Tanya Jawab

Betulkah Islam Tak Perlu Dibela?

Soal:

Benarkah Allah tidak perlu dibela? Jika Allah perlu dibela maka itu sama saja dengan mengatakan Allah itu lemah. Benarkah?

Jawab:

Ada yang mengatakan, “Allah tidak membutuhkan pembelaan kita karena Allah Maha segalanya.” Begitu juga, ada yang mengatakan tidak perlu membela al-Quran, kalam Allah yang dinista, “Sejak dulu al-Quran telah dihina dan dinista, tetapi semua penghinaan dan penistaan itu tidak bisa meruntuhkan kemuliaannya.”

Pertanyaannya, benarkah Allah tidak perlu dibela? Benarkah al-Quran tidak perlu dibela? Benarkah Islam tidak perlu dibela?

Pertama: Pandangan atau pemikiran seperti ini bukan pemikiran, siapa pun yang mengatakannya, apakah Profesor, Doktor, Ustadz, Jenderal, atau orang awam. Lebih tepat pandangan seperti ini disebut sebagai fantasi intelektual. Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Karena menggabungkan dua perkara yang seharusnya dipisahkan, karena memang konteksnya berbeda.

Konteks “Allah Maha Segalanya”, “Al-Quran kalam Allah yang mulia” atau “Islam agama yang sempurna” adalah konteks yang terkait dengan Allah, kalam dan agama-Nya. Adapun membela dan menjaga kesuciannya adalah konteks kita, sebagai manusia. Memang benar, “Allah Maha segalanya” begitu juga “Al-Quran kalam Allah yang mulia”, atau “Islam adalah agama yang sempurna” itu tidak akan berkurang sedikitpun, kerana konteks ini adalah konteks yang terkait dengan-Nya. Akan tetapi, salah ketika dikaitkan dengan konteks kita, seolah-olah ketika ke-Maha-an dan kemuliaan-Nya itu tetap akan sempurna, meskipun dinista, tidak perlu kita bela.

Karena itu perlu ditegaskan di sini, bahwa pandangan seperti ini hanyalah fantasi intelektual, bukan pemikiran karena bertentangan dengan fakta. Cara berpikir seperti ini juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis (Jabariyah). Cara berpikir kaum Fatalis ini dalam sejarah sering digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meninabobokan rakyat. Tujuannya agar mereka menerima penindasan yang dilakukan oleh rezim dengan alasan takdir.

Karena itu perlu dipisahkan, antara “Allah Maha Segalanya”, “Al-Quran kalam Allah yang mulia” dan “Islam agama yang sempurna” sebagai wilayah-Nya, dengan wilayah kita sebagai manusia untuk menjaga dan melindungi kemuliaan-Nya. Wilayah yang pertama adalah wilayah akidah, sedangkan wilayah kedua adalah wilayah (hukum) syariah.

Kedua: Kesimpulan bahwa Allah, al-Qur’an, atau Islam tidak perlu dibela, sesungguhnya hasil logika mantik, dari dua premis. Premis mayor menyatakan bahwa Allah Maha Segalanya, al-Quran kalam Allah dan Islam agama Allah yang sempurna. Premis minornya menyatakan bahwa Zat Yang Maha segalanya tidak perlu dibela, begitu juga kalam Allah dan Islam agama yang sempurna. Sebab, jika perlu dibela maka Allah, al-Quran dan Islam itu tidak sempurna.

Kesimpulan ini jelas merupakan kongklusi mantik. Bukan merupakan hasil berpikir karena bertentangan dengan fakta. Tampak kongklusi ini benar, padahal sebenarnya salah. Di mana salahnya? Ketika kesimpulan ini bertentangan dengan nash-nash syariah. Nash yang menyatakan kemahaan Allah, kesempurnaan al-Quran dan Islam di satu sisi. Di sisi lain, nash syariah tetap memerintahkan kita untuk membela Allah, al-Quran dan agama-Nya.

Ketiga:  Andai saja Allah, kalam dan agama-Nya tidak perlu dibela, Allah tentu tidak memerintahkan kita menjadi pembela-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُوٓاْ أَنصَارَ ٱللَّهِ ١٤

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian sebagai penolong-penolong Allah (QS ash-Shaf [61]: 14).

Ketika kita membela Allah, membela kalam-Nya, membela agama-Nya, memperjuangkan syariah-Nya, serta membantu para pejuang yang memperjuang agama-Nya, maka Dia akan menolong kita. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ  ٧

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).

Imam Ar-Razi menjelaskan, makna “In tanshurulLah (jika kalian menolong Allah)” adalah menolong agama-Nya, memperjuangkan syariah-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkannya. Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “al-Jaza’ jinsu al-‘amal (balasan itu sesuai dengan jenis amal yang diberikan).” Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.

Keempat: Andai Allah tidak perlu dibela, maka tidak akan pernah ada “Awliya’-lLah”. Adanya “Awliya’-lLah” merupakan dampak karena mereka menolong Allah. Di dalam Al-Quran, mereka disebut “Awliya’-lLah (penolong/kekasih Allah)” karena mereka membela Allah. Ketika mereka menjadi “Awliya’-lLah” maka Allah pun menjadi Wali (penolong/kekasih) mereka. Ketika Allah menjadi Wali mereka (QS al-Baqarah [2]: 257 dan QS an-Nisa’ [4]: 45), karena mereka telah menjadi “Awliya’-lLah”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah tegaskan:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ  ٦٢

Ingatlah, sungguh para pelindung/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri mereka, dan mereka pun tidak bersedih (QS Muhammad [10]: 62).

Allah juga menegaskan:

وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِأَعۡدَآئِكُمۡۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَلِيّٗا وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ نَصِيرٗا  ٤٥

Allah Mahatahu ata musuh-musuh kalian. Cukuplah Allah menjadi Pelindung dan cukuplah Allah menjadi Penolong (QS an-Nisa’ [4]: 45).

Karena itu para ulama, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyah al-Awliya’ dan Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifah ash-Shafwah, menyenaraikan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, atba’ tabi’in dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Awliya’-lLah”.

Kelima: Andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah-payah berdakwah di Makkah sehingga berdarah-darah, dan tidak perlu berperang bersama para sahabatnya melawan kaum kafir lebih dari 79 kali, 27 kali di antaranya secara langsung dipimpin oleh beliau.

Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi berikutnya, di bawah kepemimpinan Khalifah ataupun bukan, adalah bukti bahwa para “Awliya’-lLah” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk membela Allah, agama dan kehormatannya.

Karena itu ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristian Romawi, dia menjerit, “Ya Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim, tolonglah!)” pasukan Khalifah Al-Mu’tashim pun memerangi mereka sehingga Amuriah berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista, Sultan Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan pementasan drama yang menista kemuliaan Nabinya, dan jika tidak, Khilafah Uthmani akan melumat Inggris.

Semuanya itu bukti, bahwa “Awliya’-lLah” selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.

Namun, yang perlu dicatat, Al-Quran juga mencatat bahwa selain “Awliya’-lLah”, ada juga “Awliya’ as-Syaythan (kekasih/pembela setan)”. Mereka inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya. Menghalangi dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya (QS an-Nisa’ [4]: 67).

Jadi, jelas sudah. Allah, kalam-Nya, agama dan kesucian-Nya perlu dibela, dijaga dan dilindungi. Ini merupakan kewajipan kita. Karena itu, ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah sebagai “Awliya’-lLah”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penistanya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Awliya’ Asy-Syaythan”.

Tinggal kita untuk memilih yang mana, menjadi “Awliya’-lLah” atau “Awliya’ Asy-Syaythan”.

[KH. Hafidz Abdurrahman]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close