Perkataan Ulama

KEWAJIBAN KHILAFAH MENURUT KETERANGAN AL-IMAM FAKHRURRAZI ASY-SYAFI’I (W. 606 H)

Dalam empat kitab karya beliau sekaligus: Mafâtîh al-Ghaib (Tafsîr ar-Râzî), Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Ma’âlim Ushûl ad-Dîn, dan Al-Masâ`il Al-Khamsûn fî Ushûl Ad-Dîn.

1. Dalam kitab Mafâtîh al-Ghaib (Tafsîr ar-Râzî) beliau mengatakan:

اﺣﺘﺞ اﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻮﻥ ﺑﻬﺬﻩ اﻵﻳﺔ ﻓﻲ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻷﻣﺔ ﺃﻥ ﻳﻨﺼﺒﻮا ﻷﻧﻔﺴﻬﻢ ﺇﻣﺎﻣﺎ ﻣﻌﻴﻨﺎ، ﻭاﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭﺟﺐ ﺑﻬﺬﻩ اﻵﻳﺔ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻟﺤﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﺮاﻕ ﻭاﻟﺰﻧﺎﺓ، ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺷﺨﺺ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺨﺎﻃﺒﺎ ﺑﻬﺬا اﻟﺨﻄﺎﺏ، ﻭﺃﺟﻤﻌﺖ اﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻵﺣﺎﺩ اﻟﺮﻋﻴﺔ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻟﺤﺪﻭﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻨﺎﺓ، ﺑﻞ ﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺇﻗﺎﻣﺔ اﻟﺤﺪﻭﺩ ﻋﻠﻰ اﻷﺣﺮاﺭ اﻟﺠﻨﺎﺓ ﺇﻻ ﻟﻹﻣﺎﻡ، ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻫﺬا اﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﺗﻜﻠﻴﻔﺎ ﺟﺎﺯﻣﺎ ﻭﻻ ﻳﻤﻜﻦ اﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻦ ﻋﻬﺪﺓ ﻫﺬا اﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﺇﻻ ﻋﻨﺪ ﻭﺟﻮﺩ اﻹﻣﺎﻡ، ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﺘﺄﺗﻰ اﻟﻮاﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻘﺪﻭﺭا ﻟﻠﻤﻜﻠﻒ، ﻓﻬﻮ ﻭاﺟﺐ، ﻓﻠﺰﻡ اﻟﻘﻄﻊ ﺑﻮﺟﻮﺏ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﺣﻴﻨﺌﺬ.

“Ulama akidah (ahli kalam) berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib hukumnya atas kaum muslim untuk mengangkat seorang imam/khalifah. Dalilnya adalah bahwasanya dengan ayat tersebut Allah mewajibkan penerapan had (sanksi syar’i) atas para pencuri dan pezina, sehingga haruslah ada pihak yang menjadi objek bagi seruan tersebut. Dan umat telah sepakat individu rakyat tidak memiliki hak untuk menerapkan hudud (bentuk jamak dari had) terhadap para pelaku kejahatan. Bahkan mereka telah bersepakat bahwa tidak boleh menerapkan hudud terhadap para pelaku kriminal yang merdeka (bukan budak, -penj.) kecuali oleh imam/khalifah. Maka tatkala tuntutan syara’ ini berupa tuntutan yang tegas (baca: wajib), sementara tidak mungkin keluar dari tuntutan tersebut kecuali dengan adanya seorang imam/khalifah, dan suatu perkara yang kewajiban tidak dapat terealisasi tanpanya sedangkan dia dimampui oleh mukallaf, maka dia hukumnya wajib. Sehingga itu meniscayakan secara tegas atas wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah.”

Fakhrurrazi, Abu Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan. 1981. Mafâtîh al-Ghaib (Tafsîr ar-Râzî). (Beirut: Dar al-Fikr) vol. 11 hlm. 235

masih kitab yang sama, di bagian lain beliau mengatakan:

اﻟﺒﺤﺚ اﻟﺨﺎﻣﺲ: ﻓﻲ ﺃﻥ اﻟﻤﺨﺎﻃﺐ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻓﺎﺟﻠﺪﻭا ﻣﻦ ﻫﻮ؟ ﺃﺟﻤﻌﺖ اﻷﻣﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻟﻤﺨﺎﻃﺐ ﺑﺬﻟﻚ ﻫﻮ اﻹﻣﺎﻡ، ﺛﻢ اﺣﺘﺠﻮا ﺑﻬﺬا ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ، ﻗﺎﻟﻮا ﻷﻧﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﺃﻣﺮ ﺑﺈﻗﺎﻣﺔ اﻟﺤﺪ، ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺘﻮﻟﻰ ﺇﻗﺎﻣﺘﻪ ﺇﻻ اﻹﻣﺎﻡ ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﺘﻢ اﻟﻮاﺟﺐ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﺇﻻ ﺑﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻘﺪﻭﺭا ﻟﻠﻤﻜﻠﻒ ﻓﻬﻮ ﻭاﺟﺐ ﻓﻜﺎﻥ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻭاﺟﺒﺎ، ﻭﻗﺪ ﻣﺮ ﺑﻴﺎﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﺪﻻﻟﺔ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ: ﻭاﻟﺴﺎﺭﻕ ﻭاﻟﺴﺎﺭﻗﺔ ﻓﺎﻗﻄﻌﻮا ﺃﻳﺪﻳﻬﻤﺎ [ اﻟﻤﺎﺋﺪﺓ: 38]

“Topik pembahasan ke-Lima: Tentang obyek yang diseru dalam firman Allah -ta’ala- (yang artinya): ‘maka cambuklah olehmu’, siapakah dia? Umat Islam telah ber-ijmak (konsensus) bahwasannya objek dari seruan tersebut adalah imam/khalifah, lalu mereka berhujah dengan hal ini akan wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah. Mereka berkata: ‘Karena Allah -subhanah- telah memerintahkan untuk menerapkan had (hukuman syar’i). Mereka juga telah bersepakat bahwasannya penerapan had tidak mungkin kecuali oleh seorang imam/khalifah, dan suatu perkara yang kewajiban mutlak tidak dapat terlaksana sempurna kecuali dengannya dan dia dimampui oleh mukallaf maka hukum sesuatu tersebut adalah wajib, sehingga mengangkat imam/khalifah itu hukumnya adalah wajib. Telah lalu penjelasan aspek argumentatif akan hal ini pada firman-Nya (yang artinya): ‘dan pencuri laki-laki serta pencuri perempuan maka potonglah olehmu tangan keduanya’. (Al-Mâ`idah: 38)”

Ibid. vol 23 hlm 144

2. Dalam kitab Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh beliau mengatakan:

ﻟﻜﻦ ﻫﺎ ﻫﻨﺎ ﺟﻬﺘﺎﻥ ﺃﺣﺪاﻫﻤﺎ ﺃﻥ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﻛﻮﻥ اﻟﻤﻜﻠﻒ ﺗﺎﺭﻛﺎ ﻟﻠﻘﺒﻴﺢ ﻻ ﻟﻜﻮﻧﻪ ﻗﺒﻴﺤﺎ ﺑﻞ ﻟﻠﺨﻮﻑ ﻣﻦ اﻹﻣﺎﻡ ﻭﺇﻣﺎ ﻋﻨﺪ ﻋﺪﻡ اﻹﻣﺎﻡ ﻓﺎﻟﻤﻜﻠﻒ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺘﺮﻛﻪ ﻟﻘﺒﺤﻪ ﻻ ﻟﻠﺨﻮﻑ ﻣﻦ اﻹﻣﺎﻡ. ﻓﺈﻥ ﻗﻠﺖ ﻫﺬا ﺑﺎﻃﻞ ﺑﺘﺮﺗﺐ اﻟﻌﻘﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻞ اﻟﻘﺒﻴﺢ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﻤﻜﻠﻒ ﺗﺎﺭﻛﺎ ﻟﻠﻘﺒﻴﺢ ﻻ ﻟﻘﺒﺤﻪ ﺑﻞ ﻟﻠﺨﻮﻑ ﻣﻦ اﻟﻌﻘﺎﺏ ﻗﻠﺖ ﺃﻧﺎ ﺳﺎﺋﻞ ﻓﻴﻜﻔﻴﻨﻲ ﺃﻥ ﺃﻗﻮﻝ ﻟﻢ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻣﺎﻧﻌﺔ ﻭﻋﻠﻴﻚ اﻟﺪﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻴﺴﺖ ﻛﺬﻟﻚ ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﻗﻮﻟﻨﺎ ﺗﺮﺗﻴﺐ اﻟﻌﻘﺎﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻏﻴﺮ ﻣﻘﺘﺾ ﻟﻬﺎ ﻻﺣﺘﻤﺎﻝ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺎﻝ ﻛﻞ ﻭاﺣﺪﺓ ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺑﺨﻼﻑ ﺣﺎﻝ اﻵﺧﺮ ﻭاﻟﺬﻱ ﻳﺤﻘﻖ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﺗﺮﺗﻴﺐ اﻟﻌﻘﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻞ اﻟﻘﺒﻴﺢ ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻓﻗﺒﻞ ﻭﺭﻭﺩ اﻟﺸﺮﻉ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻓﻠﻤﺎ ﻭﺭﺩ اﻟﺸﺮﻉ ﺑﻪ ﻋﻠﻤﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻷﻥ اﻟﺸﺮﻉ ﻻ ﻳﺄﺗﻲ ﺑﺎﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﻓﻨﻈﻴﺮﻩ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺘﻨﺎ ﺃﻥ ﺗﻘﻮﻟﻮا ﻳﺠﻮﺯ ﻗﺒﻞ ﻭﺭﻭﺩ اﻟﺸﺮﻉ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻓﻠﻤﺎ ﻭﺭﺩ اﻟﺸﺮﻉ ﺑﻪ ﻋﻠﻤﻨﺎ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻔﺴﺪﺓ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ اﻟﺠﻬﺔ ﻟﻜﻦ ﻋﻠﻰ ﻫﺬا اﻟﺘﻘﺪﻳﺮ ﻳﺼﻴﺮ ﻭﺟﻮﺏ اﻹﻣﺎﻣﺔ ﺷﺮﻋﻴﺎ.

“Akan tetapi di sini ada dua aspek; salah satunya bahwa pengangkatan imam/khalifah itu dapat mengakibatkan seorang mukallaf meninggalkan keburukan bukan karena itu buruk, melainkan karena takut terhadap imam/khalifah. Dan saat tidak ada imam/khalifah maka seorang mukallaf meninggalkan keburukan tidak lain karena itu buruk, bukan karena takut imam/khalifah. Jika anda katakan: ‘Memberi sanksi atas perbuatan buruk itu keliru, sebab itu akan menjadikan seorang mukallaf meninggalkan perbuatan buruk bukan karena buruknya perbuatan tersebut, melainkan karena takut terhadap hukumannya’. Aku jawab: saya balik bertanya dengan cukup berkata, ‘Kenapa aspek itu (meninggalkan keburukan karena takut hukuman, -penj.) tidak bisa menjadi bahaya (mafsadah) yang menghalangi (penerapan hukuman, -penj.)? Berikut adalah alasan bahwa yang berlaku tidaklah demikian. Perkataan kami ‘memberi sanksi atas pelaku keburukan tidak menyebabkan bahaya’ bukan berarti bahwa pengangkatan imam/khalifah tidak akan menyebabkan demikian (adanya yang meninggalkan keburukan karena takut dihukum olehnya, -penj.), karena kondisi setiap orang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Bukti bahwa ini benar adalah: bahwa memberi sanksi atas perbuatan buruk hanya dapat diketahui dengan syariat. Sebelum datangnya syariat bisa jadi dalam penerapan sanksi itu ada aspek bahaya, akan tetapi setelah datang syariat tentangnya kita yakin bahwa bahwa memberi sanksi tidak lagi mengandung bahaya dari aspek tersebut. KARENA SYARIAT TIDAK MUNGKIN MENDATANGKAN BAHAYA (MAFSADAH). Untuk bandingannya -dalam maslah kita ini- kalian dapat mengatakan: ‘Sebelum datangnya syariat bisa jadi mengangkat imam/khalifah itu adalah bahaya, akan tetapi setelah datang syariat tentangnya kita yakin bahwa itu bukan bahaya lagi dari aspek tersebut’. Justru berdasarkan ketentuan ini jadilah kewajiban imamah/khilafah itu bersifat syar’i.”

Fakhrurrazi, Abu Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan. 1997. Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl al-Fiqh. (Beirut: Muassasah ar-Risalah) vol. 4 hlm. 111

3. Dalam kitab Ma’âlim Ushûl ad-Dîn beliau mengatakan:

اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ اﻷﻭﻟﻰ: ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﺇﻧﻪ ﻭاﺟﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﻻ ﻳﺠﺐ ﺃﺻﻼ. ﺃﻣﺎ اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎﻟﻮا ﺇﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻧﺼﺐﻫ ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺒﺎﺩ ﻓﻔﺮﻳﻘﺎﻥ
اﻷﻭﻝ اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎﻟﻮا اﻟﻌﻘﻞ ﻻ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﻫﺬا اﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭﺇﻧﻤﺎ اﻟﺬﻱ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻤﻊ ﻭﻫﺬا ﻗﻮﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻗﻮﻝ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭاﻟﺰﻳﺪﻳﺔ. ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎﻟﻮا ﺇﻥ اﻟﻌﻘﻞ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ اﻟﺠﺎﺣﻆ ﻭﺃﺑﻲ اﻟﺤﺴﻴﻦ اﻟﺒﺼﺮﻱ…

“Permasalahan Pertama: Mengangkat imam/khalifah antara pendapat bahwa itu kewajiban manusia, atau kewajiban Allah -ta’ala-, atau tidak wajib sama sekali. Adapun yang mengatakan bahwa itu kewajiban manusia, ada dua kelompok: Pertama, mereka yang berpendapat: akal tidak dapat menunjukkan kewajiban itu, yang menunjukkan tidak lain adalah dalil syara’. Ini adalah pendapat Ahlussunnah, dan pendapat mayoritas muktazilah dan zaidiyyah. Dan kelompok ke-dua, mereka yang berpendapat: akal dapat menunjukkan bahwa mengangkat khalifah itu wajib atas kita. Ini adalah pendapat al-Jahizh dan Abu al-Husain al-Bashri (keduanya tokoh Muktazilah). …”

Fakhrurrazi, Abu Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan. t.t. Ma’âlim Ushûl ad-Dîn. (Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Arabi) hlm. 145

4. Dalam kitab Al-Masâ`il Al-Khamsûn fî Ushûl Ad-Dîn beliau mengatakan:

المسألة السابعة والأربعون في نصب الإمام. نصب الإمام واجب على أمته. والخوارج يقولون ليس بواجب. والرافضة يقولون أنه واجب على الله.

“Topik permasalahan ke-47, tentang mengangkat imam/khalifah. Mengangkat seorang imam/khalifah itu hukumnya wajib atas umat Islam. Sedangkan kelompok Khawarij berpendapat itu tidak wajib. Dan Syi’ah Rafidhah berpendapat bahwa dia wajib atas Allah.”

Fakhrurrazi, Abu Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan. 1990. Al-Masâ`il Al-Khamsûn fî Ushûl Ad-Dîn. (Beirut: Dar al-Jil) hlm 70

Dan di bagian lain di kitab yang sama, beliau mengatakan:

… أن الأمة أجمعوا على أنه لا بد من وجود الإمام في كل زمان، وقد ثبت بالدليل أن خلو الزمان عن الإمام غير جائز في شرع النبي صلى الله عليه وسلم، فلابد من إمام.

“… Sungguh umat Islam telah ber-ijmak (konsensus) bahwasanya harus ada seorang imam (khalifah) di setiap masa. Dan telah shahih berdasarkan dalil bahwa kosongnya suatu masa dari keberadaan seorang imam (khilafah) itu tidak boleh (haram) menurut syari’at Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sehingga harus ada seorang imam/khalifah.”

Ibid. hlm 73

Fawaid:
• Selain ijmak, dalil atas wajibnya khilafah adalah kaidah kulliyah:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Setiap apa yang kewajiban tidak dapat terlaksana tanpanya maka hukumnya adalah wajib.”

Yakni bahwa kewajiban menerapkan hudud tidak dapat terlaksana tanpa adanya khalifah, maka mewujudkan khalifah hukumnya wajib (tentu berikut institusinya/khilafah)

• Syariat mengangkat khalifah yang bertugas menerapkan hudud bukan merupakan bahaya (mafsadah), karena itu syariat, dan syariat tidak mungkin mendatangkan bahaya (mafsadah).

• Adanya sebagian orang yang meninggalkan keburukan karena takut hukuman adalah keniscayaan, dan bukan bahaya. Bahkan itu diantara tujuan disyariatkannya imamah/khilafah sebagai pelaksana hukum al-Quran. Sebagaimana perkataan masyhur khalifah Ustman bin ‘Affan -radhiyallahu ‘anhu-:

إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن

“Sesungguhnya Allah dapat memaksa dengan kekuasaan apa-apa yang tidak bisa Dia paksakan dengan al-Quran (tanpa kekuasaan yang menerapkannya -penj.).”

• Menurut Ahlussunnah mengangkat khalifah adalah kewajiban atas manusia, bukan kewajiban atas Allah. Sehingga yang dituntut merealisasikannya adalah manusia bukan Allah. Dia diusahakan, bukan ditunggu sebagai hadiah dari-Nya.

• Menurut Ahlussunnah mengangkat khalifah adalah kewajiban syar’i bukan ‘aqli, karena didasari dalil syara’ bukan akal. Sehingga ia berpengaruh terhadap pahala dan dosa di hari perhitungan kelak.

• Kewajiban mengangkat seorang khalifah itu berlaku di setiap masa. Sehingga haram hukumnya ada masa kosong (vacum) dari keberadaan seorang khalifah.

#KhilafahAjaranIslam
#SyariatBukanMafsadat

(Ustadz Azizi Fathoni)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close