Nafsiyah

Teguh di Atas Jalan Kebenaran

Kebenaran senantiasa berhadap-hadapan dengan kebatilan. Kondisi ini menuntut para pengemban kebenaran dari masa ke masa teguh menghadapi berbagai rintangan dari mereka yang terpedaya dunia, yang menjadikan kekuasaan semu sebagai tujun hidup mereka. Rasulullah saw. dan para sahabat, misalnya, menghadapi berbagai rintangan verbal dan fisik. Penolakan, pelarangan, stigma negatif, cacian, pemboikotan, penyiksaan hingga serangan ilmu hitam. Bagaimana sikap mereka? Tetap teguh menunaikan perintah-Nya:

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ

Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai (QS Ali Imran [4]: 103).

 

Ungkapan habluLlâh (tali Allah) merupakan kiasan (al-isti’ârah) dari Din Allah. Diksi ini menguatkan pengaruh dalam benak kaum Muslim bahwa Din Allah adalah sesuatu yang wajib dipegang teguh. Tak boleh dilepaskan barang sejenak. Tali inilah yang menuntun manusia keluar dari berbagai kegelapan menuju satu cahaya Allah (lihat: QS Ibrahim [14]: 1). Tatkala dilepaskan, ia akan terhempas ke dalam jurang kegelapan.

Menariknya, menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munîr (IV/32), salah satu bentuk berpegang teguh kepada Din Allah dalam ayat di atas ditunjukkan oleh ayat selanjutnya (QS. آli Imrân [3]: 104) yakni: mendakwahkan Din Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Keteguhan memperjuangkan kebenaran seperti inilah yang menjadi syarat turunnya pertolongan Allah. Allah pun berjanji meneguhkan kedudukan mereka yang menolong Din-Nya (QS Muhammad [47]: 7) dan menganugerahkan mereka Kekhilafahan (QS an-Nur [24]: 55). Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ  ٧

Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (Din) Allah, pasti  Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian (QS Muhammad [47]: 7).

 

Istimewanya, dalam kalimat ini Allah menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada Diri-Nya. Padahal Allah SWT Mahakuasa atas segala perkara. Tak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya. Menurut Abu Ja’far an-Nahhas (w. 338 H) dalam I’rab al-Qur’an (IV/119), ungkapan tersebut merupakan kiasan (majâz): yang disebutkan Allah, namun maksudnya menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya, syariah-Nya dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh). Hal ini ditegaskan pula Ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib (VIII/42).

Menolong DînuLlâh dan teguh di atas jalan ini pun merupakan wasiat para nabi dan rasul, Syaikh ’Atha bin Khalil dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 163-164) menjelaskan bahwa Nabi Ya’qub as. berwasiat kepada anak-anaknya agar mereka senantiasa berpegang teguh pada agama mereka, yang Allah pilihkan untuk mereka, dan agar mereka senantiasa berada dalam agama ini hingga diwafatkan Allah. Mereka dalam keadaan tunduk dan taat kepada-Nya. Tak pernah berpaling dari ketaatan kepada Allah. Tunduk dan menegakkan Islam karena mereka tak mengetahui kapan tibanya kematian.

Apa buah dari menolong Din-Nya? Terjawab dalam kalimat: “yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum” (pasti Allah menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian). Imam as-Sam’ani menafsirkan makna an-nashr minaLlâh (pertolongan dari Allah) yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari segala keburukan) dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa berada di atas kebenaran). Ini termasuk janji Allah bagi orang yang menolong Din-Nya (QS al-Hajj [22]: 40).

Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan (majâz mursal), yang dimaksud adalah keseluruhan diri orang yang Allah teguhkan (ithlâq al-juz’i wa irâdat al-kulli). Hal ini menguatkan rasa, menggambarkan keteguhan, yakni teguh dalam membela Islam; juga teguh dalam menghadapi berbagai tantangan, sebagaimana dialami para nabi dan rasul ’alayhim al-salâm.

 

Berpegang Teguh pada Sunnah Imâmah dalam Islam

Salah satu ajaran Islam bahkan termasuk ’ural Islam (ikatan-ikatan Islam) yang wajib dipegang teguh oleh kaum Muslim adalah sunnah dalam persoalan al-Imâmah (Kepemimpinan Khilafah). Hal ini telah digariskan oleh Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidun. Ia menjadi ikatan Islam yang pertama kali terurai. Abu Umamah al-Bahili ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَة تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيْهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ

Ikatan-ikatan Islam akan terurai satu per-satu. Setiap kali satu ikatan terurai, orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terurai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat (HR Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim).

 

Mengomentari hadis ini, ulama pakar ushul fikih dan ilmu syariah, Dr. Abdul Karim Zaidan dalam Ushûl al-Da’wah (hlm. 205) menegaskan: “Yang dimaksud al-hukm di sini adalah kekuasaan yang berjalan di atas landasan Islam. Terkandung di dalamnya dengan sejelas-jelasnya, eksistensi Khalifah yang menegakkan kekuasaan tersebut. Adapun yang dimaksud naqdhuhu, yakni kekosongan dan ketiadaan konsistensi padanya. Rasulullah saw. telah menyandingkan hilangnya institusi kekuasaan ini dengan hilangnya ikatan shalat, padahal shalat itu wajib. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan ini hukumnya wajib.”

Pada masa kini, tatkala kaum Muslim dihadapkan pada berbagai syubhat, berpegang teguh pada sunnah ini adalah kewajiban. ’Irbadh bin Sariyah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا  بِالنَّوَاجِذِ

Hendaklah kalian berdiri di atas sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan gigi geraham yang kuat (HR Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi).

 

Rasulullah saw. meminjam ungkapan (al-isti’ârah at-tamtsîliyyah) ’adhdhû ’alayhâ bi al-nawâjidz (gigitlah dengan gigi geraham yang kuat) untuk menggambarkan konsistensi berpegang teguh pada sunnah, yakni jalan hidup Rasulullah saw. dan Al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/126)). Lafal sunnah yang ditautkan (idhâfah) pada diksi al-khulafâ’ menunjukkan sunnah tersebut mencakup kepemimpinan politik. Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji dalam Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘Inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah (hlm. 51-52) menjelaskan: “Ini merupakan sunnah mereka—radhiyaLlâhu ’anhum—dalam menegakkan Kekhilafahan. Tidak ada sikap mengabaikan pengangkatan Khalifah. Karena itu wajib hukumnya meniti jalan mereka dalam perkara tersebut, berdasarkan perintah Nabi saw.

Apa sebabnya? Umar bin al-Khaththab ra. menggambarkan:

إِنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلاَمِ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْجَاهِلِيَّةَ

Sungguhnya ikatan Islam hanyalah terurai satu-persatu jika di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliah.

 

Berapa banyak orang yang terkungkung keyakinan dan pemahaman jahiliah dalam persoalan imâmah dan siyâsah? Karena itu sudah seharusnya kaum Muslim yang sadar, teguh merajut kembali ikatan Islam meskipun sulit bagaikan menggenggam bara api. Anas bin Malik ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ

Kelak akan datang suatu masa kepada manusia saat orang-orang yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka bagaikan orang yang menggenggam bara api (HR at-Tirmidzi).

 

Khatimah

Allah SWT mengajari kita untuk berdoa:

رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ  ٨

(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau. Sungguh Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS Ali Imran [3]: 8).

 

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; Penulis Buku “Jahiliyyah Menyikapi Musibah”]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close