Nafsiyah

Meraih Jannah dengan Menghidupkan Sunnah

Siapa Mukmin yang tak mendambakan masa tatkala ia termasuk orang yang diseru Allah ’Azza wa Jalla:

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ  ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ  ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي  ٢٩ وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي  ٣٠

Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi Dia ridhai. Masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku (QS al-Fajr [89]: 27-30).

Itulah mereka yang Allah sifati dalam ayat lainnya:

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقٗا  ٦٩

Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddîqîn, para syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS an-Nisa’ [4]: 69).

Dalam ayat agung ini, Allah menjadikan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-Nya, yakni menegakkan al-Quran dan as-Sunnah dalam kehidupan, sebagai syarat bagi orang beriman dimasukkan ke dalam jannah-Nya dengan para nabi, shiddîqîn, syuhadâ’, dan orang shalih, meskipun berbeda-beda tingkatannya.1 Itu semua Allah sifati sebagai kenikmatan dari-Nya.

Diperjelas oleh hadis lainnya yang menunjukkan bahwa syarat meraih jannah-Nya adalah mencintai Rasulullah saw. Syarat membuktikan kecintaan tersebut adalah menghidupkan sunnahnya. Anas bin Malik ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي, وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

Siapa saja yang menghidupkan sunnahku, sungguh ia telah mencintai aku. Siapa saja yang mencintai aku, ia bersamaku menjadi penghuni surga (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).

Ganjaran Mencintai Rasulullah Saw.: Meraih Jannah-Nya

Hadis yang agung ini diungkapkan oleh Rasulullah dalam bentuk kalimat syarat (jumlah syarthiyyah). Syarat senantiasa melekat dan mengiringi apa yang menjadi objek (jawab) syarat.2 Dalam hadis ini terdapat petunjuk syarat meraih jannah-Nya, yakni mencintai Rasulullah. Mencintai Rasulullah saw. wajib dibuktikan dengan menghidupkan sunnahnya. Istimewanya, ganjaran mencintai Rasulullah adalah meraih jannah-Nya, sebagaimana Rasulullah memasukinya. Janji tersebut pasti, diungkapkan dengan fi’il mâdhi (kâna) dalam ungkapan (kâna ma’î fi al-jannah).

Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H) menguraikan makna “faqad ahabbanî”, yakni benar-benar mencintai Rasulullah saw. Sebab sesungguhnya siapa saja yang mencintai seseorang, ia akan berperilaku seperti pihak yang dia cintai. Karena itu tanda cinta seseorang kepada Rasulullah saw. adalah berperilaku sesuai sunnahnya, menolong sunnahnya serta menyeru manusia kepada sunnahnya.3

Ash-Shan’ani lalu menegaskan, “Siapa saja yang mengaku mencintai Rasulullah saw., namun tidak menegakkan sunnahnya, maka pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta, dan angan-angan batil semata.”4

Bukti Mencintai Rasulullah saw.: Menghidupkan Sunnah

Hadis ini, mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku mencintai Rasulullah saw. Khabar agung ini diungkapkan dengan penegasan kebenaran cinta orang beriman yang menghidupkan Sunnah Nabi saw. Kata kerja ahya berkonotasi “menghidupkan”. Imam ash-Shan’ani menjelaskan bahwa menghidupkan sunnah adalah dengan mengamalkan dan menyiarkannya, juga menafikan penyimpangan kaum yang menyimpang dari sunnahnya.5 Kata sunnatî, berkonotasi tharîqî, yakni jalan hidupku.6 Ini mencakup seluruh ajaran yang beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qawliyyah), maupun perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan Rasulullah untuk umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:

Sunnah asalnya bermakna tharîqah (metode) dan sîrah (jalan hidup), yang disebutan secara syar’i. Yang dimaksud adalah apa saja yang Nabi saw. perintahkan dan beliau larang, serta puji baik berupa perkataan maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Quran.7

Kehidupan Rasulullah saw. menggambarkan keteladanan praktis penegakan Islam secara totalitas (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan. Dari mulai kehidupan sebagai pribadi, keluarga, hingga kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara syahadat dan shalat hingga urusan imâmah dan siyâsah. Artinya, terang-benderang ada sunnah kepemimpinan yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah saw. Tidak ada dalil yang mengecualikannya dari kemutlakan sunnah dalam hadis ini. Ini diperjelas oleh banyaknya dalil yang menunjukkan adanya sunnah kepemimpinan tersebut.

’Irbadh bin Sariyah ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّوَاجِذِ

Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku, dan sunnah para khalifah al-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan menunjukkan pada kebenaran) setelahku. Gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Baihaqi)

Frasa sunnati dan sunnat al-khulafâ’ termasuk bentuk idhâfat (penautan kata) yang menunjukkan makna spesifik (ma’rifat), khas, tidak boleh dibiaskan dengan ‘sunnah’ Montesque, Plato, Aristoteles, Jhon Locke, dan yang semisalnya. Ini menegaskan adanya konsep baku Rasulullah saw. dan para Khulafa’ Rasyidin dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan Islam. Diperjelas lafal sunnah yang ditautkan pada lafal al-khulafâ’. Kata al-khulafâ’ adalah jamak dari khalîfah. Istilah ini identik dengan “kepemimpinan politik umat”. Adapun istilah sunnah identik dengan “metode/konsepsi”. Ini diperjelas oleh sunnah qawliyyah (ucapan) dan sunnah fi’liyyah (perbuatan) Rasulullah saw. Juga sunnah khulafa’ur-rasyidun, yakni dengan adanya sistem Khilafâh ‘ala Minhâj al-Nubuwwah. Hudzaifah ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda:

ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة

Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad dan al-Bazzar).

Al-Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan, “(Di atas manhaj kenabian), yakni metodenya yang tersurat dan tersirat.”8 Artinya, metode sunnah salafuna ash-shalih mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan akidah Islam sebagai fondasinya, dan syariah Islam sebagai pedoman konstitusinya. Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menegaskan:

Rasulullah saw. dan para ulil amri setelahnya (khulafâ’ râsyidûn) telah menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, menyempurnakan ketaatan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan) di atas Din Allah. Tak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh mengubahnya. Tidak boleh pula menggantinya (dengan sunnah selainnya). Tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut. Siapa saja yang mengambil petunjuk darinya, ia menjadi orang yang tertunjuki. Siapa saja yang mencari kemenangan dengannya, ia akan diberi kemenangan. Siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat bergantung (selain Allah).  Allah pun menyeret dirinya ke dalam Jahanam. Itulah seburuk-buruknya tempat kembali.9

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]

 

Catatan kaki:

1        Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, (V/116)

2        Abu Hilal al-‘Askari, Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah, hlm. 271.

3        Muhammad ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, (X/55)

       Ibid.

       Ibid.

6        Al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh, hlm. 281

7        Majduddin Ibn al-Atsir, Al-Nihâyah fi Gharib al-Hadîts, (II/409)

8        Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, (VIII/3376)

9        Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi, Al-Syarî’ah, Riyadh: Dar al-Wathan, cet. II, 1420 H, juz I, hlm. 407; Yusuf bin Abdullah Ibn Abdul Barr al-Andalusi, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi, KSA: Dar Ibn al-Jauzi, cet. I, 1414 H, juz II, hlm. 1176.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close