Nafsiyah
Soal Jawab Ungkapan Al-Tijârah (Berniaga) dengan Allah (Kajian Ilmu Balaghah)
Soal
Assalamualaikum
Afwan, sedikit bertanya Ustadz.
Tijaaroh,
تِجَارَة = perdagangan, perniagaan, bisnis
~~~
Jika membuat kalimat:
Bertijaaroh dengan Allah Swt : yaitu dengan Iman/ilmu/amal sholih sesuai syara’.
Apakah kata tijaaroh tersebut boleh dimasukkan dalam kalimat motivasi seperti tersebutkah, Ustadz? (Peserta Bahasa Arab Online Ma’had Du’at al-Furqan)
Jawaban:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Hukumnya boleh, dengan konotasi majazi (kiasan), dalam ilmu balaghah termasuk bentuk isti’arah. Isti’arah itu lugasnya dalam ilmu balaghah yakni meminjam istilah karena ada irisan kesamaan; perniagaan seakan bermu’amalah dengan Allah untuk meraih pahala.
Istilah ini pun digunakan al-Qur’an baik dengan makna hakiki maupun majazi. Makna hakiki misalnya dalam QS. Al-Taubah [9]: 24. Sedangkan dengan makna majazi misalnya QS. Fâthir [35]: 29 dan QS. Al-Shaff [61]: 10, menggunakan bentuk isti’arah.
Isti’arah dengan istilah tijarah untuk menggambarkan upaya manusia ‘menukar’ amal shalihnya dengan pahala dari Allah pun menggambarkan istilah yang umumnya dicintai manusia; perniagaan dan meraih keuntungan sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Taubah [9]: 24.
Ini dalam ilmu balaghah merupakan diksi pilihan, al-iqtidha li ahwal al-mukhathabin, yakni sesuai keadaan orang yang diajak bicara dengan ungkapan yang sudah seharusnya menggiurkan mereka yang berakal.
Jawaban Lanjutan
Ungkapan menarik di balik kiasan isti’arah di balik kata tijârah dalam QS. Fâthir [35]: 29 dan QS. Al-Shaff [61]: 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ {٢٩}
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fâthir [35]: 29)
Dalam ayat yang agung ini, Allah memilih diksi kata tijârah (perniagaan), ia merupakan bentuk isti’ârah. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam kitab tafsirnya, al-Munir (juz ke-22, hlm. 258), menjelaskan balaghah ayat ini:
يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ استعارة، استعار التجارة للمعاملة مع الله لنيل ثوابه، وشبهها بالتجارة الدنيوية، وأيدها بقوله: لَنْ تَبُورَ
Kalimat (يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ) merupakan bentuk isti’ârah, yakni meminjam istilah al-tijârah (perniagaan) terhadap bentuk mu’amalah (interaksi) dengan Allah untuk meraih pahala dari-Nya, Allah menyerupakan mu’amalah ini dengan istilah al-tijârah al-dunyawiyyah (perniagaan duniawi), dan menguatkannya dengan kalimat firman-Nya: lan tabûr[a] (لَنْ تَبُورَ).
Kalimat lan tabûr[a] (لَنْ تَبُورَ), menurut Prof. Wahbah al-Zuhaili pun merupakan sifat (karakter) dari kata tijârah yang disebutkan dalam ayat ini (يَرْجُونَ تِجارَةً خبر إن. ولَنْ تَبُورَ صفة للتجارة), yakni perniagaan yang tidak akan pernah merugi.
Huruf lan itu pun berkonotasi menguatkan bentuk penafian, sebagaimana disebutkan Syaikh Mushthafa al-Ghalayayni dalam Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Lanjutan II
Ungkapan tijârah (perniagaan) dengan konotasi majâzi pun kita temukan dalam ayat lainnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ {١٠}
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?” (QS. Al-Shaff [61]: 10)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menyeru orang-orang beriman, seruan mulia dari Rabb Yang Maha Mulia, seruan mengandung pelajaran yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan untuk menarik perhatian dan dorongan untuk berpikir, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) menjelaskan bahwa bentuk pertanyaan ini dalam ilmu balaghah merupakan bentuk istifhâm li al-targhîb wa al-tasywîq {استفهام للترغيب والتشويق} mengandung targhîb (dorongan motivasi), dan tasywîq (penarik perhatian).
Dalam ilmu balaghah, faidah dari al-tasywiq ini adalah mengarahkan pihak yang diseru untuk tertarik pada suatu hal (وإنما يريد أن يوجه المخاطب ويشوقه إلى أمر من الأمور).[1]
Dalam buku Al-Balâghah untuk Universitas Islam Madinah diuraikan dengan menukil ayat di atas salah satu contohnya, bahwa ayat ini termasuk ayat-ayat mulia yang mengandung dorongan bagi pihak yang diseru dan tertarik untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, sehingga ia berpikir, tersibukkan dengannya, menantikannya dengan berbagai pendekatan dan penela’ahan, lalu tiba jawaban tersebut menimbulkan penerimaan yang baik dalam diri pihak yang diseru.[2] Di sisi lain, faidah dari bentuk pertanyaan ini adalah pengagungan terhadap persoalan (al-ta’zhim).[3]
Luar biasanya, jawabannya pun Allah jelaskan kemudian pada ayat selanjutnya:
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ {١١}
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Shaff [61]: 11)
Dalam ilmu balaghah, bentuk pertanyaan lalu jawaban ini termasuk bentuk al-ithnâb, bentuk al-îdhâh ba’da al-ibhâm {الإِيضاح بعد الإبهام}, yakni kejelasan setelah sebelumnya samar, sebagai metode pengajaran luar biasa yang menuntun hamba-Nya untuk memperhatikan dan berpikir. Benar apa yang disebutkan dalam buku al-Balâghah:
ففي الإبهام إثارة للمخاطب وتحريك لفكره، فيتطلع إلى إيضاح ما أبهم، وعندئذ يأتي الإيضاح، فيتقرر المعنى في ذهن المخاطب ويقع موقعه، وفي هذا تفخيم وتهويل للعذاب الذي حل بهم؛ لأنه ذُكر مرتين؛ مرة على طريق الإجمال والإبهام ومرة على طريق التفصيل والإيضاح، والشيء إذا ذُكر مرتين كان آكد في النفس وأشد تعلقًا والتصاقًا بالنفس
Kalimat tunjîkum min ’adzab[in] ’alîm[ (تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ), merupakan sifat dari kata tijârah yang dimaksud dalam ayat, sesuai kaidah bahasa arab:
الجمل بعد النكرات صفات
“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”
Kata ’alîm adalah sifat dari adzab tersebut, ia merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif) untuk menunjukkan adzab yang sangat pedih, mengandung penguatan luar biasa, Allâh al-Musta’ân.
Dimana perniagaan yang menyelamatkan dari adzab yang sangat pedih ini, bisa diraih dengan dua hal (QS. Al-Shaff [61]: 11):
Pertama, Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
Kedua, Berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwanya.
Luar biasanya, pada akhir ayat Allah Azza wa Jalla memuji perniagaan tersebut sebagai pilihan yang lebih baik bagi mereka yang mengetahui (ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ), berniaga dengan Allah ’Azza wa Jalla dengan iman dan amal shalih, termasuk pula aktivitas dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, yang dilakukan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya, meniti jalan Rasul-Nya –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.
وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا يحبه
والله أعلم بالصواب
WaLlâhu a’lam bi al-shawâb []
[1] Abdul Aziz Atiq, ‘Ilm al-Ma’ani, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, cet. I, 1430 H, hlm. 106.
[2] Tim Pakar Universitas Islam Madinah, Al-Balaghah II: Al-Ma’ani, Madinah: Universitas Islam Madinah, t.t., hlm. 391.
[3] Ibid.