Tanya JawabTsaqofah

Perjuangan Intelektual dan Politik

Pertanyaan:

Di dalam nasyrahAt-Tahrîk as-Siyâsi” yang dikeluarkan oleh Hizb dinyatakan bahwa al-kifâh as-siyâsi (perjuangan politik) adalah uslûb dan bukan tharîqah.  Jika masalahnya demikian, yaitu al-kifâh as-siyâsi dan ash-shirâ’u al-fikri (perjuangan intelektual) adalah uslûb dan bukan merupakan tharîqah, lalu apakah ini berarti bahwa periode tafâ’ul (interaksi dengan msyarakat) adalah bagian dari tharîqah, sedangkan apa yang berlangsung di dalam periode ini dalam bentuk aktivitas politik dan intelektual (fikriyah) merupakan uslûb?

Pasalnya, banyak terdapat ayat di dalam al-Quran yang menjelaskan adanya al-kifâh as-siyâsi dan ash-shirâ’u al-fikri melawan para pemimpn kufur Quraisy?

Jawab:

Benar bahwa tafâ’ul (interaksi dengan masyarakat) merupakan bagian dari tharîqah. Penting disebutkan bahwa perjuangan politik dan intelektual juga merupakan bagian dari tharîqah.  Periode tafâ’ul mengharuskan hal itu dan tidak sempurna kecuali dengan kedua aktivitas itu.  Bahkan bukan merupakan tafâ’ul tanpa aktivitas politik dan intelektual.

Al-kifâh as-siyâsi dan ash-shirâ’u al-fikri merupakan tantangan yang gamblang melalui aktivitas politis dan intelektual.  Tantangan ini adalah uslûb.  Kadang hal itu harus dilakukan di sini dan tidak harus di sana.

Supaya saya bisa mendekatkan masalah ini, pendistribusian leaflet kadang dilakukan dengan uslûb kifâhi (heroik) sehingga leaflet itu didistribusikan dengan tantangan yang gambling. Kadang leaflet didistribusikan secara biasa saja.

Jadi ash-shirâ dan al-kifâh memiliki konotasi tantangan yang gamblang disertai konsekuensi-konsekuensi tantangan ini. Ini adalah uslûb.

Adapun apa yang disebutkan di alam al-Quran al-Karim adalah kondisi-kondisi terbatas yang ditujukan kepada para pemimpin kekufuran disebabkan adanya tambahan dalam hal keburukan, bukan semata kekufuran.  Mereka memerangi Islam dan kaum Muslim dengan keras bagaimanapun dalil-dalil telah mengatakan kebenaran. Lalu disebutkanlah serangan-serangan sengit dan kuat mereka di dalam ayat-ayat tersebut.  Meskipun demikian, seandainya Anda inventarisir, niscaya Anda temukan semuanya itu terbatas, padahal jumlah orang kafir itu banyak.

Rasulullah saw. menggunakan uslûb yang berbeda-beda dalam hal kekuatannya terhadap orang-orang kafir.  Misalnya, ketika salah seorang pemimpin Quraisy (Utbah) mendatangi beliau, beliau menawarkan kepada dia Islam dengan hujjah yang meyakinkan dan hikmah yang tinggi, dengan uslub yang tenang dan berpengaruh. Hasilnya, orang itu kembali ke Quraisy dengan tenang, tidak seperti saat ia pergi. Ini seperti yang dideskripsikan oleh para pemimpin Quraisy yang mengirim dia, khususnya ia memuji ucapan yang dia dengar dari Rasul saw.

Pada saat yang lain, ketika salah seorang pemimpin Quraisy (Wa’il) bertemu dengan Rasul saw., dan pemimpin kafir itu membawa remahan tulang di tangannya. Dia lalu menunjukkan remahan tulang itu kepada Rasul saw. dan bertanya, “Apakah Tuhanmu mampu mengembalikan ini menjadi hidup?” Rasul saw. menjawab, “Benar. Dia bisa membangkitkannya dalam keadaan hidup,” kemudian Rasul saw. menambahkan, “dan memasukkan engkau ke Neraka Jahanam.

Di sini Rasul saw. tidak menjawab pertanyaannya saja, tetapi juga menambahnya dengan jawaban yang keras.

Begitulah, uslûb itu makin kuat atau makin lemah bergantung pada pihak yang dihadapi.

Saya akan menjelaskan deskripsi itu lebih banyak. Bacalah ayat berikut:

اِذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلاَ تَنِيَا فِي ذِكْرِي (42) اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku. Lalu berbicaralah kamu berdua kepada dia dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (QS Thaha [20] 42-43).

Tampak jelas di dalam ayat ini bahwa yang dituntut adalah diskusi intelektual yang tenang dan lunak.

Sekarang, bacalah ayat ini dalam topik yang sama, juga dengan subyek sama yaitu Nabi Musa as. dengan Fir’aun. Akan tetapi, ada sikap yang berbeda setelah Musa menawarkan kepada Fir’aun bukti dan argumentasi. Meski demikian, Fir’aun tetap ingkar dan makin melampaui batas. Ketika itu maka ucapan Musa as. tidak lagi lunak, tetapi keras dengan mensifati dia dengan kata matsbur[an] (binasa):

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى تِسْعَ ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ فَاسْأَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُمْ فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَامُوسَى مَسْحُورًا (101)  قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَؤُلاَءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَافِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

Sungguh Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata. Tanyakanlah kepada Bani Israil tatkala Musa datang kepada mereka. Lalu Fir`aun berkata kepada dia, “Sungguh aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang terkena sihir.” Musa menjawab, “Sungguh kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata. Sungguh aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.” (QS al-Isra’ [17]: 101-102).

Jadi diskusi yang lunak pada awalnya adalah untuk memaparkan berbagai argumentasi dan bukti. Akan tetapi, setelah Musa as. mengedepankan berbagai argumentasi dan bukti yang qath’i dengan gamblang, namun Fir’aun tetap ingkar dan membangkang, maka pada saat itu diskusi menjadi keras.

Saya berharap masalah tersebut telah menjadi jelas.

Oleh karena itu Anda mendapati kita menyatakan di dalam buku kita tentang berbagai aktivitas politis pada periode tafâ’ul: …Di dalam aktivitas-aktivitas politik ini tampak menonjol adanya ash-shira’ al-fikri dan al-kifah as-siyasi

Jadi ash-shirâ (pergolakan) dan al-kifâh (perjuangan) biasanya tampak menonjol di dalam periode ini karena benturan dengan para pemimpin kufur sehingga uslûb ini sesuai dengan mereka.  Akan tetapi, dengan orang-orang kafir lainnya atau pada waktu lainnya kadang aktivitas politis dan intelektual mengharuskan uslûb yang lain lagi.

Saya ulangi, aktivitas politik dan intelektual adalah bagian dari tharîqah.  Periode tafâ’ul menuntut dan mengharuskan keduanya.  Hanya peningkatan eskalasi aktivitas politik dan intelektual saja, yaitu al-kifâh dan ash-shirâ’ yang merupakan uslûb dan digunakan pada waktu dan tempat yang sesuai.

[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah/14 Shafar 1429 H-20 Februari 2008 M]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close