Tsaqofah
Menyingkap Makar Kafir Penjajah
Kasyful-khuththat adalah aktivitas penting dalam dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Apa pengertiannya? Apakah aktivitas ini memiliki sandaran dalil dan pernah dicontohkan Nabi saw.? Apa tujuan aktivitas ini dan bagaimana merealisasikan aktivitas ini dalam dakwah saat ini? Apa konsekuensi dari aktivitas ini. Apa yang mesti disiapkan bagi kelompok dakwah dan pengembannya untuk tetap istiqamah dalam dakwah dan mereliasasi tujuannya? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga bermanfaat.
Pengertian Kasyful–Khuththat
Kasyful khuthat adalah bentukan dari dua kata yang memiliki satu makna (tarkîb idhâfi). Tersusun dari kata kasyfu dan al-khuththath (jamak dari kata khuththah). Secara bahasa kasyf maknanya adalah menyingkap sesuatu yang tertutup atau tersembunyi. Adapun khuththah dapat dimaknai dengan perkara atau strategi yang digariskan.
Dalam kamus Al-‘Uqâb disebutkan bahwa al-kasyf maknanya adalah menyingkap perkara yang diduga akan menyebabkan umat terjatuh pada bahaya dan keburukan. Perkara ini bisa jadi berkaitan dengan konspirasi/makar jahat, tindakan atau seseorang (Lihat: Kamus Al-‘Uqâb pada kata: al-kasyf).
Kasyful-khuththat merupakan aktivitas yang menonjol pada fase tafâ’ul ma’al ummah (interaksi dengan umat). Aktivitas ini dilakukan berbarengan dengan upaya tatsqîf murakkazah (pembinaan intensif), tatsqîf jamâ’i (pembinaan masyarakat secara umum), ash-shirâ’u al- fikri (pergolangan pemikiran), tabanni mashâlih ummah (pengadopsian kemaslahatan umat) dan thalabun nushrah (penggalangan dukungan).
Kasyful-khuththat adalah bagian dari aktivitas perjuangan politik atau al-kifâh as-siyâsi (Manhaj Hizb at-Tahrîr fî at-Taghyîr, hlm. 43-44). Secara praktis aktivitas al-kifâh as-siyâsi ini tampak dalam dua aktivitas utama. Pertama: Perlawanan (secara pemikiran dan politik, pen.) terhadap negara-negara kafir imperialis yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan di negeri-negeri Islam. Melawan penjajahan dengan semua bentuknya; baik pemikiran, politik, ekonomi maupun militer. Membongkar rencana-rencana jahat kaum kafir penjajah dan menyingkap persekongkolannya untuk menyelamatkan dan membebaskan umat dari kaum kafir penjajah. Kedua: Membongkar persekongkolan para penguasa di negeri-negeri Islam dengan negara kafir penjajah. Mengoreksi mereka. Menawarkan sistem Islam untuk menggantikan sistem kufur yang diterapkan di negeri-negeri Islam (Muhammad Muhsin Rodhi, Hizb at-Tahrîr, Tsaqâfatuhu wa Manhajuhu fî Iqâmah Dawlah al-Khilâfah al-Islâmiyyah, hlm 299).
Kaysful-Khuththat pada Masa Nabi saw.
Nabi saw. adalah teladan terbaik dalam semua hal yang baik. Termasuk dakwah. Sesungguhnya aktivitas membongkar makar jahat pemimpin kekufuran dan kroninya adalah aktivitas yang dicontohkan dalam perjalanan dakwah Nabi saw.
Nabi saw. dan sahabat ridhwânulLâh ‘alayhim dengan kutlah-nya telah melakukan dakwah dengan terang-terangan berdasarkan seruan Allah dalam QS al-Hijr ayat 94. Sejak itu petinggi suku Quraisy merespon dakwah dengan mengadakan pertemuan di Dâr an-Nadwah (tempat para petinggi Quraisy memutuskan perkara-perkara penting). Di sana berlangsung diskusi alot tentang label/stigma negatif apa yang akan mereka sematkan pada diri Nabi saw. Akhirnya, mereka sepakat menstigma beliau dengan sâhir bayân (penyihir dengan menggunakan penjelasan). Al-Quran kemudian turun untuk menyingkap konspirasi jahat mereka, khusus terhadap al-Walid bin al-Mughirah yang memimpin rapat (Hafidz Shalih, Nahj al-Qur’ân al-Karîm fî ad-Da’wah, hlm 93-94). Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan surah al-Muddatstsir dari ayat 11 hingga ayat 26. Di antara ayat-ayat tersebut terdapat gambaran bagaimana al-Walid bin al-Mughirah berpikir keras (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hlm. 71-72). Allah SWT berfirman:
إِنَّهُۥ فَكَّرَ وَقَدَّرَ ١٨ فَقُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ ١٩ ثُمَّ قُتِلَ كَيۡفَ قَدَّرَ ٢٠ ثُمَّ نَظَرَ ٢١ ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ٢٢ ثُمَّ أَدۡبَرَ وَٱسۡتَكۡبَرَ ٢٣ فَقَالَ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ يُؤۡثَرُ ٢٤ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا قَوۡلُ ٱلۡبَشَرِ ٢٥
Sungguh dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang dia tetapkan). Celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Kemudian, celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? Lalu dia memikirkan. Sesudah itu dia bermasam muka dan merengut. Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. Lalu dia berkata, “(Al-Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dulu). Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS al-Muddatstsir [74]: 18-25).
Terhadap Abu Lahab yang melecehkan Nabi saw. dan meremehkan dakwah beliau dengan menyatakan, “Tabba laka! A lihâdzâ jama’tanâ (Celaka kamu (Muhammad). Hanya karena inikah engkau mwngumpulkan kami?)”
Allah SWT kemudian membalas ucapannya dengan menurunkan Surah al-Masad. Dalam surah ini Allah bahkan mengabadikan nama Abu Lahab sekaligus membongkar penentangan dia dan istrinya terhadap dakwah Nabi saw. Nama Abu Lahab dikenang keburukannya sepanjang al-Quran terus dibaca oleh umat ini (Lihat: QS al-Masad [111]: 1-5).
Dua peristiwa dan sejumlah peristiwa lain pada masa Nabi saw. ini secara jelas dan tegas menunjukkan bahwa beliau dalam dakwahnya, yakni di fase berinteraksi dengan masyarakat dengan ciri dakwah yang terang-terangan dan menantang, telah melakukan aktivitas kasyful-khuththat atau membongkar makar jahat para pemimpin Quraisy yang telah menentang dakwah beliau. Karena itu siapa pun yang mengaku cinta kepada Nabi saw. tidak boleh meninggalkan apalagi mengabaikan aktivitas kasyful-khuththat ini.
Tujuan dan Kasyful-Khuththat di Masa Kini
Kasyful-khuththat adalah aktivitas pada fase (marhalah) tafâ’ul ma’al ummah (fase berinteraksi dengan umat). Tujuan kasyful-khuththat tidak dapat dilepaskan dari tujuan pada fase ini. Dalam booklet Al-Manhaj disebutkan bahwa tujuan pada fase ini adalah menjadikan umat mengemban dan mengadopsi Islam hingga menjadi qâdhiyah mashîriyah (persoalan utama) mereka. Caranya dengan mewujudkan opini dan kesadaran di tengah umat atas pemikiran dan hukum-hukum Islam yang diadopsi Hizb. Dengan itu umat mau mengadopsi dan berjuang untuk mewujudkan Islam dalam realitas kehidupan. Mereka berjalan bersama Hizb untuk menegakkan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah. Karena secara syar’i dan faktual penerapan Islam dalam kehiduan meniscayakan tegaknya Khilafah. Dengan Khilafah inilah akan dilanjutkan kehidupan Islam dan dakwah Islam bisa diemban ke seluruh penjuru dunia (Manhaj Hizb at-Tahrîr fî Taghyîr, hlm. 42).
Pada kenyataannya, negara-negara kafir penjajah yang didukung oleh penguasa di negeri-negeri Islam senantiasa mengopinikan stigma negatif terhadap Islam dan pejuangnya. Di antaranya proyek monsterisasi dan kriminalisasi Khilafah. Khilafah Islam dilekatkan dengan ISIS. Khilafah dituduh akan memecah-belah persatuan dan mengancam kebhinekaan. Bahkan ada tuduhan bahwa paham radikal dengan ciri mengusung gagasan Khilafah menginspirasi tindakan terorisme.
Tuduhan-tuduhan seperti ini sengaja digoreng terus menerus oleh negara-negara kafir penjajah yang didukung oleh para anteknya. Tujuannya untuk terus melanggengkan penjajahan mereka di negeri-negeri Islam. Mereka ingin terus menguras sumberdaya alam yang melimpah-ruah di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru yang saat ini menyelimuti Dunia Islam hanya akan tercerabut dari akarnya jika kaum Muslim menerapkan syariah Islam dan bersatu padu tanpa sekat-sekat negara-bangsa. Hal ini meniscayakan tegaknya Khilafah sebagai institusi pelaksana syariah dan pemersatu umat.
Karena itulah harus ada upaya membongkar konspirasi jahat negara kafir menjajah dengan menjelaskan kepada umat kejahatan-kejahatan mereka. Demikian pula kejahatan para penguasa di negeri-negeri Islam yang telah menjadi kaki-tangan penjajah. Akhirnya, umat sebagai sanad al-hukmi (sandaran kekuasaan) yang hakiki mengalihkan dukungan kepada kelompok yang istiqamah membela hak-hak mereka. Kelompok inilah yang berjuang siang dan malam untuk membebaskan umat dari penjajahan dengan menerapkan Islam dalam naungan Khilafah. Di sinilah aktivitas kasyful-khuththat menjadi sangat penting dan urgen.
Konsekuensi Dakwah Politik
Kaysful-khuththat adalah implementasi perjuangan politik sekaligus bagian dari dakwah politik. Dakwah seperti ini jelas memiliki konsekuensi. Menurut Syaikh M. Husain Abdullah, di antara konsekuensi dakwah politik adalah: Pertama, dakwah politik akan menghadapi perlawanan dari penguasa sistem sekular. Mereka akan menggunakan berbagai cara dan sarana untuk menghancurkan dakwah politik yang ada.
Menghadapi konsekuensi ini, para aktivis dakwah politik hendaknya tetap berpegang teguh dengan ideologi mereka, yaitu Islam. Bersabar menghadapi segala tantangan dan cobaan yang ada. Mereka hendaknya juga tidak tergiur dengan segala rayuan (targhîb). Tidak gentar dengan segala ancaman (tarhîb). Sikap seperti inilah yang ditunjukkan Rasulullah saw. dulu ketika menghadapi tantangan dakwah dari kaum Quraisy yang kafir.
Kedua, dakwah politik akan menghadapi serangan pemikiran asing yang disebarkan oleh berbagai institusi dari negara sekular yang ada seperti media massa, sekolah dan perguruan tinggi. Contohnya saat ini ada program deradikalisasi yang sangat jahat. Landasan pemikirannya bukan Islam, melainkan ideologi kapitalisme-sekular yang kufur. Tujuan program deradikalisasi bukan hanya menyerang umat secara fisik, tetapi justru hendak menghancurkan norma-norma ajaran Islam itu sendiri seperti kewajiban menegakkan Khilafah, syariah dan jihad fi sabilillah.
Untuk menghadapi itu, para aktivis dakwah politik hendaknya melakukan perang pemikiran (as-shira’ al-fikri). Caranya dengan menjelaskan kekeliruan ide kufur yang ada, seraya membandingkannya dengan ide Islam yang lurus. Seperti meletakkan seseutu yang bengkok bersebelahan dengan sesuatu yang lurus. Dengan demikian umat akan dapat melihat perbedaan di antara keduanya. Seperti melihat sesuatu yang putih bersebelahan degan sesuatu yang hitam. Dengan itu umat akhirnya akan mendukung ideologi Islam dan menolak ideologi kapitalisme-sekular yang kufur.
Ketiga, dakwah politik dapat menimbulkan risiko terhadap kepentingan pribadi para aktivisnya. Mereka yang bergerak dalam dakwah politik dapat saja kehilangan pekerjaaannya, mengalami kerugian dalam bisnisnya karena mendapat hambatan dari berbagai pihak, dll.
Untuk menghadapi itu, para aktivis dakwah politik harus memperkokoh akidahnya. Misalnya memperkokoh pemahaman mereka tentang rezeki, ajal dan tawakal (M. Husain Abdullah, At-Tharîqah asy-Syar’iyyah li Isti’nâf al-Hayâh al-Islâmiyah, hlm. 86-92).
Selain itu kelompok dakwah dan pengemban dakwah politik juga akan berhadapan secara langsung dengan para penganut tsaqâfah asing serta kelompok-kelompok yang menjadi kroni penguasa. Hizb pada dasarnya tidak ingin berhadapan dengan mereka, tidak bermaksud berkonfrontasi dengan mereka dan tidak menggangap mereka sebagai musuh. Hizb sebenarnya hanya ingin berhadapan dengan pihak penjajah yang kafir sebab merekalah satu-satunya musuh umat. Hizb akan tetap fokus melakukan perang pemikiran, membongkar konspirasi jahat penjajah, mengadopsi masalah-masalah yang menimpa umat dan menawarkan solusi yang khas menurut sudut pandang Islam. Seiring dengan penetrasi dakwah dan dukungan umat terhadap Hizb maka dengan sendirinya ‘permusuhan’ dari kelompok-kelompok yang menjadi kroni penguasa akan melemah bahkan pupus (Nuqthah al-Intilâq li Hizb at-Tahrîr, hlm. 1).
Pada akhirnya, secara alami Hizb akan memasuki fase selanjutnya, yakni penerimaan kekuasaan melalui aktivitas thalab an-nushrah. Pada saat itulah kaum Muslim akan bergembira karena pertolongan Allah SWT.
HasbunalLâhu wa ni’ma al-Wakîl ni’ma al-Mawlâ wa ni’ma an-nashîr. [Wahyudi Ibnu Yusuf]
Wallahu a’lam bish showab.