Nafsiyah

Meraih ‘Izzah

Sejarah Islam telah mencatat dengan tinta emas arti sebuah persatuan (wihdah) dan persaudaraan (ukhuwah). Ketika Rasulullah saw. dan para Sahabat berhijrah dari Makkah ke Madinah, yang pertama kali Beliau lakukan, selain membangun masjid, adalah mempertautkan tali persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf, Sahabat dari Muhajirin, misalnya, dipersaudarakan dengan Saad bin Rabi dari kalangan Anshar. Abdurrahman bin Auf dikenal sebagai saudagar yang kaya-raya. Hanya saja, saat berhijrah ia tidak memiliki apa-apa, karena semua kekayaan dan barang dagangannya ia tinggalkan di Makkah. Melihat saudaranya yang tidak mempunyai apa-apa lagi, Saad bin Rabi berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Saudaraku, aku adalah salah seorang penduduk Madinah yang kaya-raya. Kalau engkau mau, silakan ambil setengah hartaku. Aku juga punya dua orang istri. Engkau boleh memilih, mana yang paling menarik hatimu. Sekarang juga ia akan kuceraikan dan engkau bisa menikahinya.”

Kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi yang terkenal di atas hanyalah contoh kecil yang mempresentasikan fenomena ukhuwah sekaligus wihdah antara kaum Muhajirin dan Anshar yang demikian kuat. Mereka tidak hanya saling bersimpati, bahkan saling berempati satu sama lain, yang mewujud dalam bentuk saling berkasih-sayang yang amat tulus.

Padahal penduduk Madinah sebelum memeluk Islam, jangankan terhadap penduduk luar Madinah, sesama mereka sendiri—khususnya di antara dua suku terbesar Madinah: Aus dan Khazraj—sering berlaku keras. Konflik dan peperangan bahkan seakan telah menjadi tradisi mereka, yang telah berjalan puluhan tahun. Hanya dengan Islamlah konflik dan peperangan itu bisa diakhiri, diganti dengan ukhuwah (persaudaraan). Ukhuwah lalu melahirkan wihdah (persatuan), mahabbah (saling cinta) hingga bahkan quwwah (kekuatan). Dengan kekuatan atas dasar persatuan itulah kaum Muslim (Muhajirin dan Anshar) mampu menyebarluaskan risalah Islam dengan dakwah dan jihad ke seluruh jazirah Arab, sekaligus menaklukkan segala kekuatan kufur yang menghalangi dakwah serta mengancam keselamatan mereka dan akidah mereka.

*****

Sesaat setelah Baginda Nabi saw. wafat, kaum Muhajirin dan Anshar memang sempat terlibat dalam sebuah ‘ketegangan’ di Saqifah Bani Saidah yang nyaris mengarah pada konflik berkepanjangan. Ketegangan terjadi terkait dengan siapa yang layak menjadi pemimpin (imam/khalifah) pengganti Rasulullah saw., apakah dari kaum Muhajirin atau Anshar. Masing-masing mengklaim, yang paling berhak memimpin adalah dari kelompok mereka.

Namun, setelah sempat saling beradu argumentasi, pada akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat sekaligus membaiat Abu Bakar ra. sebagai khalifah, yang diridhai oleh seluruh kaum Muslim, baik Muhajirin maupun Anshar.

Ada kisah lain. Suatu ketika, seorang Yahudi bernama Syash bin Qais lewat di hadapan orang-orang Aus dan Khazraj yang saat itu tengah bercakap-cakap. Yahudi tersebut benci melihat keakraban mereka. Ia lalu menyuruh seseorang untuk turut terlibat dalam percakapan mereka, seraya membangkit-bangkitkan cerita Jahiliah pada masa Perang Bu’ats. Orang-orang Aus dan Khazraj pun terprovokasi. Aus bin Qaizhi dari kabilah Aus dan Jabbar bin Sakhr dari kabilah Khazraj akhirnya saling mencaci pihak lainnya dan membangga-banggakan golongannya. Nyaris saja terjadi baku-hantam dengan pedang terhunus.

Berita itu sampai kepada Rasulullah saw. Beliau kemudian menghampiri mereka seraya bersabda: Wahai kaum Muslim, ingatlah Allah; ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak layaknya para penyembah berhala? Padahal aku hadir di tengah-tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam sehingga dengan itu kalian menjadi mulia, jauh dari penyembahan terhadap berhala dan kekufuran, dan kalian menjadi bersaudara?

Seketika mereka pun sadar bahwa mereka telah tergoda setan dan terperdaya musuh. Akhirnya, segera mereka menurunkan senjatanya, kemudian berpelukan dan bertangisan.

Tidak berselang lama, turunlah firman Allah Swt. (yang artinya): Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah…(QS Ali Imran [3]: 103).

*****

Terkait frasa tali Allah dalam ayat di atas, Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Kitabullah adalah tali Allah yang memanjang dari langit hingga bumi. (HR at-Tirmidzi).

Adapun frasa jangan berpecah-belah, maksudnya, jangan berselisih dalam agama sebagaimana yang terjadi di kalangan kaum Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Frasa tersebut juga bisa bermakna, jangan bergolong-golongan mengikuti hawa nafsu dengan berbagai macam tujuan duniawi. (Al-Qurthubi, IV/159).

Karena itulah, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Jika terjadi perselisihan pada umat Islam dan mengakibatkan pertikaian, bahkan permusuhan, maka ketahuilah bahwa hawa nafsu telah berperan di sini dan bukan lagi kebenaran.” (Ibnu Taimiyah, Al-Majmû’, IV/53).

Imam Abul Qasim Al-Isbahani juga mengatakan, “Kelompok yang selalu merujuk dalam segala sesuatu pada al-Quran dan as-Sunnah akan selalu menjaga persatuan.”

Ini sejalan dengan isi teks Piagam Madinah yang ditulis Rasul saw. pasca tegaknya Daulah Islamiyah, yang di antaranya menyatakan:

Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm…Kaum Mukmin seluruhnya adalah satu umat, yang berbeda dari umat manusia lainnya… Sesungguhnya kaum Mukmin itu, sebagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain…dan sesungguhnya apapun yang mereka perselisihkan maka tempat kembalinya adalah kepada Allah (al-Quran) dan Muhammad Rasulullah (as-Sunnah)…

Karena itu, mari kita eratkan ukhuwah (persaudaraan), kuatkan wihdah (persatuan) dan rekatkan mahabbah (saling cinta); niscaya akan lahir al-quwwah (kekuatan). Dengan itulah kita secara bersama-sama akan mampu mengalahkan semua kekuatan kekufuran dan orang-orang kafir hingga kita meraih ‘izzah (kemuliaan) di dunia dan akhirat. Insya Allah.[Arief B. Iskandar]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close