Nafsiyah
Motivasi Agung Mendakwahkan Kebenaran
Di antara amanah agung dari Allah SWT adalah dakwah:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sungguh Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS an-Nahl [16]: 125).
Kata kerja perintah ud’u dalam pembuka ayat ini menandai perintah agung dari Allah ’Azza wa Jalla kepada Rasulullah saw. yang berlaku pula bagi umatnya; menyeru manusia ke jalan Islam dengan pendekatan yang digariskan Islam itu sendiri, seruan agung yang diumpamakan (tasybîh) memberikan kehidupan (QS al-Anfâl [8]: 24). Cakupan objek dakwah menurut isyarat QS an-Nahl [16]: 125 pun umum dengan diringkasnya kata an-nâs (al-îjâz bi al-hadzf) dalam redaksi ud’u ilâ sabîli Rabbika (Abu as-Su’ud, Al-Irsyâd (V/151)), mencakup Muslim dan kafir (Al-Sa’di, Al-Taysîr [h. 452]).
Sebagaimana keragaman pendekatan dakwah yang diajarkan ayat ini, memperhatikan setiap kondisi objek dakwah sesuai prinsip balaghah: li kulli maqâm[in] maqâl[un] (untuk setiap kedudukan itu ada tutur kata sepadan). Disarikan dari uraian Al-Baidhawi dalam Anwâr at-Tanzîl (III/245) yakni:
Pertama: Objek dakwah yang mencari kebenaran (al-thâlibîn li al-haqâ’iq); maka bi al-hikmah, yakni dengan penjelasan yang terang-benderang bernas; al-Qur’an dan al-Sunnah.
Kedua: Objek dakwah yang tidak paham (’awâm al-ummah); maka bi al-maw’izhah al-hasanah, yakni dengan nasihat-nasihat yang menggugah keimanan dan akal sehatnya.
Ketiga: Objek dakwah yang mendebat kebenaran, membela kebatilan (mu’ânid al-da’wah); maka bi al-mujâdalah billati hiya ahsan yakni dengan meruntuhkan sandaran kebatilannya, lalu menjelaskan kebenaran kepada dirinya dengan sebaik-baiknya metode, berupa argumentasi diikuti sikap yang baik.
Visi ini sejalan dengan tugas Rasulullah saw yang diutus untuk seluruh umat manusia (kâffata li al-nâs) dalam QS Saba’ [34]: 28, tanpa memandang batas-batas keyakinan, wilayah dan warna kulit, yang meniscayakan visi persatuan kaum Muslim tanpa sekat-sekat ‘ashabiyyah (fanatisme buta), menebarkan rahmat bagi alam semesta (QS al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Hal ini menegaskan kebatilan mereka yang menstigma negatif dakwah syariah dan khilafah di negeri ini sebagai ajaran ideologi transnasional yang lalu distigma tertolak. Pasalnya, lafal kâffah menjadi petunjuk universalitas dakwah Islam. Lafal ini, sebagaimana diuraikan oleh Syaikh ’Atha bin Khalil dalam tafsirnya, berkonotasi sesuatu yang tak bisa dibagi-bagi ke dalam pecahan (mâni’ li ajzâ’ihi min al-tafarruq).
Kejelasan Visi Dakwah: Ilâ Sabîli Rabbika
Kalimat ud’u ilâ sabîli Rabbika dalam QS an-Nahl [16]: 125 mengandung perintah untuk menyeru manusia ke jalan Allah SWT. Menurut al-Hafizh ath-Thabari (w. 310 H) dalam Jâmi’ al-Bayân (XVII/321), al-Baidhawi dalam Anwâr at-Tanzîl (III/245), ayat itu berkonotasi (menyerukan) syariah yang Allah syariatkan bagi makhluk-Nya, yakni Dinul Islam. Kalimat ilâ sabîli Rabbika merupakan kiasan yang dipinjam al-Quran (al-isti’ârah) untuk menggambarkan jalan (al-tharîq) yang harus ditempuh seseorang tatkala ia meniti ajaran Islam (ittibâ’ sabîliLlâh), sebagaimana orang yang menempuh jalan kebatilan (sabîl al-thâghût) (lihat: Abu Hayyan, Al-Bahr al-Muhîth, III/721).
Lafal sabîl pun berbentuk mufrad (tunggal) mengisyaratkan jalan kebenaran itu hanya satu, tak berbilang. Ini membantah keyakinan kufur relativisme, pluralisme dengan syubhat menegasikan klaim satu jalan kebenaran Islam. Lafal sabîl pun ditautkan (bi al-idhâfah) pada frasa Rabbika yang merupakan bentuk ma’rifah bermakna spesifik, tidak bias dan tidak samar, yakni jalan Allah semata bukan selainnya, mengingat al-idhâfah termasuk jenis al-ma’ârif (lihat: Ibn Hisyam, Syarh Syudzûr al-Dzahab (h. 202); Khalid al-Azhari, Syarh at-Tashrîh (I/96)); memperjelas batasan (taqyîd) bahwa dakwah yang benar adalah dakwah kepada akidah Islam dan syariahnya, bukan kepada ajaran sesat menyesatkan semisal anti Khilafah:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian diperintahkan Allah agar kalian bertakwa (QS al-An’âm [6]: 153).
Rapuhnya Kebatilan, Kokohnya Kebenaran
Dalam QS an-Nahl di atas, Allah SWT memperjelas buah dari adanya dakwah; perbedaan antara mereka yang tersesat dan mereka yang meniti jalan-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
Sungguh Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pula yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS an-Nahl [16]: 125).
Allah SWT menegaskan informasi (khabar bi at-taukîd) tentang Diri-Nya (al-tafrîd li al-madh). Menariknya, dalam ayat ini mereka yang tersesat digambarkan dalam bentuk kata kerja lampau (al-fi’l al-mâdhi): dhalla yang terikat pada orientasi waktu. Sebaliknya, mereka yang meniti jalan petunjuk diungkapkan dalam bentuk kata benda (al-ism) lafal al-muhtadîn yang merupakan ism al-fâ’il (kata benda subjek) dari kata kerja ihtadâ (mengambil petunjuk). Ini berfaedah li al-tsubût wa al-istimrâr (tetap dan terus-menerus) (Al-Hafizh al-Suyuthi, Al-Itqân, IV/1324). Ini menunjukkan kesesatan jauh lebih rapuh daripada kebenaran yang sejalan dengan fitrahnya. Allah menciptakan hamba-hamba-Nya dengan sifat fitri yang lurus, namun menyimpang disebabkan tipudaya setan:
وَإِنِيّ خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ, وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
Sungguh Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan lurus seluruhnya dan sungguh setan-setan mendatangi mereka sehingga mereka berpaling dari agamanya (HR Muslim dan Ahmad).
Adapun kesesatan itu rapuh serapuh pijakannya, diserupakan oleh Allah (tasybîh) dengan pembuat rumah dari sarang laba-laba (Lihat: QS al-’Ankabût [29]: 41).
Kisah sahabat yang dikenal teguh memegang prinsip, Umar bin al-Khaththab r.a, misalnya, bisa luluh menerima kebenaran Islam, dan menjadi tokoh agung berjuluk al-fârûq.
Optimislah!
Ini merupakan motivasi untuk optimis mendakwahi makhluk-Nya meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan. Allah dalam QS an-Nahl [16]: 126-127 membimbing hamba-hamba-Nya menghada-pi tantangan para penentang dakwah, sekaligus mengingatkan mereka untuk bersabar atasnya. Ini mengandung dilâlah adanya kelaziman tantangan di jalan dakwah dan tuntunan untuk kokoh di atas kebenaran. Apalagi Allah meneguhkan keyakinan dengan motivasi indah:
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحۡسِنُونَ
Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS an-Nahl [16]: 128).
Ma’iyyatulLâh (kebersamaan dengan Allah) inilah yang senantiasa dihadirkan generasi as-salaf ash-shâlih tatkala mendakwahkan Islam di tengah berbagai kezaliman kaum kuffar dan munafik. Tiada yang menghentikan dakwah kecuali tibanya masa menuju keharibaan-Nya.
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]