Oleh: Yuana Ryan Tresna
Sebagaimana diberitakan, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas berbicara mengenai moderasi beragama dan mengambil contoh masih adanya hukum Islam atau fikih yang tidak menyesuaikan perkembangan zaman saat ini. Yaqut mengatakan semestinya fikih menyesuaikan zaman. Dalam acara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) itu, Yaqut mengutip sebuah ayat dalam Injil Matius yakni ayat Matius Injil 22 ayat 37-40.
(https://news.detik[dot]com/berita/d-5347652/soal-moderasi-beragama-menag-kutip-injil-dan-bicara-rekontekstualisasi-fikih)
Apa yang dikatakan Yaqut adalah bentuk “inferior” secara intelektual di hadapan pemeluk agama lain. Kampanye moderasi beragama hakikatnya adalah usaha agar Islam tidak tampil sebagai kekuatan nyata dalam memberikan solusi bagi segenap permasalahan umat manusia. Yaqut juga tidak membedakan antara adaptasi Islam terhadap perkembangan zaman dalam menghukumi fakta yang ada, dengan kentundukkan fikih Islam terhadap fakta. Rupanya yang selama ini dikampanyekan adalah yang kedua, yaknia bagaimana menjadikan fikih Islam tidak berdaya sebagai solusi. Fikih Islam dipaksa tunduk pada realitas yang rusak.
Dengan nada yang bersalah, Menag menilai bahwa fikih Islam banyak yang tidak relevan dengan perkembangan zaman karena fikih sendiri adalah produk di era perang salib yang sangat dipengaruhi situasi dan kondisi kala itu. Yakut mengatakan, “Kita tahu di abad pertengahan, ada Perang Salib di antara dua keyakinan berbeda. Hukum Islam yang ada sekarang, sebagian besar dikonstruksi atau dibuat pada masa-masa seperti itu, sehingga tidak heran dalam agama saya, dalam Islam, masih banyak hukum agama yang sebenarnya tidak kompatibel dengan situasi sekarang”. (https://news.detik[dot]com/)
Pernyataan tersebut bisa dibaca sebagai ekspresi rasa malu, rendah diri dan tak berdaya. Pernyataan tersebut juga cacat secara substansi. Sebelum menjelaskan sejarah kodifikasi fikih Islam, penting untuk kita simak ungkapan Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah (hlm.7). Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan,
فلو أنّ المسلمين ( اليوم ) عملوا بأحكام الفقه والدين كما كان آباؤهم لكانوا أرقى الأمم وأسعد الناس!
“Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.”
Fikih itu sudah ada sejak zaman shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan kodifikasinya dilakukan pada zaman setelahnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu ta’ala mengatakan,
فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِينُ الْحَدِيثِ ثُمَّ تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ ثُمَّ تَدْوِينُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ الْمُوَلَّدَةِ عَنِ الرَّأْيِ الْمَحْضِ ثُمَّ تَدْوِينُ مَا يَتَعَلَّقُ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَأَنْكَرَهُ عُمَرُ وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَةٌ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ كَالشَّعْبِيِّ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَنْكَرَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَطَائِفَةٌ يَسِيرَةٌ وَكَذَا اشْتَدَّ إِنْكَارُ أَحْمَدَ لِلَّذِي بَعْدَهُ
“Termasuk di antara perkara-perkara yang baru muncul adalah: 1) Kodifikasi (pembukuan) hadits; 2) Kodifikasi tafsir al-Quran; 3) Kodifikasi masalah-masalah fiqih yang lahir dari pemikiran semata; 4) Kodifikasi perkara-perkara yang berkaitan dengan hati (tazkiyah al-nafs).
Poin pertama, awalnya ditolak oleh Umar (bin Khaththab), Abu Musa dan sejumlah shahabat lainnya. Tapi sebagian besar membolehkan. Poin kedua dulu ditolak oleh sejumlah ulama Tabi’in seperti al-Sya’bi. Poin ketiga, dulu ditolak oleh Imam Ahmad dan sebagian kecil ulama lainnya. Begitu juga poin-poin setelahnya sangat ditolak oleh Imam Ahmad.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 13/253).
Semua perkara di atas muncul setelah zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya baik, justru perkara-perkara di atas sangat diperlukan oleh umat Islam yang hidup belakangan.
Fikih berkembang di era tabi’in, lalu tabi’ tabi’in, lalu generasi setelahnya. Bahkan dikodifikasi dalam kitab-kitab karya para imam madzhab. Sanad ilmu fikih empat Imam Madzhab adalah dari tabi’in dan dari shababat radhiallahu ‘anhum.
Sanad fikih Islam dari Madinah bersumber dari Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar, lalu kepada Nafi, Salim, al-Zuhri, Malik, al-Syafi’i dan Ahmad.
Sanad fikih Islam dari Makkah bersumber dari Ibnu Abbas, lalu kepada Amr bin Dinar, Sufyan bin Uyainah, al-Syafi’i dan Ahmad.
Sanad fikih Islam dari Irak bersumber dari Ibnu Mas’ud, lalu kepada Alqamah, Ibrahim, Hamad, Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, Malik dan al-Syafi’i.
Jadi sebuah kekeliruan yang sangat fatal jika dikatakan jika fikih klasik adalah produk dari era perang salib. Fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ia sudah berkembang dan dikodifikasi (ditadwin) jauh sebelum Perang Salib.
Topik-topik fikih tersebut termasuk konsep pemerintahan/imamah, jihad dan futuhat, konsep al-dar (darul Islam/hijrah, darul kufr/harb), ghanimah, fai’, jizyah, kharaj, dll. Namun hari ini, topik-topik tersebut belum mendapat tempat. Bahkan dicurigai. Ditambah lagi sikap rendah diri sebagian intelektual muslim telah mengantarkan pada gagasan moderasi beragama yang banyak diarahkan pada Islam. Fikih Islam dianggap sebagai inspirasi lahirnya radikalisme dan ekstrimisme.
In sya Allah umat akan makin penasaran dengan kekayaan khazanah fikihnya yang luar biasa. []