Tanya Jawab
Soal Jawab: Pewarisan Dzawu al-Arham
بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan: Pewarisan Dzawu al-Arham
Kepada Yuce ulfa
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ba’da tahiyah, ya syaikhuna al-jalil, semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara Anda. Di dalam buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah dinyatakan pada bab “Harta Orang Yang Tidak Punya Pewaris” hal. 118 sebagai sebagai berikut, “Semua harta, baik harta bergerak atau tidak bergerak, yang pemiliknya meninggal dan tidak menjadi hak ahli waris secara fardhu dan tidak pula secara ashabah, misalnya seseorang mati dan tidak meninggalkan ahli waris baik isteri, anak-anak, bapak, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau ashabah, maka harta tersebut berpindah ke Baitul Mal secara waris.”
Pertanyaannya: apakah ini berarti bahwa Hizb mentabanni tidak adanya pewarisan dzawu al-arham ketika tidak ada dzawu al-furudh dan tidak ada ashabah? Artinya jika seseorang mati dan tidak ada ahli waris baik dzawu al-furudh maupun ashabah, akan tetapi ada dzawu al-arhamnya, pada kondisi ini apakah harta peninggalannya beralih ke Baitul Mal secara waris dan dzawu al-arhamnya tidak mendapat apa-apa dari harta peninggalannya? Jika demikian, bagaimana dengan hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Hunaif bahwa seseorang melempar seseorang yang lain dengan anak panah lalu hal itu membunuhnya, sementara ia tidak meninggalkan keluarga kecuali al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibunya), maka Abu Ubaidah menulis surat kepada Umar, dan Umar pun menulis surat balasan kepadanya: (Umar berkata: “sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
«اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لاَ مَوْلَى لَهُ وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لاَ وَارِثَ لَهُ» (رواه الترمذي والنسائي وابن ماحه وأحمد وابن حبان)
Allah dan Rasul-Nya adalah mawla orang yang tidak mempunyai mawla dan al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya ahli waris.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban)
At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih. Dan Ibnu Hibban juga menshahihkannya. At-Tirmidzi berkata: hadits hasan. Al-Miqdam bin Ma’di Yakrib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ تَرَكَ كَلاً فَإِلَيَّ (وَرُبَمَا قَالَ: إِلَى اللهِ وِإِلَى رَسُوْلِهِ) وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ وَأَنَا وَارِثٌ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ أَعْقِلُ لَهُ وَأَرِثُهُ وَالْخَالُ وَارِثٌ مَنْ لاَ وَارِثَ لَهُ يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِثُهُ» (رواه أحمد وأبو داود وابن ماحه والطحاوي وابن حبان والحاكم والبيحقي وابن الجارود)
“Siapa saja yang meninggalkan kallan maka kepadaku (dan mungkin beliau bersabda: kepada Allah dan kepada Rasul-Nya), dan siapa saja yang meningalkan harta maka untuk ahli warisnya, dan aku adalah ahli waris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya, sedangkan al-khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah ahli waris orang yang tidak punya ahli waris dan ia menanggungnya dan mewarisinya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, ath-Thahawiy, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu al-Jarud)
Dan Abu ‘Ashim meriwayatkan dari Ibnu Juraij dari Amru bin Muslim dari Thawus dari Aisyah r, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda:
«اَلْخَالُ وَارِثٌ مَنْ لاَ وَارِثً لَهُ» (رواه الترمذي والدارقطني)
Al-Khâl (paman yakni saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya ahli waris. (HR at-Tirmidzi dan ad-Daraquthni)
At-Tirmidzi berkata: hadits ii hasan shahih gharib. Hadits-hadits ini menetapkan bahwa al-khâl adalah mewarisi, padahal al-khâl itu termasuk dzawu al-arhâm. Atas dasar itu, maka hadits-hadits ini menunjukkan pewarisan dzawu al-arham. Wasi’ bin Hibban meriwayatkan, ia berkata: dan diriwayatkan dari Wasi’ bin Hibban ia berkata: Tsabit bin ad-Dahdah meninggal sementara ia tidak meninggalkan ahli waris dan tidak pula ashabah. Masalahnya pun disampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya tentangnya kepada ‘Ashim bin Adi apakah Tsabit meninggalkan seseorang. Maka Rasulullah saw menyerahkan hartanya kepada anak saudara perempuannya yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundzir. (As-Suyuthi berkata di Jâmi’ al-Hadîts: Sa’id bin Manshur dan sanadnya shahih). Dan diriwayatkan dari Wasi’ bin Hibban, ia berkata: Tsabit bin ad-Dahdah meninggal dan ia orang yang datang di Bani Unaif atau di Bani al-‘Ajlan, maka Nabi saw bersabda: “apakah dia punya ahli waris?“ Mereka tidak mendapati ahli waris untuknya. Wasi’ berkata: “maka Nabi saw menyerahkan harta warisnya kepada putera saudara perempuannya yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundzir (Mushannaf Abdu ar-Razaq).
Saya ucapkan terima kasih atas perhatian dan jawaban Anda ya Syaikhuna al-jalil, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik kepada Anda. Dan semoga Allah jadikan kemenangan dan peneguhan kekuasaan terealisasi melalui kedua tangan Anda, amin. Mohon maaf atas panjangnya pertanyaan.
Saudarimu Ummu Faqih Abdurrahman
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Sebelum menjawab pertanyaan, baik kami jelaskan hal berikut:
Orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan mayit dalam ilmu waris dibagi menjadi tiga golongan:
- Ashhabul furudh, yaitu mereka yang memiliki bagian yang telah ditetapkan di dalam pewarisan yang dinyatakan oleh syara’.
- Al-‘ashabah dan mereka tidak memiliki bagian yang telah ditentukan dari warisan akan tetapi syara’ menyatakan atas mereka dengan mengambil sisa dari harta waris.
- Dzawu al-arham dan mereka adalah seluruh kerabat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ‘ashabah. Dan mereka ada sepuluh golongan: al-khâl (saudara laki-laki ibu) dan al-Khâlah (saudara perempuan ibu), kakek dari ibu, putera anak perempuan, putera saudara perempuan, puteri anak laki-laki, putri paman dari bapak (saudara laki-laki bapak), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), paman ibu, putera saudara laki-laki seibu dan siapa yang bertaut kepada salah seorang dari mereka.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslim bahwa ashhabul furudh dan ashabah mewarisi karena dalil-dalil yang ada menyatakan hal itu dengan jelas. Ayat-ayat waris dan hadits-hadits shahih merupakan dalil-dalil yang jelas bahwa mereka mewarisi… Adapun dzawu al-arham maka di situ terjadi perbedaan pendapat dalam hal pewarisan mereka pada masa sahabat, tabi’un dan tabi’u at-tabi’un dan para fukaha setelah mereka…
Di antara sahabat yang mengatakan pewarisan mereka adalah Ibn Mas’ud, Ibn Abbas dalam riwayat yang paling masyhur dari beliau… Dan diantara tabi’un yang berpendapat demikian adalah Syuraih, al-Hasan al-Bashriy…
Dan di antara sahabat yang berpendapat tidak adanya pewarisan dzawu al-arham adalah Zaid bin Tsabit, Ibn Abbas dalam salah satu riwayat dari beliau… Dan di antara tabi’un adalah Sa’id bin al-Musayyab dan Sa’id bin Jubair…
Imam asy-Syafi’iy berpendapat bahwa tidak ada pewarisan untuk mereka dan bahwa Baitul Mal lebih utama dari mereka… Sementara Abu Hanifah berkata: dzawu al-arham lebih utama dari Baitul Mal…
Begitulah, jadi masalah tersebut bersifat khilafiyah. Dan saya menjawab pertanyaan Anda sesuai yang lebih rajih menurut kami:
- Benar, bahwa Hizb mentabanni pendapat yang mengatakan tidak adanya pewarisan dzawu al-arham ketika tidak ada ashhabul furudh dan ashabah. Hal itu tampak dari nas yang Anda nukilkan dari buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Dan yang lebih jelas ada di buku Nizham al-Ijtimâ’iy pada judul: Shilatu al-Arham” yaitu:
(Dan Islam telah menjadikan kerabat itu dua bagian: Pertama, kerabat yang bisa mewarisi seseorang jika ia meninggal. Kedua, ulu al-arham. Adapun orang-orang yang memiliki hak pewarisan maka mereka adalah ashhabul furudh dan ashabah. Adapun dzawu al-arham maka mereka adalah selain ashhabul furudh dan ashabah, dan mereka tidak punya bagian di dalam pewarisan dan mereka bukan pula ashabah. Mereka adalah sepuluh golongan: saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, kakek dari pihak ibu, putera anak perempuan, putera saudara perempuan, puteri saudara laki-laki, puteri saudara laki-laki bapak, saudara perempuan bapak, pamannya ibu, putera saudara laki-laki seibu dan siapa yang bertaut dengan salah seorang dari mereka. Dan mereka itu, Allah tidak menjadikan untuk mereka bagian dalam waris seseorang sama sekali.) selesai. Jadi kami mentabanni pendapat ini karena kerajihan dalil-dalil itu menurut kami.
- Maka jika seseorang mati dan tidak ada pewaris untuknya dari kalangan ashhabul furudh dan ashabah, maka warisannya menjadi hak Baitul Mal kaum Muslim. Artinya Baitul Mal kaum Muslim adalah pewarisnya. Dalil atas hal itu adalah:
- Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dan ia berkata: hadits shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak mentakhrijnya: dari Rasyid bin Sa’din dari Abu Amir al-Hawzani dari al-Miqdam al-Kindi ra. ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«أَنَا مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ أَرِثُ مَالَهُ…»
“Aku adalah mawla orang yang tidak punya mawla dan aku mewarisi hartanya …”
- Ibnu Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahih-nya dari Rasyid bin Sa’din dari Abi Amir al-Hawzani dari al-Miqdam dari Rasulullah saw beliau bersabda:
«مَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ، وَأَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ…»
“Siapa yang meninggalkan kallan (orang terlantar) maka kepada kami dan siapa yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya dan aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris…”
- Ibnu Majah telah mengeluarkan di dalam Sunan-nya dari Rasyid bin Sa’din dari Abu Amir al-Hawzani dari al-Miqdam asy-Syami ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«أَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، أَعْقِلُ عَنْهُ وَأَرِثُهُ…»
“Aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya …”
Hadits-hadits ini gamblang dan jelas dalalahnya bahwa seseorang jika ia mati dan tidak punya pewaris maka pewarisnya adalah Rasul saw. Sebab Rasul saw adalah wali orang-orang beriman seluruhnya dan mawla orang yang tidak punya mawla. Dan setelah beliau perwalian itu beralih kepada khalifah. Dan akhirnya Khalifah menjadi wali orang-orang yang beriman seluruhnya dan menjadi mawla orang yang tidak punya mawla, serta menjadi pewaris orang yang tidak punya pewaris. Dan pewarisan Khalifah itu bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Baitul Mal kaum Muslim. Dan dengan begitu warisan orang yang tidak punya pewaris beralih dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan negara dan diletakkan di Baitul Mal, di Diwan al-Fay’I dan al-Kharaj. Khalifah mentasharrufnya sesuai pandangannya dalam kemaslahatan-kemaslahatan kaum Muslim.
- Adapun kenapa Hizb mentabanni bahwa dzawu al-arham tidak mewarisi, maka hal itu sebab dalil-dalil waris dari al-Kitab dan as-Sunnah telah datang merinci dan menjelaskan hukum-hukum waris dan siapa yang berhak atasnya, dan mereka adalah:
- Ashhabul furudh. Diantara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah SWT:
﴿يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْن…﴾
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…. (TQS an-Nisa’[4]: 11)
- Dan ‘ashabah, di antara dalil ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra., ia berkata: Nabi saw bersabda:
«أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا، فَمَا بَقِيَ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ»
“Berikanlah faraidh kepada yang berhak (ashhabul furudh) dan apa yang tersisa maka untuk laki-laki yang paling utama.”
Yakni kepada pewaris yang terdekat dari kalangan ‘ashabah. Di dalam Fathu al-Bari dikatakan: (al-Khaththabi berkata: makna laki-laki terdekat dari kalangan ‘ashabah. Ibn Baththal berkata: yang dimaksud dengan laki-laki yang paling utama adalah bahwa laki-laki dari kalangan ‘ashabah setelah ahlu al-furudh jika di antara mereka adalah orang yang lebih dekat kepada si mayit maka ia berhak atas sisa, dan orang yang lebih jauh tidak. Jika sama dekatnya maka mereka berserikat… )
Tidak dinyatakan dalil yang menjadikan dzawu al-arham memiliki bagian dari harta waris. Nabi saw telah menegaskan makna ini di dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Umamah al-Bahili, ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda pada khutbah beliau pada tahun haji Wada’:
«إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»
“Sesungguhnya Allah SWT telah memberi setiap orang yang berhak haknya dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”
Hadits ini beliau ucapkan di dalam khutbah Haji Wada’, dan itu adalah yang terahir kali Nabi saw berbicara tentangnya sebelum beliau wafat, dan itu tentang topik waris. Dari situ jelas bahwa yang berhak atas harta waris adalah orang yang dijadikan oleh Allah SWT memiliki hak di dalam waris sesuai apa yang ada di kitabullah SWT dan apa yang ada di dalam sunnah Rasulullah saw. Mereka adalah ashhabul furudh dan ‘ashabah. Dan dzawu al-arham tidak masuk di dalamnya di mana Allah tidak menjadikan untuk mereka bagian dari harta waris.
- Adapun apa yang ada di dalam pertanyaan berupa riwayat-riwayat bahwa dzawu al-arham memiliki hak di dalam waris, maka itu tidak demikian halnya. Dan kami akan paparkan sebagai berikut:
- At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif ia berkata: Umar bin al-Khaththab menulis surat bersamaku kepada Abu Ubaidah: bahwa Rasulullah saw bersabda:
«اللَّهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ، وَالخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ»
“Allah dan Rasul-Nya adalah mawla orang yang tidak punya mawla dan al-khâl (saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris.”
Akan tetapi ada riwayat lain yang menjelaskan illat. Abu Dawud telah meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari al-Miqdam, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيَّ» وَرُبَّمَا قَالَ:«إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ، وَأَنَا وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، أَعْقِلُ لَهُ وَأَرِثُهُ، وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ، يَعْقِلُ عَنْهُ وَيَرِثُهُ
“Siapa saja yang meninggalkan kallan (orang terlantar) maka kepadaku” dan mungkin beliau bersabda: “kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan siapa saja yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya, dan aku adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, aku menanggungnya dan mewarisinya, dan al-khâl (saudara laki-laki ibu) adalah pewaris orang yang tidak punya pewaris, ia menanggungnya dan mewarisinya.”
Dengan menghimpun (mempertemukan) di antara dua hadits ini menjadi jelas bahwa al-khâl (saudara laki-laki ibu) yang dimaksud di sini adalah yang “menanggungnya –ya’qilu ‘anhu– yakni yang menjadi ‘âqilah-nya. (Dan al-‘âqilah mereka adalah ‘ashabah saja, sedangkan selain mereka dari saudara laki-laki ibu dan seluruh dzawu al-arham, suami dan semua orang selain ‘ashabah maka mereka bukan termasuk al-‘âqilah. Dan al-‘âqilah adalah ‘ashabah laki—laki. Mereka adalah saudara-saudara laki-lakinya, paman-pamannya dari pihak bapak dan anak-anak mereka dan seterusnya ke bawah… Dan mereka adalah orang-orang yang membayar diyat pembunuhan yang keliru (qatlu al-khatha’) dimana diyat itu hanya dibayar oleh al-‘âqilah saja. Dan ‘âqilah-nya seorang laki-laki adalah keluarganya: saudara-saudara laki-lakinya, paman-pamannya dari pihak bapak dan anak-anak paman itu hingga kakek ketiga…) Nizhâm al-‘Uqûbât bab siapa yang membayar diyat.
Atas dasar itu maka al-khâl (saudara laki-laki ibu) yang dimaksud di dalam hadits tersebut adalah yang termasuk ‘ashabah, sepertinya laki-laki itu menikahi puteri pamannya dari pihak bapak sehingga al-khâl dari anaknya adalah putera pamannya dari pihak bapak, yakni dia termasuk ‘ashabah dan bukan hanya dzawu al-arham saja. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa siapa yang mati dan tidak ada pewaris dari ashhabul furudh dan ia punya al-khâl diantara ‘ashabahnya maka al-khâl itu mewarisi, dan ‘ashabah mewarisi dalam kondisi ini tidak ada perbedaan pendapat tentangnya.
- Di dalam Sunan Sa’id bin Manshur dan di Kanzu al-‘Umal dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari saudara laki-laki bapaknya Wasi’ bin Hibban, ia berkata:
«توفى ثابت بن الدحداحة ولم يدع وارثا ولا عصبة فرفع شأنه إلى رسول الله ﷺ فسأل عنه عاصم بن عدىهل ترك من أحد فقال يا رسول الله ما ترك أحدا فدفع رسول الله ﷺ ماله إلى ابن أخته أبى لبابة بن عبد المنذر»
“Tsabit bin ad-Dahdah meninggal dan ia tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah, maka perkaranya disampaikan kepada Rasulullah saw. Lalu Beliau bertanya tentangnya kepada ‘Ashim bin Adi apakah ia meninggalkan seseorang, maka ‘Ashim berkata: ya Rasulullah ia tidak meninggalkan seorang pun. Maka Rasulullah saw menyerahkan hartanya kepada putera saudara perempuannya yakni Abu Lubabah bin Abdu al-Mundzir.”
As-Suyuthi berkata di Jâmi’ al-Hadîts: “sanadnya shahih”. Maka jelas dari riwayat ini bahwa Tsabit bin ad-Dahdah tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah, artinya ia tidak meninggalkan orang yang berhak untuk harta warisnya. Nabi saw menyerahkan hartanya kepada putera saudara perempuannya, bukan karena Beliau memberikannya sebagai hak dalam waris. Jadi itu adalah tasharruf Nabi saw sebagai seorang imam lalu beliau memberikan harta tersebut kepada putera saudara perempuannya dengan apa yang dijadikan menjadi milik beliau saw berupa hak tasharruf terhadap harta tersebut. Jadi hadits ini merupakan dalil bahwa dzawu al-arham bukan termasuk orang yang memiliki hak dalam waris dan bukan merupakan dalil bahwa mereka (dzawu al-arham) adalah mewarisi. Dan ini jelas di awal riwayat tersebut: “dan ia tidak meninggalkan pewaris dan tidak pula ‘ashabah.”
Hal itu ditegaskan, bahwa Rasul saw ditanya tentang waris saudara perempuan bapak (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibu (al-khâlah). Maka Beliau saw bersabda:
لاَ مِيْرَاثَ لَهُمَا»
“Tidak ada waris untuk keduanya”
Hadits tersebut lengkapnya: al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn dan ia berkata: “ini adalah hadits shahih sanadnya: dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw menghadap ke seekor keledai lalu seorang laki-laki menemui beliau, laki-laki itu berkata: “ya Rasulullah seorang laki-laki meninggalkan saudara perempuan bapaknya (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibunya (al-khâlah), tidak ada pewaris untuknya selain keduanya.” Ibu Umar berkata: “lalu Nabi saw mengangkat kepala beliau ke arah langit, lalu beliau bersabda: “ya Allah seorang laki-laki meninggalkan saudara perempuan bapaknya dan saudara perempuan ibunya dan tidak ada pewaris untuknya selain keduanya.” Kemudian beliau bertanya: “di mana orang yang bertanya tadi?” Orang itu berkata: “saya di sini.” Beliau bersabda: “tidak ada waris untuk keduanya.” Dan saudara perempuan bapak (al-‘ammah) dan saudara perempuan ibu (al-khâlah) termasuk ulu al-arham, meski demikian Rasul saw tidak menjadikan keduanya termasuk ahli waris.
- Akan tetapi, hadits Abu Lubabah menunjukkan bahwa si mayit jika tidak memiliki ahli waris dari kalangan ashhabul furudh dan tidak pula dari kalangan ‘ashabah maka khalifah memberikan dzawu al-arham dari harta peninggalan si mayit itu, semuanya atau sebagiannya. Jadi tidak merupakan kewajiban (fardhu) semua harta diletakkan di Baitul Mal jika si mayit punya dzawu al-arham. Ini tidak bertentangan dengan ucapan kami di al-Amwâl bahwa harta mayit menjadi hak Baitul Mal jika si mayit itu tidak punya ahli waris dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah. Hal itu karena khalifah adalah pihak yang berhak melakukan tasharruf terhadap harta-harta tersebut sesuai pandangannya yang termasuk kemaslahatan kaum Muslimin. Khalifah berhak memberikan harta peninggalan si mayit kepada kerabat (arham) si mayit itu jika tidak ada pewaris dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah. Jika tidak ada Baitul Mal kaum Muslim dikarenakan tidak adanya khalifah, maka harta si mayit yang tidak ada pewaris untuknya dari kalangan ashhabul furudh dan ‘ashabah itu, harta ini diserahkan kepada dzawu al-arham-nya. Mereka lebih berhak atas harta si mayit itu dari selain mereka ketika imam (khalifah) tidak ada.
Ini adalah yang lebih rajih dalam masalah pewarisan dzawu al-arham. Wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
20 Ramadhan 1436 H
7 Juli 2015 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_49161
https://www.facebook.com/Ata.abualrashtah/photos/a.154439224724163.1073741827.154433208058098/466907093477373/?type=1&theater