Tsaqofah

FATWA NGAWUR HALALNYA JUAL BELI MIRAS KEPADA NON MUSLIM

Oleh: Utsman Zahid as-Sidany

Publik Indonesia kembali panas pasca kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal Perizinan Investasi minuman keras yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) N0 10 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Penanaman Modal.

Atmosfer semakin memanas dengan adanya pihak pendukung kebijakan pemerintah yang membawa-bawa dalil dan fatwa agama. Di antaranya, selain Pemuda Aswaja yang memperkosa kaidah fikih untuk mendukung pemerintah di atas, ada Staf Khusus Menteri Agama Ubaidillah Amin Moch. Seperti diangkat oleh GALAMEDIA (2021/02/28 21:41), Ubaid mengatakan: “Masyarakat tidak perlu menanggapi secara berlebihan tentang kebijakan ini, tinggal mengupayakan bagaimana bagaimana dalam penerapannya kebijakan ini bisa berjalan tepat sasaran. Terlebih, hasil dari investasi ini menambah pemasukan bagi negara”.

Lulusan al-Azhar Mesir yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Kaliwining Jember dan sekaligus sebagai Wakil Ketua PP LAZIZ NU ini menjelaskan, kebijakan seperti jauh hari sudah pernah disuarakan oleh Mufti Mesir sekaligus Guru Besar al-Azhar, Syekh Ali Jum’ah yang pernah menfatwakan bolehnya menjual miras bagi orang Muslim di Barat atau di negara-negara yang melegalkan miras, bahkan di restoran-restoran tertentu selama tidak menjualnya ada orang Muslim. Ubaid mengatakan: ”Mufti Republik Mesir ini mengisyaratkan bahwa boleh bagi seorang MUlsim untuk menjual khamar pada Non Muslim dalam mazhabnya Imam Abu Hanifah pada kondisi-kondisi tertentu”.

Untuk menanggapi pernyataan ngawur Ubaid di atas, yang harus kita lakukan adalah: Pertama, verifikasi kebenaran fatwa Syekh Ali Jum’ah. Kedua, jika fata benar adanya, apa landasan fatwa. Ketiga, verifikasi pendapat mazhab Hanafi. Keempat, kedudukan fatwa dan pendapat mazhab Hanafi tentang hal ini di hadapan dalil syara’ dan pandangan para Ulama Mu’tabar.

PERTAMA: FATWA SYEKH ALI JUM’AH

Terkait fatwa Syekh Ali Jum’ah yang dikutip oleh Ubaid, Al Nabaa Al Watany (Ahad, 22 Mei 2016) menulis: “Dr. Ali Jum’ah, mantan Mufti Republik Mesir, berfatwa akan bolehnya menjual dan mengekspor minuman keras di negara-negara Barat dan negara-negara yang membolehkan minuman keras. Ali Jum’ah juga mengatakan bolehnya menyajikan minuman keras dan makanan-makanan haram lainnya kepada Non Muslim di rumah-rumah makan milik kaum Muslim dengan syarat tidak menyajikan dan menjualnya kepada kaum Muslim. Dalam hal ini, Ali Jum’ah mengatakan bahwa boleh bagi seorang Muslim menjual minuman keras kepada Non Muslim, menurut mazhab Imam Abu Hanifah dalam beberapa keadaan”.

Fatwa di atas terkonfirmasi oleh beberapa media, di antaranya Elbalad.News (lihat: www.elbalad.news/2087177) pada Rabu 23 Maret 2016 dengan judul: Setelah Fatwa Kontrpversinya Tentang Bolehnya Seorang Muslim Menjual Minuman Keras, Ali Jum’ah Menegaskannya Dengan Dalil Bahwa Mazhab Hanafi Membolehkan”, juga oleh El-WatanNews.com pada Selasa 22 Maret 2016. Sementara itu, Stasiun Televisi juga banyak mengudang Syekh Ali Jum’ah tentang kasus ini, setasiun TV CBC misalnya dengan sebuah program bernama “Wallah A’lam”. Banyak pula video-video di Youtube, salah satunya penegasan Syekh Ali Jum’ah sendiri saat ada seorang maha siswa bertanya tang masalah jual miras kepada Non Muslim kepada beliau (https://youtu.be/TCC1lq98vzA).

Dari data-data di atas dapat disimpulkan kebenaran adanya fatwa Syekh Ali Jum’ah tentang kasus ini. Apalagi dengan adanya bantahan-bantahan dari para ulama, seperti Dr. Musayyar dan Syekh Ahmad Karimah, semakin meyakinkan kebenaran berita adanya fatwa tersebut dari Syekh Ali Jum’ah.

Perlu dicatat bahwa terjadinya pro kontra terkait fatwa Ali Jum’ah terjadi pada 2016 silam, namun sebenarnya fatwa itu sendiri telah beliau kemukakan beberapa tahun sebelumnya, yakni ketika Ali Jum’ah ditanya tentang masalah menunaikan haji dengan bekal uang dari hasil akad-akad yang batil. “Apakah boleh menunaikan ibadah haji dengan bekal harta hasil dari akad-akad yang rusak; seperti menjual khamer kepada Non Muslim di negeri mereka, atau seperti hasil riba dengan mitra Non Muslim di negeri mereka?”

Dari pertanyaan yang diajukan itulah sebenarnya konteks fatwa Ali Jum’ah tentang hukum jual minuman keras orang seorang Muslim kepada Non Muslim. Jadi, bukan hanya jual minuman keras, tetapi justru mencakup semua mu’amalah yang batil lainnya.

KEDUA: LANDASAN FATWA SYEKH ALI JUM’AH

Perlu dicatat bahwa Syekh Ali Jum’ah mengharamkan minuman keras. Ali Jum’ah juga mengharamkan menjual minuman keras kepada seorang Muslim. Hanya saja, dia membolehkan seorang Muslim menjual minuman keras kepada Non Muslim.

Dalam fatwa ini Ali Jumah mengemukakan beberapa alasan, di antaranya bahwa menurut Mazhab Hanafi boleh hukumnya melakukan akad-akad yang rusak dengan Non Muslim di Darul Harbi. Ali Jum’ah juga mengekumakan alasan bahwa paman Nabi – shallahu ‘alayhi wa alihi wasallam – Abbas bertransaksi riba di Makkah setelah dia masuk Islam, dan Nabi – shallahu ‘ayhi wa alihi wasallam – tidak melarangnya. Dalam fatwanya, Ali Jum’ah mengatakan: “Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan berpendapat bahwa tidak ada riba antara seorang Muslim dengan seorang Kafir Harbi di Darul Harbi dan halal hukumnya soerang Muslim mengambil hartanya seorang kafir Harbi di Darul Harbi dengan cara apapun, meski dengan akad yang rusak sepertri judi, mejual bangkai dan khamer”. Ali Jum’ah kemudian memperkuatnya dengan kutipan-kutipan dari Imam as-Sarakhsi di dalam al-Mabsuth, yang di antaranya mengutip hadit mursal Makhul dengan redaksi: “Tidak ada riba antara kaum Muslim dan Kaum Kafir Harbi di Darul Harbi”.

Intinya, Syekh Ali Jum’ah, dalam fatwanya, bersandarkan kepada pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan tentang bolehnya bermuamalah dengan akad-akad yang rusak antara seorang Muslim dengan Kafir Harbi di Darul Harbi.

KETIGA: BENARKAH MAZHAB HANAFI BERPENDAPAT BOLEH MENJUAL KHAMER KEPADA NON MUSLIM?

Jawaban atas pertanyaan di atas merupakan kunci untuk membuka kebenaran atau sebaliknya kebatilan fatwa Syekh Ali Jum’ah. Untuk mengurai pendapat mazhab Hanafi di atas perlu disampaikan beberapa hal. Pertama, nash-nash para fuqaha’ Hanafi. Kedua, tinjauan terhadap nash-nash tersebut apakah bersifat umum dan muthlaq atau ada batas-batas tertentu, sehingga dapat dilihat apakah fatwa Ali Jum’ah tepat jika bersanda kepada nash-nash tersebut?

Pertama: Nash-nash Fuqaha Mazhab Hanafi

Di dalam Badai’ as-Shanai’, al-Imam al-Kasani menulis:

وَعَلَى هَذَا إذَا دَخَلَ مُسْلِمٌ أَوْ ذِمِّيٌّ دَارَ الْحَرْبِ بِأَمَانٍ ، فَعَاقَدَ حَرْبِيًّا عَقْدَ الرِّبَا أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْعُقُودِ الْفَاسِدَةِ فِي حُكْمِ الْإِسْلَامِ جَازَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ ، وَمُحَمَّدٍ – رَحِمَهُمَا اللَّهُ – وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ أَسِيرًا فِي أَيْدِيهِمْ أَوْ أَسْلَمَ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَمْ يُهَاجِرْ إلَيْنَا ، فَعَاقَدَ حَرْبِيًّا وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ : لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ فِي دَارِ الْحَرْبِ إلَّا مَا يَجُوزُ لَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ .

“Atas dasar ini, jika seorang Muslim atau seorang Kafir Dzimmi masuk ke Darul Harbi dengan jaminan keamanan, kemudia mereka melakukan transaksi riba atau yang lain dari jenis-jenis akad yang rusak di dalam hukum Islam, maka menurut Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan hukumnya boleh. Begitu juga andai seorang Muslim menjadi tawanan di tangan mereka (Kafir Harbi), atau ada seorang kafir masuk Islam dan posisinya masih di Darul Harbi, belum hijrah ke Darul Islam, kemudian dia bertransaksi dengan seorang Kafir Harbi. Abu Yusuf berkata: Tidak boleh bagi seorang Muslim di Darul Harbi kecuali apa yang boleh baginya di Darul Islam”.

Imam Ibn al-Hamma, di dalam Fath al-Qadir mengatakan:

قَوْلُهُ وَلَا بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْحَرْبِيِّ فِي دَارِ الْحَرْبِ خِلَافًا لِأَبِي يُوسُفَ وَالشَّافِعِيِّ ) وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ ، وَعَلَى هَذَا الْخِلَافِ الرِّبَا بَيْنَ الْمُسْلِمِ الْأَصْلِيِّ وَالْمُسْلِمِ الَّذِي أَسْلَمَ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَمْ يُهَاجِرْ إلَيْنَا ؛ فَلَوْ بَاعَ مُسْلِمٌ دَخَلَ إلَيْهِمْ مُسْتَأْمَنًا دِرْهَمًا بِدِرْهَمَيْنِ حَلَّ ، وَكَذَا إذَا بَاعَ مِنْهُمْ مَيْتَةً أَوْ خِنْزِيرًا أَوْ قَامَرَهُمْ وَأَخَذَ الْمَالَ يَحِلُّ ، كُلُّ ذَلِكَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ خِلَافًا لِأَبِي يُوسُفَ وَمَنْ ذَكَرْنَا

Perkataannya (Dan tidak di antara seorang Muslim dan Kafir Harbi di dalam Darul Harbi, berbeda halnya pendapat Abu Yusuf dan as-Syafi’i) begitu juga Malik dan Ahmad. Atas dasar ini juga terjadi perselisihan tentang riba antara seorang Muslim asli dengan seorang yang baru saja masuk Islam di dalam Darul Harbi dan belum hjirah. Maka jika seorang Muslim masuk ke negeri mereka dengan jaminan keamanan, menjual satu dirham dengan dua dirham, maka halal. Begitu jika seorang Muslim menjual kepada mereka (kafir Harbi di Darul Harbi) sebuah bangkai atau babi, atau berjudi dengan mereka dan menang, maka halal. Semua itu menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan, berbeda halnya menurut Imam Abu Yusuf dan orang-orang yang saya sebut di atas (as-Syafii, Malik dan Ahmad).

Di dalam al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, al-Babarti megatakan:

قَالَ ( وَلَا بَيْنَ الْمُسْلِمِ وَالْحَرْبِيِّ فِي دَارِ الْحَرْبِ ) خِلَافًا لِأَبِي يُوسُفَ وَالشَّافِعِيِّ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .

“Dia berkata: (Dan tidak antara seorang Muslim dengan Kafir Harbi di dalam Darul Harbi), berbeda degan pendapat Abu Yusuf dan as-Syafi’i”.

Di dalam al-Muhith al-Burhani, Imam Burhanuddin Mazah mengatakan:

إذا دخل المسلم دار الحرب بأمان أو بغير أمان وعقد مع حربي عقد الربا بأن اشترى درهماً بدرهمين أو اشترى درهماً بدينار إلى أجل، أو باع منهم خمراً أو خنزيراً أو ميتة أو دماً بمال؛ قال أبي حنيفة ومحمد رحمهما الله: ذلك كله جائز، وقال أبو يوسف: لا يجوز بين المسلم وأهل الحرب في دار الحرب إلا ما يجوز بين المسلمين.

“Jika seorang Muslinm masuk ke Darul Harbi, dengan jaminan keamanan atau jaminan, dan dia melakukan transaksi riba, misalnya menjual satu dirham dengan dua durham, atau satu dirham dengan tempo, atau menjual khamer, babi, bangkai, atau darah… Abu Hanifah dan Muhammad mengatakan: Semuanya boleh. Abu Yusuf mengatakan: Tidak boleh antara seoang Muslim dan kafir Harbi di Darul Harbi kecuali apa yang boleh antara dia dengan kaum Muslim.

Kedua, Tinjauan Terhadap Nash-nash Fuqaha’ Hanafi

Dari teks-teks (nash-nash) fuqaha Hanafi yang saya kemukakan di atas, terkait dengan jual beli atau akad-akada yang rusak yang dilakukan oleh seirang Muslim dengan Non Muslim, menurut mazhab Hanafi, dapat disimpulkan tiga poin penting berikut:

  • Terdapat perbedaan pendapat di internal mazhab Hanafi, antara Abu Hanifah dan Muhammad bin al-H asan di satu sisi, dan Abu Yusuf di sisi yang lain. Menutu Abu Yusuf haram secara mutlak transksi batil atau rusak apapun dengan non Muslim.
  • Pendapat yang dipakai kalangan Hanafi adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan
  • Menurut Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan seorang Muslim boleh bertransaksi riba dengan Non Muslm, atau menjual khamer, babi, dan berbagai akad rusak lainnya, kepada Non Muslim dengan sayarat: (1) Non Muslim tersebut adalah Kafir Harbi. (2) Transaksi tersebut dilakukan di dalam Darul Harbi.

KEEMPAT: KEDUDUKAN FATWA DAN PENDAPAT MAZHAB HANAFI TENTANG HAL INI DI HADAPAN DALIL SYARA’ DAN PANDANGAN PARA ULAMA MU’TABAR.

Ada dua hal yang belum kita kemukakan: Kedudukan fatwa Syekh Ali Jum’ah dan Kedudukan Pendapat Mazhab Hanafi di mata para ulama.

Yang pertama, kedudukan fatwa Syekh Ali Jum’ah yang bersandar pada mazhab Hanafi nampak kontradiksi pada fatwa tersebut dengan pandangan Ali Jum’ah sendiri. Sebab, mazhab Hanafi mempersyaratkan keberadaan Non Muslim yang menjadi mitra transaksi rusak/batil tersebut adalah Non Muslim alias Kafir dari kalangan Kafir Harbi dan dilakukan di Darul Harbi. Adanya kaum Kafir Harbi tentu tidak dapat dilepaskan dengan adanya Darul Harbi. Tanpa Darul Harbi tidak ada Kafir Harbi. Sementara, Ali Jum’ah memandang negara-negara Barat yang ada hari ini bukanlah Darul Harbi. Sebab, menurut Ali Jum’ah sudah tidak relevan lagi istilah Darul Islam dan Darul Harbi yang ada untuk konteks hari ini, dengan berdirinya negara atas dasar kesepakatan bangsa (Nation state).

Sehingga, dapat disimpulkan, Ali Jum’ah tidak konsisten dengan pandangan mazhab Hanafi di dalam satu masalah yang terkait dan tidak dapat dipisahkan bagian-bagiannya. Dengan demikian, fatwa Ali Jum’ah tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, para ulama konemporer menolaknya, di antaranya Dr. Ahmad Karimah mengatakan: “Fatwa Ali Jumlah tidak dianggap (laa yu’taddu biha)” (lihat: https//youtu.be/4oUpzQvuZRg). Hal senada disampaikan oleh Dr. al-Musayyar (https:youtu.be/e418UAkILdE).

Sementara itu, Dr. Wahbah az-Zuhaili di dalam Mausu’ah al-Fiqh al-Islamy wa al-Qadhaya al-Mu’ashirah (juz 11/hal. 55) mengatakan:

وفي ضوء هذا يكون حكم التعامل المصرفي في البلاد الأوروبية أو الأمريكية أو غيرها هو الحكم نفسه في البلاد الإسلامية

“Atas dasar ini, hukum bertransaksi riba perbankan di negara-negara Eropa atau Amerika atau yang lain hukumnya sama dengan dengan bertransaksi riba perbankan di negeri-negeri Islam”.

Pada footnote, Dr. Wahbah Zuhaili menulis:

ومن هذه الأحكام حكم بيع الخمر والخنزير ولو لغير المسلمين, هو حرام قطعا

“Dan di antara hukum-hukum tersebut adalah hukum menjual minuman keras dan babi, meski kepada Non Muslim sekalipun. Hukumnya tetap haram secapa pasti, tanpa ragu!!”.

Dr. Wahbah Zuhaili kemudian menyinggung mazhab Abu Hanifah, beliau mengatakan:

وأما فتوى الإمام أبو حنيفة وصاحبه محمد بجواز أخذ الربا في دار الحرب فلا تصلح لوقتا الحاضر

“Adapun fatwa Imam Abu Hanifah dan sahabatnya, Muhammad bin al-Hasan, tentang bolehnya mengambil riba di Darul Harbi, maka tidap dapat diterapkan untuk konteks zaman kita”.

Demikian kedudukan fatwa Ali Jum’ah di mata ulama kontemporer.

Kedua, Kedudukan Pendapat Mazhab Hanafi di mata para ulama. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa seluruh ulama telah sepakat bahwa hukumnya riba, jual khamer, babi, dan transaksi batil lainnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim, baik di dalam Darul Islam maupun di Darul Harbi, baik dengan sesama Muslim mapun dengan Kafir, termasuk Kafir Harbi sekalipun.

Adapun mazhab Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan adalah seperti dikemukakan di atas dengan syarat dan ketentuan yang telah saya kemukakan juga. Dalam pandangannya, mazhab ini berdalil dengan riwayat dari Makhul dari Rasulullah –shallahu ‘alayhi wa alihi wasallam – yang bersabda: “Tidak ada riba antara seorang Muslim dan kafir Harbi di dalam Darul Harbi”.

Riwayat ini adalah riwayat Mursal yang lemah. Kelemahannya telah ditegaskan oleh Imam as-Syafi’i dalam al-Umm (7/358-359), Ibn Hajar al-‘Asqalani (ad-Dirayah, 2/158), an-Nawawi (al-Majmu’: 9/488), dan yang lain.

Begitu pula dalil-dalil lainnya yang dikemukan oleh mazhab Hanafi dalam konteks ini semuanya dinilai dhaif oleh para ahlinya (ahli hadits dan riwayat). Sedangkan riwayat tentang riba yang dilakukan oleh Abbas, maka tidka dapat dijadikan dalil karena hadits tersebut disampaikan oleh Rasulullah pada saat haji wada’. Artinya, Makkah sudah menjadi Darul Islam dua tahun sebelumnya, di mana Abbas melakukan riba di Makkah dan diklaim oleh mazhab Hanafi beliau melakukan riba di Darul Harbi. Selain itu, tidak ada bukti bahwa Abbas bertransaksi riba atas dasar pengetahuan akan keharaman riba. Apalagi kata “riba jahiliah” dalam hadits tersebut justru mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan oleh Abbas terjadi sebelum masuk Islamnya Abbas, seperti dikatakan oleh an-Nawawi (lihat: al-Majmu’: 10/488).

KESIMPULAN

Dari semua paparan di atas, nampak bahwa pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan tentang bolehnya transaksi batil oleh seorang Muslim dengan mitra Kafir Harbi di Darul Harbi merupakan pendapat yang lemah. Semua mazhab menolaknya, bahkan Imam Abu Yusuf, murid Abu Hanifah dan kawan Muhammad bin al-Hasan sendiri juga tidak sependapat.

Selain itu, pendapat Abu Hanifah dan Muhammad di atas di bangun atas dasar Darul Islam dan Darul Harbi. Oleh sebab itu, fatwa Ali Jum’ah yang bersandar pada pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan menjadi kehilangan nilai, karena Ali Jumah tidak sepakat dengan Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan soal Darul Islam dan Darul Harbi, di mana Ali Jum’ah, untuk konteks kekinian, tidak memandang negara-negara Barat sebagai Darul Harbi. Lalu bagaimana Ali Jum’ah mengambil halalnya riba dan halalnya jual khamer di negera-negara Barat bersandar pada pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, sementara dasar pijakan fatwa Abu Hanifah dan Muhammad tidak dipakain oleh Ali Jum’ah?!!! Sebuah sikap yang paradoks ekstrim.

Dengan demikian, dengan sendirinya, perkataan Ubaidillah Amin, Staf Khusus Menteri Agama, yang bersandar pada fatwa Ali Jum’ah tertolak dengan sendirinya. Apalagi, untuk konteks Indonesia jelas merupakan negeri kaum Muslim, bukan negara Barat sebagaimana dalam fatwa Ali Jum’ah yang tertolak di atas. Sehingga, perkataan Ubaidillah tertolak mentah dua kali. Pertama karena bersandar pada fatwa yang tertolak. Kedua, fakta yang dikatakan dalam fatwa Ali Jum’ah tidak sama dengan fakta yang terjadi di Indonesi yang menjadi objek pembicaraan Ubaidillah.

Wallah a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close