12] demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[13]
Makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang agung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[14]
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah khilafah dan Imamah. [15]
Imam al-Mawardi mendefinisikan khilafah sebagai,
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”[16]
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.
Tanggung Jawab Ulama dan Umat Islam
Rusaknya tatanan kehidupan bukan disebabkan karena Islam dan khilafah, tetapi karena paham sekularisme dan kapitalisme. Saat ini, kita menyaksikan masih banyak perintah Allah SWT yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya. Kondisi rakyat semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi-korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, pergaulan pemuda dan pemudinya semakin rusak, korupsi kian merajalela, kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan sebagainya.
Itu semua sudah seharusnya mendorong orang beriman untuk muhasabah. Maha benar Allah SWT yang berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rum: 41)
Lahirnya UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Migas, UU Minerba dan lainnya yang tidak berpihak pada rakyat dan cenderung bercorak kapitalistik, adalah di antara bukti kongkrit perundang-undangan hasil proses demokrasi yang menuai kritik dari para ulama dan cendekiawan muslim.
Propaganda “khilafahisme” yang mendistorsi ajaran Islam harus dilawan. Umat Islam khususnya para ulama harus berada di garda terdepan dalam membela ajaran Islam, dan bersama umat berjuang mengembalikan sistem khilafah. Mengapa ulama lebih besar tanggungjawabnya? Karena mereka adalah orang-orang yang berilmu dan takut kepada Allah. Kebenaran dan kebatilan tidak samar bagi para ulama. Khilafah memberikan jaminan kebaikan jika dijalankan. Khilafah memiliki landasan normatif yang kokoh dan landasan historis yang nyata. Bahkan, mengangkat seorang khalifah untuk menegakkan hukum-hukum Allah adalah menjadi konsensus (ijmak) para ulama. Terakhir, tidak ada jalan lain bagi kita yang mendambakan keberkahan hidup, dan meniti jalan pendahulu kita, kecuali berjuang merealisasikan kembali proyek agung kehidupan Islam, sebagai salah satu bagian dari pesan mendalam Rasulullah SAW, dari Al-’Irbadh bin Sariyah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin (khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)[17] []
Catatan Kaki:
[1] Lihat tribunnews.com, “Penyebar Paham Khilafahisme akan Diburu Seperti Paham Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme”, 15 Juni 2020, https://makassar.tribunnews.com/2020/06/15/penyebar-paham-khilafahisme-akan-diburu-seperti-paham-marxisme-komunisme-kapitalisme-liberalisme [diakses 18 Juni 2020]
[2] Lihat wikipedia.org, <https://id.wikipedia.org/wiki/-isme#:~:text=Sufiks%20%2Disme%20berasal%20dari%20Yunani,kepercayaan%20tertentu%20memiliki%20sufiks%20%2Disme> [diakses 18 Juni 2020].
[3] Lihat kbbi.web.id, <https://kbbi.web.id/-is%20isme> [diakses 18 Juni 2020].
[4] Lihat Abdul Rivai Ras, “Mengenal Propaganda Politik di Era Post-Truth”, <https://kumparan.com/abdul-rivai-ras/mengenal-propaganda-politik-di-era-post-truth-1549632367408752701/full> [diakses 18 Juni 2020].
[5] Lihat Utsman Zahid as-Sidany, “Perang Istilah”, <https://al-waie.id/fokus/perang-istilah/> [diakses 18 Juni 2020].
[6] Lihat QS. al-Shaffat: 36; ad-Dukhan: 14; al-Dzariyat: 39 & 52; al-Thur: 29; dan al-Qamar: 29.
[7] Lihat Syawa’ib Tafsir, sub bab Syawa’ib fi Nizham al-Hukm.
[8] Lihat Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
[9] Lihat al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
[10] Lihat al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
[11] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[12] Lihat Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
[13] Lihat Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke-19, hlm. 485.
[14] Lihat al-Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
[15] Lihat Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
[16] Lihat Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
[17] HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 17184), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dan para rawinya tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
Sumber: Majalah Al Wa’ie, Edisi Dzulhijjah, 1-31 Agustus 2020