Tanya Jawab

Cacat Dalam Kepribadian Tidak Mengeluarkan Seorang Muslim dari Akidah Islamiyah

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Cacat Dalam Kepribadian Tidak Mengeluarkan Seorang Muslim dari Akidah Islamiyah

Kepada Abdul Jalil Zayn

 

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah melimpahkan berkah pada Anda, menolong Anda dan memberi balasan yang lebih baik kepada Anda, syaikhuna al-karim.

Dinyatakan di dalam buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I bahwa ada perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah yang dilakukan oleh kaum Muslim akan tetapi tidak mengeluarkan mereka dari akidah. Dan telah dijelaskan bahwa kadang kala seorang Muslim lalai sehingga ia lalai mengaitkan pemahaman-pemahamannya dengan akidahnya, atau dia tidak tahu kontradiksi pemahaman-pemahaman ini dengan akidah, atau kadang setan mengalahkannya dan menutupi akidah ini dalam suatu perbuatan…

Lalu bagaimana seorang Muslim itu ketika ia melakukan perbuatan yang menyalahi akidah islamiyah dia tetap seorang muslim?

Seandainya seorang muslim mengkafirkan saudaranya Muslim, bukankah dengan itu maka kekafiran itu berbalik kepada salah seorang dari keduanya, dan di sini Rasul mengucapkannya dengan redaksi “kâfir”?

Saya tahu bahwa perbuatan-perbuatan itu mencakup lafazh atau gerakan. Seandainya seorang Muslim sujud ke berhala maka dengan itu ia menjadi kafir.

Saya mohon penjelasan perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah islamiyah dan Muslim tersebut tetap seorang muslim meski dia melakukan perbuatan itu?

Apakah berhukum ini mencakup berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan dan berhukum dengan sekulerisme kufur dan lainnya?

Semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepada Anda.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertama, pertanyaan Anda adalah tentang apa yang termaktub di pembahasan “cacat dalam kepribadian –ats-tsughratu fî asy-syakhshiyyah-” di dalam buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah” juz I. Juga apa yang dimaksud dengan redaksional yang dinyatakan di buku itu, semisal: “tampak bisa disaksikan pada banyak orang dari kaum Muslim tampaknya perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah islamiyah mereka…” Juga, “… hal itu kadang kala seorang manusia lalai lalu ia lalai mengaitkan pemahaman-pemahamannya dengan akidahnya, atau kadang ia tidak mengetahui kontradiksi pemahaman-pemahaman ini dengan akidahnya atau dengan keberadaannya berkepribadian islami. Atau kadang setan menguasai hatinya sehingga mengeringkan akidah ini dalam perbuatan sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah ini”. Dan redaksi semacam ini. Maksud darinya bukan seperti pendapat Anda yang ada dalam pertanyaan Anda dalam bentuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari akidah islamiyah. Akan tetapi yang dimaksud adalah melakukan perbuatan-perbuatan haram dan berbagai kemaksiyatan yang menyalahi apa yang diwajibkan oleh akidah islamiyah berupa turun (berpegang) pada hukum-hukum syara’ dan tidak menyalahinya. Penjelasan hal itu ada di banyak tempat di dalam pembahasan yang disebutkan. Di situ dinyatakan:

“Hakikatnya bahwa adanya cacat dalam perilaku seorang muslim tidak mengeluarkan dari keberadaannya kepribadian islami. Hal itu bahwa manusia itu kadang kala lalai dan lalai mengaitkan pemahaman-pemahamannya dengan akidahnya, atau kadang ia tidak tahu kontradiksi pemahaman-pemahaman ini dengan akidahnya atau dengan keberadaannya sebagai kepribadian islami, atau kadang setan menguasai hatinya sehingga mengeringkan akidah ini dalam suatu perbuatan sehingga ia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah ini atau bertentangan dengan sifat-sifat seorang muslim yang berpegang teguh pada agamanya atau menentang perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Ia melakukan semua itu atau sebagiannya pada waktu dimana ia tetap meyakini akidah ini dan menjadikannya sebagai asas untuk pemikirannya dan kecenderungannya. Oleh karena itu tidak benar dikatakan bahwa dalam kondisi semisal ini ia keluar dari Islam atau menjadi pribadi tidak islami. Sebab selama akidah islamiyah diyakini oleh hatinya maka dia muslim, meski dia melakukan perbuatan maksiyat”.

“… oleh karena itu tidak dijauhkan kemungkinan bahwa sebagian muslim menyalahi perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dalam suatu perbuatan. Kadang kala seseorang memandang realita yang bertentangan dengan ikatan perilaku dengan akidah. Kadang hal itu diimajinasikan padanya bahwa kemaslahatannya ada pada apa yang dia lakukan kemudian dia menyesal dan memahami kekeliruan apa yang telah dia lakukan dan dia kembali kepada Allah. Penyimpangan terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah ini tidak mencederai eksistensi akidah pada dirinya. Melainkan hanya mencederai keterikatannya pada perbuatan ini dengan akidah. Oleh karena itu orang yang bermaksiat atau orang fasik tidak dianggap murtad. Melainkan ia hanya dianggap sebagai muslim yang bermaksiat dalam suatu perbuatan yang dengan perbuatannya itu dia bermaksiat, dan dijatuhi sanksi padanya saja, dan dia tetap seorang muslim selama ia meyakini akidah Islam”. Selesai penjelasan di dalam asy-Syakhshiyyah.

Dan jelas dari penjelasan ini bahwa maksudnya adalah bahwa melaksanakan perbuatan-perbuatan yang diharamkan dan menyalahi syariah tidak mengeluarkan seorang muslim dari akidah islamiyahnya, misalnya seorang meminum khamr, mencuri atau memandang aurat yang dharamkan atau semacam itu…maka dengan kemaksiatan-kemaksiatan itu ia menjadi orang yang bermaksiat dan fasik dan tidak menjadi kafir selama dia mengimani akidah islamiyah.

 

Kedua: adapun melakukan perbuatan semacam sujud kepada berhala atau melakukan shalatnya Yahudi atau Nashrani maka ini bukan hanya menyalahi akidah dan mengeringkannya saja, akan tetapi lebih dari itu dia keluar dari akidah islamiyah dan dari islam seluruhnya… Dan siapa yang melakukan semisal perbuatan ini maka ia murtad dari agamanya… Sebelumnya telah kami rinci dalam Jawab Soal tertanggal 30/4/2017 tentang menjauhi kekufuran dan mati sebagai muslim.

Ketiga: adapun berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka di situ ada perincian yang telah kami jelaskan dalam banyak jawab soal. Ringkasnya adalah, bahwa memutuskan hukum dengan hukum kufur adalah termasuk perbuatan. Jika perbuatan itu tumbuh dari i’tiqad (keyakinan) pelakunya yakni menunjukkan bahwa pelakunya tidak mengimani Islam dan memutuskan hukum dengan kufur berangkat dari keyakinan atas ketidaklayakan hukum-hukum Islam maka siapa yang melakukan perbuatan ini dia menjadi kafir. Adapun orang yang berhukum dengan hukum kufur akan tetapi dia mengakui bahwa Islam adalah benar dan bahwa wajib berhukum dengannya maka dalam kondisi ini maka orang yang melakukan perbuatan ini merupakan orang yang zalim dan fasik dan bukan kafir… Hal itu diisyaratkan oleh tiga ayat surat al-Maidah yaitu tentang memutuskan hukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan, satu dari tiga ayat itu menyifati orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan dengan sifat kafir, dan kedua menyifati fasik dan ketiga menyifati zalim… Allah SWT berfirman:

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (TQS al-Maidah [5]: 44).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (TQS al-Maidah [5]: 45).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (TQS al-Maidah [5]: 47).

 

Pengetahuan tentang realita orang yang memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah adalah penting untuk benarnya keputusan terhadapnya.

Diantara yang wajib diperhatikan bahwa tidak boleh gampangan dalam mengkafirkan orang. Siapa yang lahir dari ibu bapak yang muslim maka dia seorang muslim. Sehingga bisa diputuskan atas kekufurannya maka di situ wajib ada dalil qath’iy atas kekafirannya. Hingga seandainya ada 90% dari dalil (bukti) kekafirannya dan 10% bukti keislamannya maka tidak boleh diputuskan kafir. Melainkan dimonitor perbuatan-perbuatannya dan diputuskan atas perbuatan-perbuatan yang menyalahi syara’ ini dengan menilainya fasik atau bermaksiat atau zalim, akan tetapi tidak diputuskan kafir selama dalil (bukti) qath’i atas kekafirannya tidak tegak. Topik pengkafiran bisa menyebabkan tertumpahnya darah. Dan dalam penerapan hukum-hukum riddah (murtad) kadang mengakibatkan bencana dan kejahatan-kejahatan, selama tidak terbukti terjadinya kekafiran dengan tegaknya hujjah yang qath’i…

Ini sungguh merupakan perkara penting. Dan dalil-dalil syar’iy menunjukkan hal itu, diantaranya:

  1. Firman Allah SWT:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللَّهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ كَذَلِكَ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلُ فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَتَبَيَّنُوا إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (TQS an-Nisa’ [4]: 94).

 

Dan tentang sebab turun ayat ini terdapat beberapa hadits, di antaranya:

Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnad-nya dari Abu Zhibyan, ia berkata: aku mendengar Usamah bin Zaid berkata:

«بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ، قَالَ: فَصَبَّحْنَاهُمْ فَقَاتَلْنَاهُمْ، فَكَانَ مِنْهُمْ رَجُلٌ إِذَا أَقْبَلَ الْقَوْمُ كَانَ مِنْ أَشَدِّهِمْ عَلَيْنَا، وَإِذَا أَدْبَرُوا كَانَ حَامِيَتَهُمْ، قَالَ: فَغَشِيتُهُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، قَالَ: فَلَمَّا غَشِينَاهُ، قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَكَفَّ عَنْهُ الْأَنْصَارِيُّ وَقَتَلْتُهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: “يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟” قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا مِنَ الْقَتْلِ. فَكَرَّرَهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ إِلَّا يَوْمَئِذٍ»

“Rasulullah saw mengutus kami ke al-Huraqah dari Juhainah. Usamah berkata: maka kami pagi-pagi memerangi mereka. Di antara mereka ada seorang laki-laki jika kaum itu maju maka ia menjadi orang yang paling keras melawan kami dan jika mereka lari dia menjadi orang yang melindungi mereka. Usamah berkata: maka aku dan seorang Anshar mengepungnya. Ketika kami berhasil mengepungnya, dia berkata: “lâ ilâh illâ Allâh”, maka orang Anshar itu menahan diri darinya sedangkan aku membunuhnya, lalu hal itu sampai kepada Nabi saw. Beliau bersabda; “ya Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan “lâ ilâh illâ Allâh”? Usamah berkata: “aku katakan: ya Rasulullah, melainkan ia (megucapkan itu) untuk berlindung dari pembunuhan”. Maka Beliau mengulang-ulangnya terhadapku sampai aku berharap bahwa aku belum menjadi muslim kecuali hari itu”.

 

  1. Rasulullah saw bersabda:

«لَا أَزَالُ أُقَاتِلُ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَقَدْ عَصَمُوا مِنِّي أَمْوَالَهُمْ وَأَنْفُسَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ » رواه أحمد في مسنده

“Aku terus memerangi manusia sampai mereka mengatakan: “lâ ilâha illâ Allâh” jika mereka mengatakan: “lâ ilâha illâ Allâh”, maka mereka telah melindungi dariku harta dan jiwa mereka kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka menjadi tanggungjawab Allah”. (HR Ahmad dalam Musnadnya).

 

  1. Di dalam Shahîh al-Bukhâriy dinyatakan dari Abdullah bin Umar ra.: bahwa Rasulullah saw bersabda:

«أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»

“Siapa saja orang yang berkata kepada saudaranya: “ya kafir” maka sungguh tuduhan itu kembali kepada salah seorang dari keduanya”.

 

Imam Muslim meriwayatkan di dalam Shahîh-nya dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw bersabda:

«إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»

“Jika seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya maka tuduhan kafir itu kembali kepada salah seorang dari keduanya”.

 

Atas dasar itu tidak boleh tergesa-gesa dan gampangan dalam memvonis seorang muslim dengan vonis kafir, akan tetapi harus dipastikan dan dibuktikan…

 

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

10 Sya’ban 1438 H

7 Mei 2017 M

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/43969.html#sthash.Xwfxz9xH.dpuf

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/625216257675449/?type=3&theater

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close