Tanya Jawab
Bagaimana Memahami Hadits “Tidak Ada yang Bisa Menolak Qadha’ Kecuali Doa”
Soal:
Dinyatakan di buku at-Tafkîr al-Islâmî, yang merupakan salah satu buku mutabanat kita, bahwa doa tidak menolak qadar, tidak mengubah qadha’ dan tidak pula mengubah ilmu Allah SWT. …). Sementara ada nas-nas dari al-Quran dan as-Sunnah yang tampak bagi saya bahwa itu berbeda dengan pemahaman ini. Dinyatakan dari Rasul saw. Sabda beliau:
«لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang menolak qadha’ kecuali doa”.
Dan ada banyak hadits-hadits lainnya dengan makna ini. Hadits-hadits ini menetapkan bahwa doa bisa mengubah al-qadar (takdir) … Lalu bagaimana memperlakukan kontradiksi antara apa yang dinyatakan di dalam buku tersebut dengan nas-nas ini? Semoga Allah SWT. memberi Anda balasan yang lebih baik.
Jawab:
Tampaknya Anda menunjuk kepada apa yang ada di buku al-Fikru al-Islâmiy, bukan at-Tafkîr al-Islâmiy seperti yang dinyatakan secara keliru di pertanyaan. Kekeliruan lainnya di dalam pertanyaan adalah ucapan Anda, “dan itu merupakan salah satu buku mutabanat kita”, sebab buku itu bukan mutabanat. Disebutkan di milaf idari pada bab “buku-buku bukan mutabanat yang dikeluarkan oleh Hizb baik disebutkan nama amir atau disebutkan nama anggota lainnya karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, dan buku itu tidak dikaji di dalam halqah”, kemudian disebutkan buku ini: al-Fikru al-Islâmiy … Di atas semua itu, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, tampaknya Anda menunjuk kepada apa yang ada di buku tersebut: “tetapi wajib menjadi jelas bahwa doa tidak mengubah apa yang ada di dalam ilmu Allah, tidak menolak qadha’, tidak mencabut qadar (takdir) dan tidak mengadakan sesuatu tidak menurut sebabnya. Sebab ilmu Allah pasti terjadi. Qadha’ Allah pasti berlangsung. Sebab seandainya doa itu bisa menolak qadha’ Allah niscaya itu bukan merupakan qadha’. Dan al-qadar (takdir) diadakan oleh Allah dan tidak bisa dicabut oleh doa…”. Sedangkan Anda mengatakan bahwa ini kontradiksi dengan apa yang ada di dalam hadits:
«إِنَّ الدُّعَاءَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ»
“Sesungguhnya doa itu menolak qadha”.
Atau hadits:
«لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang menolak al-qadar (takdir) kecuali doa”.
Dan Anda bertanya, bagaimana memperlakukan kontradiksi ini?
Sebelum saya menjawab Anda, saya sebutkan beberapa perkara yang berkaitan sebagai pendahuluan untuk jawaban:
1- Posisi doa di dalam Islam dan jawaban terhadap doa dengan izin Allah… Terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits seputar topik ini, di antaranya:
Firman Allah SWT.:
﴿وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ﴾
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (TQS Ghafir [40]: 60).
Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الدُّعَاءِ»
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari doa”.
Imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw. bersabda:
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّل لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ»
“Tidaklah seorang Muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan pemutusan hubungan kekerabatan kecuali Allah memberikannya satu dari tiga hal: disegerakan untuknya doanya, disimpan untuknya di akhirat, atau dia dialihkan dari keburukan semisalnya”. Mereka berkata: “kalau begitu kami memperbanyak doa”. Nabi saw bersabda: “Allah lebih banyak lagi membalas”.
Al-Hakim juga mengeluarkannya dari Abu Sa’id ra..
Dalil-dalil ini menjelaskan bahwa Allah SWT. menyukai hamba-Nya yang mukmin untuk berdoa meminta kepada-Nya dan memperbanyak doa. Juga bahwa ada jawaban untuk doa dengan satu dari tigal hal seperti yang ada di Musnad Ahmad … Jawaban itu dicatat di Lauh al-Mahfuzh. Tidak terjadi sesuatupun kecuali telah dicatat sejak azali, seperti yang dijelaskan di dalam dalil-dalil al-qadar di bawah.
2- Jika ada dalil qath’iy atas suatu masalah yang memberikan hukum tertentu dan ada dalil zhanniy yang sanadnya shahih atas masalah yang sama yang memberi hukum lain yang di dalamnya terdapat syubhat kontradiksi dengan dalil qath’iy, maka dalam kondisi ini dilakukan al-jam’u bayna ad-dalîlayn (mempertemukan atau mengkompromikan di antara dua dalil), sebab mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya (I’mâlu ad-dalîlayn awlâ min ihmâli ahadihima). Jika tidak mungkin dipertemukan atau dikompromikan maka diambil dalil yang qath’iy dan dalil zhanniy ditolak secara dirayah sebab sanadnya adalah shahih. Adapun andai sanadnya dhaif maka ditolak karena kedhaifannya itu.
3- Di antara dalil-dalil al-qadar:
Allah SWT. berfirman:
﴿وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَراً مَقْدُوراً﴾
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” (TQS al-Ahzab [33]: 38).
Makna “qadran” di sini yakni perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak azali. Dan makna “ maqdûran “ yakni pasti terjadi. Jadi qadran maqdûran yakni keputusan yang pasti, yakni pasti terjadinya.
﴿ومَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا فِي السَّمَاءِ وَلا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ﴾
“Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (TQS Yunus [10]: 61).
﴿عَالِمِ الْغَيْبِ لا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأَرْضِ وَلا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْبَرُ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِين﴾
“Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (TQS Saba’ [34]: 3).
﴿مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ﴾
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (TQS al-Hadid [57]: 22).
Juga terdapat hadits-hadits pada topik al-qadar atau tulisan di Lauh al-Mahfuzh, di antaranya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. bersabda kepadaku:
«جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَقٍ» رواه البخاري
“Telah kering pena dengan apa yang pasti engkau temui” (HR al-Bukhari).
Yakni telah dituliskan pada azali apa yang engkau temui … Dan hadits Umar ra. dari Nabi saw. yang di dalamnya diriwayatkan kedatangan Jibril as. dan tentang iman. Dinyatakan di dalam hadits tersebut, Jibril as. berkata: “beritahu aku tentang iman!”. Nabi saw. bersabda:
«أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ» رواه مسلم
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan engkau beriman kepada al-qadar baik dan buruknya” (HR Muslim).
Yakni, engkau beriman bahwa Allah SWT. menetapkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk … Dan dari Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ» رواه الترمذي
“Tidak beriman (dengan sempurna) seorang hamba hingga dia mengimani al-qadar baik dan buruknya, hingga dia tahu bahwa apa yang menimpanya tidak akan meluputkannya dan bahwa apa yang luput darinya tidak akan menimpanya” (HR at-Tirmidzi).
Dan dari Abu al-‘Abbas Abdullah bin Abbas ra., ia berkata: “aku di belakang Nabi saw suatu hari, lalu beliau bersabda:
«يا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ، احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتْ الأَقْلامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ» رواه الترمذي
“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat: jagalah Allah niscaya Allah menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapati Allah di hadapanmu. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu minta tolong maka mintalah tolong kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika umat bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan untukmu. Dan andai mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan sesuatu, tiadalah mereka dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran itu telah kering” (HR at-Tirmidzi).
4- Dan sekarang kita sampai kepada dua hadits bahwa doa menolak qadha dan di dalam riwayat lainnya, menolak al-qadar:
Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dari Ibnu Abbas dari Tsawban bahwa Nabi saw bersabda:
«إِنَّ الدُّعَاءَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ»
“Sesungguhnya doa itu menolak qadha’ “.
Dan di dalam riwayat al-Hakim yang lainnya dari Abdullah bin Abiy al-Ja’di dari Tsawban ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang bisa menolak al-qadar kecuali doa”.
Al-Hakim berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya meski keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya”.
5- Dengan mengkaji apa yang dinyatakan tentang al-qadar, khususnya ayat-ayat yang qath’i dalalah, dipahami dari dalil-dalil ini bahwa tidak ada sesuatupun di muka bumi dan di langit kecuali Allah SWT. telah menetapkannya dan mencatatnya di sisi-Nya. Jadi tidak terjadi di dalam eksistensi ini sesuatupun kecuali telah lebih dahulu Allah menetapkannya dan mencatatnya. Apa yang telah lebih dahulu Allah tetapkan dan Allah catat pasti terjadi dan tidak ada ruang menghindar dari terjadinya, artinya tidak ada sesuatu pun yang bisa menolak al-qadar dan menghalangi terjadinya.
Sementara dari kedua hadits di atas bisa dipahami bahwa doa menolak al-qadar atau menolak al-qadha’, makna keduanya sama. Kalau begitu, di sini ada syubhat kontradiksi dengan dalil-dalil qath’iy yang dinyatakan tentang al-qadar. Dan seperti yang kami sebutkan di atas, pertama-tama harus dilakukan al-jam’u (mempertemukan) antara hadits-hadits tersebut dengan dalil-dalil qath’iy. Jika mungkin maka itu yang dipakai, dan jika tidak mungkin maka hadits-hadits itu ditolak secara dirayah …
6- Berdasarkan hal itu dan dengan mendalami perkara ini, saya katakan dengan tawfik dari Allah:
a- Hadits “lâ yaruddu al-qadar illâ ad-du’â` -tidak ada yang menolak al-qadar kecuali doa-“ dengan makna hakiki kata “yaruddu al-qadar -menolak al-qadar-“, yakni menghapusnya dari Lauh al-Mahfuzh, hadits ini dengan makna ini ditolak secara dirayah karena perkara yang telah ditetapkan atau diputuskan dicatat di Lauh al-Mahfuzh pasti terjadi dan tidak ada ruang menghindar dari terjadinya dan tidak akan luput, artinya al-qadar tidak bisa dihapus dari Lauh al-Mahfuzh. Berdasarkan hal itu, hadits tersebut ditolak secara dirayah jika tidak mungkin dipertemukan atau dikompromikan. Dan ketika itu, diambil dalil-dalil qath’iy tentang al-qadar, yakni bahwa al-qadar pasti terjadi dan tidak bisa ditolak … Tetapi, sebelum menolak hadits tersebut secara dirayah, wajib dikerahkan segenap upaya dalam mempertemukan atau mengkompromikan di antara dalil-dalil qath’iy dengan dalil-dalil zhanniy itu sebab mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.
b- Di dalam Ushul, jika hakikat terhalang karena adanya indikasi yang menghalangi makna hakiki, dan di sini adalah dalil-dalil qath’iy tentang al-qadar yang telah disebutkan di atas, maka digunakan makna majaz dan hadits tersebut dipahami menggunakan makna majaz jika hal itu mungkin menurut bahasa. Dan ini mungkin di sini. Kata al-qadar atau al-qadha’ di dalam hadits tersebut dengan makna secara majaz dipahami, “apa yang menjadi akibatnya atau dampaknya”. Dengan ungkapan lain, apa yang disebabkannya melalui hubungan sebab akibat. Jadi disebutkan sebab padahal yang dimaksud adalah akibat. Hal itu seperti Anda katakan, “anbatat al-ardhu matharan -bumi menumbuhkan hujan-“. Anda sebutkan sebab “matharan” padahal yang Anda maksud adalah musabab (akibat) yakni hasilnya (tumbuhan). Di sini disebutkan al-qadar, padahal yang dimaksud adalah makna majazi yakni dampaknya atau apa yang dihasilkannya. Pada saatnya, penolakan itu bukan untuk al-qadar atau al-qadha’, melainkan untuk dampaknya. Seorang Mukmin jika terjadi padanya suatu qadar atau qadha’, misalnya sakit, kehilangan anak, hilang harta, rugi perdagangan … dsb, maka doa bisa menolak dampak hal itu terhadapnya. Seperti yang ada di dalam hadits al-Hasan bin Ali ra., “Rasulullah saw mengajarkanku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam doa Qunut shalat witir:
«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ… وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ…»
“Ya Allah, tunjukilah aku pada orang yang Engkau beri petunjuk … dan jagalah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan”.
Seorang Mukmin jika dia berdoa kepada Allah SWT. dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi keburukan al-qadha’ maka Allah meringankan darinya dampak al-qadha’ itu dan membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya, dan berikutnya hidupnya menjadi baik meski terjadi al-qadha terhadapnya. Yakni, Allah meringankan al-qadha’ terhadapnya dan meringankan kejadiannya seolah-olah doanya secara majaz telah menolak al-qadha’ itu, yakni Allah SWT. membantunya untuk menanggungnya dan bersabar atasnya … Betapa banyak orang yang tertusuk duri lalu kekuatannya melemah dan keadaannya kacau. Sebaliknya, betapa banyak orang yang ditimpa musibah tetapi lisannya senantiasa basah melafalkan dzikir mengingat Allah berdoa kepada-Nya agar menjaganya dari keburukan musibah ini dan dampaknya, lalu dia bersabar atasnya dan keadaannya pun tetap lurus, seolah-olah doanya telah menolak musibah itu secara majazi. Begitulah, hadits itu dipahami bahwa al-qadar pasti terjadi, tetapi doa seorang Mukmin dengan benar dan ikhlas bisa menolak dampak al-qadar itu terhadap dirinya yakni meringankannya dan membantunya menanggungnya dan bersabar atasnya serta meringankan beban musibah itu terhadapnya, dan berikutnya kehidupannya menjadi baik seolah-olah musibah itu tidak terjadi. Dan semua itu telah dicatat di Lauh al-Mahfuzh. Allah SWT. telah menetapkannya dan mengetahuinya sejak azali … Yakni dicatat di Lauh al-Mahfuzh bahwa itu telah ditetapkan terjadi pada hamba ini musibah tertentu dan bahwa musibah itu pasti terjadi … dan bahwa hamba ini berdoa kepada Allah SWT. agar melindunginya dari keburukan musibah itu dan Allah menjawabnya serta membantunya untuk menanggung musibah itu dan bersabar atasnya sehingga seolah-olah musibah itu tidak terjadi padanya, secara majazi.
Begitulah hadits tersebut dipahami, seperti yang saya rajihnya, wallâh a’lam wa ahkam.
7- Untuk pengetahuan dan menambah faedah, saya sebutkan hal berikut:
a- Dinyatakan di buku saya at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr:
[Makna pemenuhan doa bukanlah perubahan dalam al-qadar atau tulisan di Lauh al-Mahfuzh atau di ilmu Allah. Yakni pemenuhan itu tidak berarti bahwa Allah tidak mengetahui permintaan (doa) hamba-Nya dan pemenuhan Allah untuk doa itu, dan berikutnya tidak tercatat di Lauh al-Mahfuzh, tetapi Allah mengetahuinya dan mencatatnya sejak azali … Sesungguhnya al-qadar itu adalah ilmu Allah, yakni pencatatan di Lauh al-Mahfuzh dan semua yang ada/terjadi telah tertulis di dalamnya sejak azali. Jadi Allah mengetahui bahwa Fulan akan berdoa kepada-Nya. Jika Allah telah menetapkan pemenuhannya maka ditulis bahwa Fulan akan meminta kepada-Nya begini, begitu, dan bahwa ini akan terjadi begini dan begitu … Jadi doa itu bukanlah pembuatan baru yang tidak ada di ilmu Allah atau tidak tertulis di Lauh al-Mahfuzh. Demikian juga pemenuhan itu. Tetapi, semuanya yang ada/terjadi telah dicatat di Lauh al-Mahfuzh. Jadi Allah mengetahui yang ghaib dan mengetahui ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh hamba. Dan segala sesuatu telah ditulis lebih dahulu sejak azali. Jadi doa dan pemenuhan doa bukan di atas ilmu Allah, tetapi keduanya telah dicatat di Lauh al-Mahfuzh menurut ketentuannya sebagaimana akan terjadi. Jadi Allah Mahatahu yang ghaib dan yang tampak.
﴿لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ﴾ [سبأ/ آية 3.]
“Tidak ada tersembunyi daripada-Nya sebesar zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi” (TQS Saba’ [34]: 3).]
b- Dinyatakan di Syarhu as-Sunnah karya Abu Muhammad al-Husain al-Baghawiy asy-Syafi’iy (w. 516 H):
[Telah memberitahu kami Abdul Wahid bin Ahmad al-Malihi …. Dari Abdullah bin Abi al-Ja’di dari Tsawban, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
«لا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلا الدُّعَاءُ»…
“Tidak ada yang bisa menolak al-qadar kecuali doa”. …
Saya katakan: Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, “bahwa kontinunya seseorang berdoa membuat baik baginya terjadinya al-qadha’, jadi seolah-olah doa menolaknya …”].
c- Dinyatakan di Mirqâtu al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh karya Abu al-Hasan Nuruddin al-Mula al-Harawi al-Qari (w. 1014 H):
[Sabda Rasul saw:
«لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاءُ»
“Tidak ada yang menolak al-qadha’ kecuai doa”.
Al-qadha’ adalah perkara yang telah ditetapkan … atau yang dimaksudkan penolakan al-qadha’ jika yang dimaksudkan adalah makna hakikatnya adalah memudahkannya dan mempermudah perkara tersebut sehingga seolah-olah tidak turun …].
Saya berharap di dalam jawaban ini ada kecukupan. Dan segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam.
16 Rabiul Awal 1441 H
13 November 2019 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/ideological-questions/63893.html