Tanya Jawab

SJ: Keadilan Syarat Untuk Khalifah, Hukuman di Dunia Menjadi Kafarah Dosa di Akhirat, Meminta Pertolongan Kepada Kaum Kafir

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

1. Al-‘Adalah (Keadilan) Syarat Untuk Khalifah

2. Hukuman di Dunia Menjadi Kafarah Dosa di Akhirat

3. Meminta Pertolongan Kepada Kaum Kafir

Kepada ‘Ubadah asy-Syami

 

Soal:

Syaikhuna al-jalil semoga Allah memberi pertolongan dan menguatkan Anda. As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

  1. Dinyatakan di ad-Dusiyah Izalatu al-Atribah tentang hukum penguasa yang merampas dan menguasai kekuasaan dengan paksa sebagai berikut: “Hukum orang yang merampas kekuasaan adalah bahwa orang yang merampas dengan senjata maka diperangi dengan perang terus menerus sampai ia menanggalkan (kekuasaannya) atau terbunuh”. Kita tahu bahwa di antara syarat khalifah adalah al-‘adalah (keadilan) dan bahwa orang yang membunuh, menumpahkan darah dan merampas kekuasaan dari umat, ia kehilangan keadilan. Apakah ada pertentangan antara apa yang sebelumnya dengan Jawab Soal berjudul “Thariqah Syar’iyah untuk menegakkan Khilafah dan masalah kekuasaan orang yang merampas dan menguasai”? Jika tidak terdapat kontradiksi apakah itu artinya kita punya pemahaman baru tentang kekuasaan orang yang merampas, yang menghapus pemahaman lama…? Saya mohon penjelasan.
  2. Kita saksikan hari ini penerapan hudud terhadap kaum Muslim oleh tanzhim Daulah. Apakah orang yang diterapkan padanya had syar’iy oleh tanzhim Daulah, atau oleh beberapa negara yang menerapkan sebagian hudud, dia (orang itu) telah bebas dari dosanya di hadapan Allah pada Hari Kiamat dan tidak dihisab atasnya…? Saya mohon penjelasan.
  3. Bolehkah daulah al-Khilafah yang akan datang dalam waktu dekat dengan izin Allah, mencari teman-teman dari negara-negara kafir dan berkoalisi dengan sebagian negara kufur meski merupakan negara muhariban fi’lan seperti Jerman misalnya dari sisi untuk mendapatkan kemaslahatan sehingga khilafah bisa melemahkan sebagian negara dan membebaskannya, ataukah bahwa perkara ini tidak boleh kecuali dengan negara muhariban hukman seperti Venezuela, dan apakah boleh menganalogikan kebolehan berkoalisi dengan negara muhariban fi’lan berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasul saw yang melakukan perdamaian dengan Quraisy yang merupakan negara muhariban fi’lan dalam perjanjian al-Hudaybiyah.

Barakallah fikum.

 

Jawab:

Terkait apa yang dinyatakan di ad-Dusiyah maka itu tidak berbeda dengan apa yang dinyatakan di dalam Jawab Soal. Tampak bahwa cetakan ad-Dusiyah milik Anda adalah cetakan lama, di dalamnya tidak ada masalah hukmu al-mutasallith. Sedangkan yang ada di tangan kami maka di dalamnya ada pembahasan kekuasaan (pemerintahan) orang yang menguasai paksa kekuasaan (hukmu al-mutasallith)

Demikian juga, hukum orang yang menguasai kekuasaan secara paksa (hukmu al-mutasallith) ada di Nizhâm al-Hukmi halaman 58…

Begitulah, tidak ada kontradiksi antara apa yang ada di Jawab Soal dengan apa yang ada di ad-Dusiyah.

Adapun bahwa keadilan (al-‘adalah) merupakan syarat dalam khalifah maka itu benar. Dan as-sulthân al-mutaghalib (kekuasaan orang yang menguasai kekuasaan secara paksa) dia tidak dibaiat kecuali setelah dia bertobat dan perkaranya menjadi baik dan masyarakat yakin atas kebaikannya dan membaiat dia. Artinya, keadilan terealisir padanya sebelum baiat. Seperti yang Anda ketahui bahwa orang yang bertobat dan menjadi baik dan kembali dari perbuatan buruknya dan menjadi adil maka ia menjadi orang yang ‘adil dan keadilan (al-‘adalah) telah terealisasi padanya. Tampak bahwa kerancuan terjadi pada Anda sehingga Anda menduga bahwa ia dibaiat bersamaan dengan penguasaan paksanya dan kezalimannya, lalu Anda katakan bahwa ia dibaiat padahal dia tidak adil? Akan tetapi masalahnya tidak begitu. Dia tidak boleh dibaiat sebagai khalifah kecuali jika ia bertobat dan menjadi baik serta masyarakat yakin akan keadilannya sehingga keadilan dalam hal itu terealisasi kemudian masyarakat membaiatnya.

Saya berharap perkara itu telah menjadi jelas.

  1. Penerapan hukuman akan menjadi kafarah dosa jika hal itu dari negara yang memutuskan hukum dengan syariah Allah. Kami telah menjawab pertanyaan ini pada tanggal 22/01/2014 dan saya ulangi teksnya untuk Anda:

“Sedangkan pertanyaan lain: apakah sanksi hukuman menjadi kafarah dosa pada hari kiamat? Ini benar jika sanksi hukuman itu syar’iy dari daulah islamiyah, yakni dari negara yang memutuskan perkara dengan syariah Allah, bukan memutuskan perkara dengan undang-undang positif (buatan manusia). Detilnya adalah:

Imam Muslim telah mengeluarkan dari Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “kami bersama Rasulullah saw dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda:

«تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا، وَلَا تَزْنُوا، وَلَا تَسْرِقُوا، وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ»

Kalian membaiat aku atas bahwa kalian tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, maka siapa saja diantara kalian yang memenuhinya, pahalanya menjadi tanggungan Allah, dan siapa saja dari kalian yang melanggar sesuatu dari itu lalu dihukum maka itu merupakan kafârah (penebus dosa) baginya, dan siapa yang melanggar dan Allah menutupinya, maka perkaranya kembali kepada Allah jika Dia berkehendak, Dia maafkan, dan jika Dia berkehendak Dia mengazabnya.

Jadi hadits ini menjelaskan bahwa siapa saja yang dihukum di dunia maka hukumannya itu menjadi kafârah (penebus) baginya pada Hari Kiamat kelak sehingga ia tidak akan disiksa atas dosa itu pada Hari Kiamat kelak. Dan jelas dari hadits ini bahwa hukuman yang menebus dosa itu adalah hukuman daulah islamiyah yang di dalamnya seorang khalifah dibaiat untuk memutuskan perkara dengan Islam. Hadits Rasul saw tersebut dimulai dengan “tubâyi’ûnîkalian membaiatku- … maka siapa saja yang memenuhinya, pahalanya menjadi tanggungan Allah, dan siapa yang melanggar sesuatu dari hal itu lalu dihukum maka itu menjadi kafarah (penebus) baginya.” Jadi hukuman yang menjadi penebus itu bergantung pada baiat, dan baiat adalah untuk penguasa yang memutuskan perkara dengan Islam. Atas dasar itu maka hukuman dunia yang menjadi penebus dosa di akhirat adalah hukuman daulah yang memutuskan perkara dengan Islam. Wallâh a’lam,” selesai.

  1. Pertanyaan Anda tentang koalisi dengan negara-negara kafir dengan makna meminta pertolongan mereka … sesungguhnya secara syar’i hal itu tidak boleh:

Hal itu dijelaskan di dalam asy-Syakhshiyyah juz II bab “al-isti’ânah bi al-kuffâr –meminta pertolongan kepada kaum kafir-“, dinyatakan di situ:

“Adapun dalil bahwa tidak boleh meminta pertolongan kepada kaum kafir dalam perang dalam sifat mereka sebagai negara independen, adalah karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasai dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَسْتَضِيْئُوْا بِنَارِ الْمُشْرِكِيْنَ»

“Jangan kalian meminta cahaya dengan api kaum musyrik”.

Dan nâr al-qawm merupakan kiasan dari entitas mereka dalam perang seperti kabilah independen atau seperti negara. Al-Baihaqi berkata: shahih apa yang diberitahukan kepada kami oleh al-Hafizh Abu Abdillah Fasaq dengan sanadnya kepada Abu Humaid as-Sa’idi, ia berkata:

«خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ حَتَّى إِذَا خَلَّفَ ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ إِذَا كَتِيْبَةٌ قَالَ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالُوْا بَنِيْ قَيْنُقَاعِ وَهُوَ رَهْطُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمَ قَالَ: وَأَسْلَمُوْا؟ قَالُوْا: لاَ، بَلْ هُمْ عَلَى دِيْنِهِمْ، قَالَ: قُوْلُوْا لَهُمْ فَلْيَرْجِعُوْا، فَإِنَّا لاَ نَسْتَعِيْنُ بِالْمُشْرِكِيْنَ»

“Rasulullah saw keluar hingga ketika meninggalkan Tsaniyata al-Wada’i ada satu detasemen. Rasul bertanya: “siapa mereka?” Mereka berkata: “Bani Qainuqa’ dan itu adalah kelompok Abdullah bin Salam”. Rasul bertanya: “Mereka telah masuk Islam?” Mereka berkata: “tidak, tetapi mereka masih di atas agama mereka”. Rasul bersabda: “katakan kepada mereka agar kembali, karena sesungguhnya kita tidak boleh meminta pertolongan kepada kaum musyrik”.

 

Rasul saw menolak kelompok Abdullah bin Salam dari Bani Qainuqa’ karena mereka datang sebagai satu kelompok yang bersatu dalam satu detasemen kafir, dan mereka datang di bawah rayah mereka yang berasal dari Bani Qainuqa’ yang diantara mereka dengan Rasul saw ada perjanjian, dan itu sebagai sebuah negara. Karena itu Rasul menolak mereka. Penolakan terhadap mereka karena keberadaan mereka yang datang di bawah rayah mereka dan dalam negara mereka. Hal itu karena bukti penerimaan Rasul saw meminta pertolongan dengan orang Yahudi di Khaybar ketika mereka datang sebagai individu. Hadits Abu Humaid mengandung ‘illat syar’iyyah, jika ‘illat itu ada maka hukum itu ada, dan jika ‘illat itu tidak ada maka hukum itu tidak ada. ‘Illat dalam hadits itu tampak dalam teks hadits, karena Rasul saw bersabda:

إِذَا كَتِيْبَةٌ قَالَ: مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالُوْا بَنِيْ قَيْنُقَاعِ وَهُوَ رَهْطُ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَلاَمَ

Ada satu detasemen. Rasul bertanya: “siapa mereka?” Mereka berkata: “Bani Qainuqa’ dan itu adalah kelompok Abdullah bin Salam”.

 

Makna keberadaan mereka sebagai satu detasemen bahwa mereka itu merupakan pasukan yang memiliki rayah independen, sebab setiap detasemen memiliki rayah. Maka jadilah keberadaan mereka sebagai satu detasemen kafir yang memiliki rayah independen, dan berasal dari Bani Qainuqa’ Yahudi yang berposisi sebagai sebuah negara, yang diantara mereka dengan Rasul ada perjanjian, itu adalah ‘illat penolakan mereka, bukan hanya keberadaan mereka sebagai kafir saja. Dalilnya adalah bahwa Rasul menyuruh mereka agar kembali berdasarkan hal itu, dan atas penolakan mereka atas Islam, bukan atas penolakan mereka terhadap Islam saja. Hal itu dikuatkan oleh hadits Anas:

«لاَ تَسْتَضِيْئُوْا بِنَارِ الْمُشْرِكِيْنَ»

“Jangan kalian meminta cahaya dengan api kaum musyrik”.

Maka itu dikenakan pada entitas sebagaimana dikuatkan oleh penerimaan Rasul saw meminta pertolongan kepada Quzman dalam peperangan yang sama yaitu perang Uhud padahal dia seorang musyrik. Makna hal itu adalah penolakan meminta pertolongan kepada orang kafir dalam sifatnya sebagai satu entitas. Sedangkan penerimaan beliau meminta pertolongan kepada orang kafir itu dalam sifat orang kafir itu sebagai individu. Berdasarkan hal ini maka meminta pertolongan kepada kaum kafir seperti satu kelompok kafir, atau kabilah kafir, atau negara kafir dan di bawah rayah mereka, dan sebagai satu bagian dari negara mereka, adalah tidak boleh dari aspek manapun. Adapun keberadaan Khuza’ah yang keluar bersama Nabi saw melawan Quraisy pada tahun Fathu Mekah sementara Khuza’ah adalah kabilah independen maka itu tidak menunjukkan bolehnya meminta pertolongan kepada kelompok yang memiliki entitas independen. Hal itu bahwa Khuza’ah pada tahun Hudaibiyah hadir ketika dituliskan perjanjian damai antara Quraisy dan kaum Muslim. Dan ketika dinyatakan di dalam perjanjian itu teks:

«وَإِنَّهُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِيْ عَقْدِ مُحَمَّدٍ وَعَهْدِهِ دَخَلَ فِيْهِ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِيْ عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهِمْ دَخَلَ فِيْهِ» رواه أحمد

“Dan bahwa siapa yang suka untuk masuk ke perjanjian dan piagam Muhammad ia boleh masuk di dalamnya, dan siapa saja yang suka untuk masuk ke dalam perjanjian dan piagam Quraisy, dia boleh masuk di dalamnya” (HR Ahmad).

Berdasarkan teks tersebut, Khuza’ah berdiri dan berkata: “Kami di dalam perjanjian dan piagam Muhammad” sedangkan Bani Bakar berdiri dan berkata: “kami di dalam perjanjian dan piagam Quraisy”. Maka jadilah Khuza’ah bersama kaum Muslim dalam perjanjian yang terjadi antara Quraisy dan kaum Muslim. Dan Rasul saw memasukkan Khuza’ah dalam perlindungan beliau sebagai satu jamaah dari negara beliau sesuai perjanjian tersebut. Karena itu, Khuza’ah berperang sebagai satu kabilah di bawah rayah kaum Muslim dan sebagai bagian dari Daulah Islamiyah, bukan sebagai satu kelompok independen. Maka mereka itu menjadi seperti individu, bukan seperti entitas. Adapun yang dianggap bahwa diantara Khuza’ah dan Rasul ada koalisi atau perjanjian maka itu tidak benar. Perjanjian itu adalah antara Rasul saw dengan Quraisy bukan antara Rasul saw dengan Khuza’ah…”

Atas dasar itu maka tidak boleh berkoalisi dengan suatu negara kafir atau meminta pertolongan mereka, Dan boleh bagi orang kafir dari kalangan ahlu dzimmah yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah menjadi bagian dalam pasukan Daulah Islamiyah.

  1. Demikian juga ini dijelaskan di Pasal 190 Muqaddimah ad-Dustûr, berikut teksnya:

(Pasal 190 – Dilarang tegas adanya perjanjian militer, dan yang sejenisnya, atau yang dikaitkan dengannya seperti perjanjian politik, kesepakatan penyewaan pangkalan dan bandara. Boleh mengikat perjanjian bertetangga baik, atau perjanjian ekonomi, perdagangan, keuangan, kebudayaan dan perjanjian gencatan senjata”, selesai.

Di dalam penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:

“Definisi perjanjian adalah bahwa itu merupakan kesepakatan yang diikat oleh negara-negara diantara mereka dengan tujuan mengatur hubungan tertentu, pembatasan kaedah-kaedah dan syarat-syarat yang hubungan itu tunduk padanya. Para fukaha kaum Muslim menyebutnya al-muwâda’ât… Hanya saja untuk keabsahan diikatnya perjanjian itu disyaratkan topik yang diperjanjikan telah dibolehkan oleh syara’, seperti pasalnya sudah tertentu, disamping hukum-hukum syara’ lainnya yang berhubungan. Dan perjanjian itu ada berbagai jenis…

Adapun perjanjian militer maka itu adalah haram dikarenakan sabda Rasul saw:

«لاَ تَسْتَضِيْئُوْا بِنَارِ الْمُشْرِكِيْنَ»

“Jangan kalian meminta cahaya dengan api kaum musyrik” (HR Ahmada dan an-Nasai).

 

Nâr al-qawm adalah kiasan dari entitas mereka di dalam perang. Juga karena sabda Rasul saw:

فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ». رواه مسلم عن عائشة رضي الله عنها

“Karena aku tidak akan meminta pertolongan orang musyrik” (HR Muslim dari Aisyah ra).

 

Dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah ra:

«إِنَّا لا نَسْتَعِينُ بِمُشْرِكٍ»

“Sesungguhnya kita tidak boleh meminta pertolongan orang musyrik”.

 

Dan sabda Rasul saw:

«لاَ نَسْتَعِينُ بِالْكُفَّارِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ» رواه ابن أبي شيبة عن سعيد بن المنذر…

“Kita tidak meminta pertolongan kepada kaum kafir melawan kaum Musyrik” (HR Ibnu Abiy Syabah dari Sa’id bi al-Mundzir)…

 

Atas dasar itu, maka diharamkan meminta pertolongan kaum musyrik sebagai satu negara atau berkoalisi dengan mereka, dan hal itu sesuai dalil-dalil yang telah dijelaskan di atas.

  1. Adapun topik perjanjian damai Hudaibiyah antara Rasul saw dan Quraisy, maka itu bukanlah koalisi sebab koalisi itu berarti berperang bersama dan perkara semacam itu … Melainkan, yang terjadi adalah perjanjian damai (gencatan senjata) untuk jangka waktu tertentu antara Rasul saw dengan kaum kafir atas tanah mereka sebelum ditaklukkan. Adapun jika seluruh entitas mereka ada di wilayah yang mereka taklukkan dari kaum Muslim maka tidak boleh diikat suatu kesepakatan dengan mereka sebab itu berarti pengakuan atas pendudukan mereka terhadap wilayah kita dan ini haram secara syar’i. Ini berlaku pada entitas Yahudi yang eksis semuanya di wilayah yang dahulu ditaklukkan oleh kaum Muslim. Jadi tidak boleh mengikat koalisi apapun dengan mereka. Hal ini disebutkan di Pasal 189 di ayat ke-4 sebagai berikut:

“Pasal 189: hubungan negara dengan negara lain yang ada di dunia dibangun berdasarkan empat penilaian:

… …

Keempat: dawlah muharibah fi’lan (seperti Israel) wajib kita ambil dengannya kondisi perang sebagai asas untuk semua tindakan, dan diperlakukan seolah-olah kita dan negara tersebut sedang dalam kondisi perang riil, baik diantara kita dengan negara itu ada gencatan senjata ataupun tidak. Seluruh rakyatnya dilarang masuk ke negeri kita” selesai.

Di dalam penjelasannya dinyatakan sebagai berikut:

“… tidak boleh ada perdamaian permanen dengan negara-negara muharibah fi’lan ini, yakni penghentian perang secara permanen atau gencatan senjata permanen, sebab ini menelantarkan jihad, padahal jihad itu terus berlangsung hingga Hari Kiamat, seperti halnya bahwa gencatan senjata permanen itu juga menghalangi penyebaran Islam sampai Allah memenangkan Islam atas seluruh agama. Allah SWT berfirman:

﴿وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ﴾ [الأنفال 39],/p>

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (TQS al-Anfal [8]: 39).

Rasul saw bersabda:

«وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ» أخرجه أبو داود من طريق أنس رضي الله عنه.

“Jihad itu terus berlangsung sejak Allah mengutusku sampai umatku yang terakhir memerangi Dajjal” (HR Abu Dawud dari jalur Anas ra).

 

Adapun tentang perdamaian temporer dengan negara-negara ini, dan penghentian sementara kondisi perang, maka harus dilihat:

– Jika negara tersebut termasuk negara yang antara kita dengan negara itu sedang berlangsung perang riil, negara itu memiliki tanah (wilayah) tidak islami yang entitasnya tegak di atas tanah (wilayah) itu, maka perdamaian dengan negara itu boleh dengan bentuk gencatan senjata sementara, yakni penghentian kondisi perang dengan negara itu dalam jangka waktu temporer, jika penghentian itu ada kemaslahatan untuk Islam dan kaum Muslim, dengan syarat hal itu disetujui oleh syara’.

Dalilnya adalah perdamaian Hudaibiyah. Perdamaian Hudaibiyah itu adalah antara Dawlah Islamiyah yang didirikan oleh Rasul saw di Madinah dengan negara Quraisy yang entitasnya tegak di atas wilayah yang belum dibebaskan oleh Islam sama sekali, yakni belum menjadi wilayah islami.

– Adapun jika negara yang antara kita dengan negara itu sedang berlangsung perang riil, dan entitas negara itu tegak di atas tanah (wilayah) islami, yakni negara itu bukan menggabungkan wilayah yang belum dibebaskan oleh kaum Muslim sama sekali, seperti Israel, negara Yahudi pencaplok Palestina, maka tidak boleh ada perdamaian dengannya. Sebab tegaknya negara ini adalah batil secara syar’i. Dan karena perdamaian dengannya berarti memberikan konsesi kepada negara itu atas tanah (wilayah) islami dan pasti begitu. Dan ini adalah haram dan merupakan kejahatan dalam Islam. Akan tetapi wajib dilanjutkan kondisi perang riil dengan negara itu, baik apakah ada gencatan senjata yang diikat dengannya oleh para penguasa tidak syar’iy di negeri kaum muslim atau tidak ada.

Begitulah, perdamaian dengan negara Yahudi meski hanya terhadap sejengkal tanah saja adalah haram secara syar’i sebab Yahudi adalah negara yang mencaplok dan menyerang, dan entitasnya semuanya tegak di atas tanah islami, dan perdamaian denganya berarti memberinya konsesi atas tanah islami dan memberinya kemungkinan untuk memiliki tanah islami itu dan menguasai kaum Muslim di wilayah itu, dan ini secara syar’i tidak boleh. Islam mengharuskan kepada kaum Muslim seluruhnya untuk memeranginya, sehingga pasukan kaum Muslim harus dimobilisasi untuk berperang dan orang-orang yang mampu berperang dihimpun sebagai tentara di dalam pasukan kaum Muslim itu. Hal itu harus terus berlangsung sampai berhasil menghancurkan negara Yahudi dan membebaskan negeri kaum Muslim dari negara Yahudi itu. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا﴾ [النساء: 141]

“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman” (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Allah SWT juga berfirman:

﴿فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُم﴾ [البقرة 194]

“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (TQS al-Baqarah [2]: 194).

Allah SWT juga berfirman:

﴿وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ﴾ [البقرة 191]

“dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu …“ (TQS al-Baqarah [2]: 191).

Selesai.

Begitulah, perdamaian Hudaibiyah bukanlah merupakan koalisi, melainkan merupakan gencatan senjata temporer antara Dawlah Islamiyah dengan entitas Quraisy yang tegak di atas wilayah mereka sebelum dibebaskan. Dan itu diberlakukan pada bolehnya dilakukan gencatan senjata antara Dawlah Islamiyah dengan suatu negara kafir yang entitasnya tegak di atas wilayahnya, baik apakah semua entitasnya atau sebagiannya, dengan syarat gencatan senjata itu bersifat temporer dan untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Adapun jika entitas negara kafir itu tegak semuanya di atas wilayah islami maka tidak boleh dilakukan perdamaian apapun dengan mereka sesuai apa yang telah dijelaskan di atas.

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

26 Rajab 1438 H

23 April 2017 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/43718.html#sthash.0Aw1gKFo.dpuf

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/619392194924522/?type=3&theater

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close