Tanya JawabTsaqofah

Emas dan Perak Merupakan Mata Uang yang Harus Dijadikan Sandaran Oleh Negara

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan kepada Anda dan senantiasa menjaga Anda ya Syaikhuna …

Pertanyaan: sebagian intelektual di negeri kami Indonesia menolak penggunaan kembali mata uang emas dan perak. Mereka mengatakan bahwa syariah tidak memerintahkan penggunaan mata uang khusus dengan dalil bahwa Umar bin al-Khaththab ra. telah berkeinginan membuat Dirham dari kulit onta. Apakah pandangan ini benar? Semoga Allah SWT memberi Anda balasan yang lebih baik. (Muhammad Ishak)

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

1- Kami telah menjelaskan dalil-dalil syar’iyah atas keberadaan emas dan perak sebagai mata uang yang harus dijadikan sandaran oleh negara dalam Islam. Kami telah merincinya di dalam buku an-Nizhâm al-Iqtishâdî dan al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Demikian juga, kami telah menjelaskan perkara tersebut di buku Muqaddimah ad-Dustûr juz II pada Pasal 168 dan penjelasannya. Saya kutipkan apa yang ada di Muqaddimah ad-Dustûr untuk kesempatan ini karena kejelasan dan kelancarannya:

(Pasal 168: Mata uang negara adalah emas dan perak yang dicetak atau tidak dicetak. Tidak boleh negara memiliki mata uang selainnya. Negara boleh mengeluarkan substitusi emas dan perak dalam bentuk yang lain dengan syarat negara di kas negara memiliki emas dan perak yang setara. Jadi negara boleh mengeluarkan tembaga, perunggu, kertas atau yang lainnya dan dicetak atas nama negara sebagai uang jika negara memiliki penggantinya berupa emas dan perak dalam jumlah yang sama.

Islam ketika memutuskan hukum-hukum jual beli dan kontrak jasa, Islam tidak menentukan untuk pertukaran barang atau pertukaran tenaga dan jasa, sesuatu tertentu yang menjadi basis berlangsungnya pertukaran itu secara fardhu. Melainkan Islam memutlakkan untuk manusia agar melangsungkan pertukaran dengan sesuatu, selama saling ridha ada di dalam pertukaran ini. Jadi boleh menikahi seorang wanita dengan (mahar) mengajarinya menjahit. Boleh saja membeli mobil dengan (bayaran) bekerja di pabrik selama satu bulan. Dan boleh saja bekerja kepada seseorang dengan upah sejumlah tertentu gula. Begitulah, syara’ memutlakkan pertukaran untuk anak manusia dengan sesuatu yang mereka inginkan. Hal itu dengan dalil keumuman dalil-dalil jual beli dan dalil-dalil kontrak jasa (ijârah):

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Jual beli untuk sesuatu apapun dengan sesuatu apapun. Dan hadits:

«أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ» أخرجه ابن ماجه

“Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah).

Yakni bahwa pekerja itu tidak lain menerima upahnya jika dia telah menunaikan pekerjaannya, apapun macam upah ini.  Juga, sesuatu yang dipertukarkan ini bukanlah perbuatan sehingga hukum asalnya adalah terikat dengan hukum syara sehingga kebolehannya memerlukan dalil, melainkan itu adalah sesuatu. Dan hukum asal sesuatu adalah boleh selama tidak dinyatakan dalil yang mengharamkan, sementara tidak ada dalil yang mengharamkan sesuatu ini. Sehingga boleh melangsungkan transaksi syar’iy atasnya baik menjual, membeli, hibah, pertukaran dan lainnya … kecuali apa yang dinyatakan nas yang mengharamkan pertukaran padanya.  Berdasarkan ini, pertukaran barang dengan uang dan pertukaran uang dengan barang juga mubah secara mutlak, kecuali barang atau jasa yang dinyatakan nas pengharamannya. Berdasarkan ini, pertukaran barang dengan satuan mata uang tertentu dan juga pertukaran jasa dengan satuan mata uang tertentu adalah juga mubah secara mutlak, apapun satuan mata uang ini. Baik apakah satuan itu tidak memiliki padanan sama sekali seperti uang fiat money, atau satuan ini memiliki padanan nisbah tertentu dari emas seperti uang kertas substitusi, atau satuan ini memiliki padanan berupa emas dan perak yang setara dengan nilainya seperti uang kertas substitusi penuh. Semuanya sah digunakan dalam pertukaran. Karena itu, sah pertukaran barang atau jasa dengan satuan uang tertentu. Jadi sah bagi seorang muslim untuk menjual dengan mata uang apapun, dan membeli dengan mata uang apapun, dan mempekerjakan dengan mata uang apapun dan menjadi pekerja dengan mata uang apapun.

Namun jika negara ingin menjadikan untuk negeri yang diperintahnya satuan mata uang tertentu untuk menerapkan hukum-hukum syara’ berkaitan dengan harta dari sisi itu merupakan harta seperti zakat, sharf, riba dan lainnya, atau hukum-hukum berkaitan dengan person pemilik harta itu seperti diyat, kadar pencurian dan yang lainnya, maka negara tidak bebas untuk membuat satuan mata uang tertentu. Tetapi negara diharuskan dengan satuan mata uang tertentu yang negara tidak boleh menjadikan yang lainnya dilihat dari aspek apapun. Syara’ telah menentukan satuan mata uang tertentu dalam jenis tertentu yang dinyatakan oleh nas, yaitu emas dan perak. Maka jika negara ingin mengeluarkan mata uang maka negara terikat untuk menjadikan mata uang ini adalah emas dan perak, bukan yang lain. Syara’ tidak menyerahkan kepada negara untuk mengeluarkan mata yang yang diinginkannya dari jenis yang dikehendaki. Melainkan syara’ telah menentukan satuan mata uang yang harus negara jadikan sebagai mata uang jika negara ingin mengeluarkan mata uang dengan satuan mata uang tertentu, yaitu emas dan perak, bukan yang lain.  Dalil atas hal itu bahwa Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku tidak berubah. Ketika Islam mewajibkan diyat, Islam menentukan kadar tertentu diyat berupa emas. Ketika Islam mewajibkan hukuman potong tangan pada pencurian, Islam menentukan kadar yang pencuriannya dipotong tangannya, berupa emas. Rasulullah saw bersabda di dalam surat yang beliau tulis kepada penduduk Yaman:

«وَأَنَّ فِي النَّفْسِ المُؤْمِنَةِ مِاْئَةً مِنَ الإِبِلِ، وَعَلَى أَهْلِ الْوَرَقِ أَلْفُ دِينَارٍ» ذكره ابن قدامة في المغني عما رواه عمرو بن حزم من كتاب رسول الله ﷺ إلى أهل اليمن

“Dan bahwa dalam satu jiwa mukmin seratus ekor onta dan atas pemilik dinar sebesar seribu dinar” (Disebutkan oleh Ibnu Qudamah di al-Mughnî dari apa yang diriwayatkan oleh Amru bin Hazm dari surat Rasulullah saw kepada penduduk Yaman).

Dan dalam riwayat an-Nasai dari surat Rasulullah saw kepada penduduk Yaman:

وَعَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفَ دِيْنَارٍ

“Dan terhadap pemilik emas (diyatnya) sebesar seribu dinar”.

Lafal ahli adz-dzahabi menggantikan lafal ahli al-wariqi. Rasulullah saw bersabda:

«لا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِداً». أخرجه مسلم من طريق عائشة رضي الله عنها

“Tangan pencuri tidak boleh dipotong kecuali dalam (pencurian) seperempat dinar atau lebih” (HR. Muslim dari jalur Aisyah ra.).

Penentuan untuk hukum-hukum tertentu dengan dinar, dirham dan mitsqal menjadikan dinar dengan berat emasnya dan dirham dengan berat peraknya sebagai satuan moneter yang kepadanya distandarisasi nilai sesuatu dan tenaga. Maka satuan moneter ini adalah mata uang, dan itu merupakan basis mata uang. Jadi keberadaan syara’ telah mengaitkan hukum-hukum syara’ dengan emas dan perak secara nas (teks) ketika hukum-hukum ini berkaitan dengan mata uang, merupakan dalil bahwa mata uang itu tidak lain adalah emas dan perak dan bukan yang lainnya.  Dan juga bahwa Allah SWT ketika mewajibkan zakat uang, Allah SWT mewajibkannya dalam emas dan perak, bukan lainnya. Dan Allah SWT menetapkan untuknya nishab berupa emas dan perak. Maka patokan zakat uang dengan emas dan perak menentukan bahwa mata uang adalah emas dan perak. Dan juga, hukum-hukum sharf yang datang dalam transaksi mata uang saja, tidak lain datang dengan emas dan perak saja. Dan semua transaksi finansial yang dinyatakan di dalam Islam tidak lain datang atas emas dan perak. Sharf adalah jual beli mata uang dengan mata uang, baik jual beli mata uang dengan mata uang lainnya atau jual beli mata uang dengan mata uang yang sama. Dengan ungkapan lainnya, sharf adalah jual beli uang dengan uang.  Jadi penentuan syara’ untuk sharf, yang merupakan transaksi moneter semata, dengan emas dan perak saja tanpa lainnya, merupakan dalil yang gamblang bahwa mata uang wajib berupa emas dan perak, tidak yang lainnya. Rasulullah saw bersabda:

«وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ … » أخرجه البخاري من طريق أبي بكرة

“Juallah emas dengan perak dan perak dengan emas sesuka kalian …” (HR al-Bukhari dari jalur Abu Bakrah).

Imam Muslim telah mengeluarkan semisalnya dari jalur Ubadah bin ash-Shamit. Rasulullah saw bersabda:

«الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِباً إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ» متفق عليه من طريق عمر

“Emas dengan dinar riba kecuali serah terima kontan” (Muttafaq ‘alayh dari jalur Umar).

Lebih dari itu, Rasul saw telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang dan beliau menjadikan keduanya saja sebagai standar moneter yang menjadi rujukan standar barang dan jasa. Dan transaksi pun berlangsung berdasarkan keduanya. Rasul saw menjadikan standar untuk mata uang ini adalah al-awqiyah, dirhâm, dâniq, al-qîrâth, al-mitsqâl dan dînâr. Semua ini dikenal dan terkenal pada zaman Nabi saw dan digunakan masyarakat untuk bertransaksi. Dan sudah terbukti bahwa Rasul saw menyetujuinya. Semua jual beli dan pernikahan terjadi dengan emas dan perak, sebagaimana yang terbukti di dalam hadits-hadits shahih. Jadi, Rasul saw menjadikan mata uang emas dan perak, dan kenyataan syara’ telah mengaitkan sebagian hukum syara’ dengan emas dan perak saja dan menjadikan zakat uang terbatas dengan keduanya, dan membatasi sharf dan transaksi finansial dengan keduanya. Semua kenyataan itu merupakan dalil yang jelas bahwa mata uang Islam tidak lain adalah emas dan perak, bukan yang lainnya) selesai kutipan dari buku Muqaddimah ad-Dustûr.

2- Begitulah, kita jumpai dalil-dalil syara’ bertebaran dalam dalâlah (konotasi) bahwa mata uang yang diambil oleh negara di dalam Islam adalah emas dan perak dan bahwa negara tidak mengambil mata uang yang lain. Meskipun persetujuan Nabi saw atas dua mata uang ini sudah cukup untuk menetapkan hukum syara’ dalam topik mata uang di dalam Islam, namun syara’ tidak berhenti pada batas persetujuan Rasul saw untuk kedua mata uang itu saja. Akan tetapi lebih dari itu, syara’ menegakkan dalil-dalil dalam bab riba, zakat, diyat, dsb, yang menunjukkan patokan moneter secara syar’iy dalam kedua logam emas dan perak itu selama hukum-hukum syara’ tetap tegak yakni sampai Hari Kiamat. Jadi tidak ada jalan untuk mengatakan diambilnya mata uang selain keduanya secara syar’iy.

3- Diriwayatkan dari Umar ra. bahwa ia berkeinginan menjadikan dirham dari kulit onta. Hal itu dinyatakan menurut penelusuran kami dari dua jalur:

– Al-Baladzuri meriwayatkan di bukunya Futûh al-Buldân (III/578), telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yunus bin Ubaid dari al-Hasan, ia berkata:

كَانَ النَّاسُ وَهُمْ أَهْلُ كُفْرٍ قَدْ عَرَفُوْا مَوْضِعَ هَذَا الدِّرْهَمِ مِنَ النَّاسِ فَجَوَدُوْهُ وَأَخْلَصُوْهُ: فَلَمَا صَارَ إِلَيْكُمْ غَشَشْتُمُوْهُ وَأَفْسَدْتُمُوْهُ. وَلَقَدْ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أجَعْلَ َالدَّرَاهِمَ مِنْ جُلُوْدِ اْلإِبِلِ. فَقِيْلَ لَهُ إِذًا لاَ بَعِيْرَ. فَأَمْسَكَ

Orang-orang, mereka adalah penduduk kafir, telah mengenal topik dirham ini dari orang, lalu mereka simpan dan murnikan. Ketika sampai kepada kalian, kalian memalsukannya dan merusaknya. Dahulu Umar bin al-Khaththab berkata; “aku ingin menjadikan dirham dari kulit onta”. Lalu dikatakan kepadanya, “kalau begitu tidak ada onta lagi”, maka dia berhenti (menahan diri).

– Abdu ar-Razaq ash-Shan’ani (w. 211 H) telah meriwayatkan di bukunya Tafsîr Abd ar-Razâq dari Ma’mar dan Yahya dari Ayyub dari Ibnu Sirin:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرَادَ أَنْ يَضْرِبَ مِنْ جُلُودِ الْإِبِلِ دَرَاهِمَ، فَقَالُوا: «إِذاً تَفْنَى الْإِبِلُ فَتَرَكَهَا»

Umar bin al-Khaththab ingin mencetak dirham dari kulit onta, lalu mereka mengatakan: “kalau begitu onta akan musnah, maka Umar meninggalkannya”.

Sebagian orang berusaha berdalil dengan itu bahwa di dalam Islam, boleh bagi negara menjadikan mata uangnya emas dan perak dan mengambil mata uang berupa harta apapun yang ditetapkan sebagai mata uang seperti kulit dan semacamnya. Dan seperti yang Anda sebutkan di pertanyaan Anda, bahwa sebagian warga era sekarang menolak kembali ke basis emas dan perak dan mereka menyetujui uang kertas fiat money bersandar kepada klaim mereka bahwa ucapan (pendapat) ini diriwayatkan dari Umar ra. Bantahan terhadap perkara ini bisa dilihat dari beberapa aspek:

  1. Seperti yang telah kami sebutkan barusan bahwa dalil-dalil syara’ bertebaran dalam dalâlah (konotasi) bahwa mata uang di dalam Islam adalah emas dan perak. Hal itu diambil dari persetujuan Nabi saw dan kenyataan syara’ mengaitkan banyak hukum dengan emas dan perak dengan patokan sifat moneter keduanya. Lalu bagaimana dalil-dalil ini ditinggalkan semuanya dan dikesampingkan dan merujuk kepada riwayat dari Umar ra. untuk menetapkan pendapat yang menyalahi dalil-dalil yang telah tetap dan jelas itu? Bukankah ini merupakan perkara yang aneh, jauh dari istidlal yang shahih dengan dalil-dalil syara’?!
  2. Dari sisi sanad, ada persoalan dalam riwayat ini dari dua jalur periwayatan keduanya. Di dalam kedua sanad riwayat tersebut ada keterputusan. Sebab perawi pertama dari Umar bin al-Khaththab adalah al-Hasan al-Bashri dan dia tidak bertemu dengan Umar ra. dan tidak mengambil hadits dari Umar ra. sebab al-Hasan al-Bahsri dilahirkan di akhir masa kekhilafahan Umar tidak lama sebelum wafatnya Umar ra. Dan perawi dalam riwayat kedua adalah Ibnu Sirin. Ia juga tidak bertemu dengan Umar bin al-Khaththab ra dan tidak meriwayatkan darinya. Dan dikatakan bahwa Ibnu Sirin dilahirkan di akhir khilafah Umar dan dikatakan pada masa khilafah Utsman. Lalu bagaimana bisa shahih (benar) mengambil riwayat ini yang di dalamnya ada keterputusan dalam sanadnya, dibanding hadits-hadits Nabi yang telah terbukti shahih?!
  3. Riwayat al-Hasan al-Bashri, di dalamnya bahwa Umar bin al-Khaththab ra. berkata: “saya ingin menajdikan dirham dari kulit onta”. Yakni perkara itu pada diri Umar belum melampaui keinginan dalam melakukan suatu perbuatan dan ia belum melakukannya. Lalu bagaimana bisa bersandar kepada hal itu dalam memperbolehkan mengambil mata uang selain emas dan perak? Yakni bagaimana boleh bersandar hanya kepada keinginan dari Umar yang tidak terjadi, dibandingkan dalil-dalil dari al-Quran al-Karim dan dalil-dalil yang telah terbukti dari Rasulullah saw yang jelas membatasi mata uang di dalam Islam?! Bukankah perkara ini aneh?!
  4. Perkara yang telah terbukti adalah bahwa Khulafa’ ar-Rasyidin menggunakan semisal Rasul saw yaitu emas dan perak dalam posisi keduanya sebagai mata uang. Yakni bahwa Umar ra. mata uang yang digunakan pada masa kekhilafahannya adalah dinar emas dan dirham perak. Lalu bagaimana kita bisa meninggalkan perkara yang sudah terbukti pada masa Nabi saw dan Khulafa’ ar-Rasyidin termasuk di dalamnya masa Umar ini dan kita mengambil riwayat yang mengatakan bahwa Umar ra berkeinginan menjadikan dirham dari kulit onta?! Yakni bagaimana kita mengambil riwayat tentang “keinginan Umar” dan kita tinggalkan apa yang sudah terbukti dari perbuatan Umar berupa penggunaan emas dan perak dalam kapasitas moneter keduanya pada masa kekhilafahan Umar ra, semoga Allah meridhai seluruh shahabat?

Begitulah, menjadi jelas bahwa beristidlal dengan ucapan yang diriwayatkan dari Umar ra. adalah istidlal bukan pada tempatnya dan bahwa itu tidak menjadi dalil atas pendapat bahwa Islam tidak membatasi mata uang untuk diambil oleh negara. Dan demikian juga tidak layak untuk menolak dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih kokoh.

  1. Di samping apa yang telah disebutkan di atas, ditinggalkannya basis emas dan perak di dunia dan diiambilnya uang kertas fiat money, hal itu berakibat dharar yang banyak dan besar, semisal fluktuasi nilai tukar, dominasi Dolar Amerika terhadap pasar, rusaknya nilai mata uang negara-negara lemah dan anjloknya daya beli mata uang-mata uang negara-negara lemah itu. dan dharar-dharar lainnya yang telah jelas bagi semua orang yang memonitor aspek moneter, finansial dan ekonomi. Jalan keluar dari dharar-dharar dan dominasi negara-negara kapitalis besar khususnya Amerika itu, tidak bisa keluar dari hal itu kecuali dengan kembali kepada basis emas dan perak dan menjadikannya sebagai mata uang dan menarik dunia untuk menjadikan keduanya sebagai mata uang guna menghilangkan dharar-dharar yang muncul dari hegemoni uang kertas negara-negara kafir imperialis dan dominasi dalam perekonomian global, khususnya oleh Amerika. Daulah al-Khilafah adalah negara yang layak dan sanggup melakukan hal itu dengan izin Allah SWT.

Semua yang telah disebutkan itu menjelaskan dengan terang wajibnya keberadaan emas dan perak sebagai mata uang syar’iy (legal) Daulah al-Khilafah, bukan yang lain. Wallâh a’lam wa ahkam.

[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah/Amir Hizbut Tahrir]

24 Muharam 1442 H

12 September 2020 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/70501.html

بسم الله الرحمن الرحيم جواب سؤال: #الذهب_والفضة هما النقدان اللذان ينبغي أن تعتمدهما #الدولة في الإسلامإلى Muhammad…

Dikirim oleh ‎أمير حزب التحرير/ عطاء بن خليل أبو الرشتة‎ pada Sabtu, 12 September 2020

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close