Tsaqofah
Memahami Penggalian Hukum Kewajiban Menegakkan Khilafah
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Pendahuluan
Diantara bentuk nikmat Allah adalah ketika salah satu ajaran-Nya yang semula begitu asing, kini menjadi bahan perbincangan. Simbolnya (panji dan bendera Rasulullah) dibahas dimana-mana. Seiring waktu, umat mulai mengenal salah satu simpul ajaran Islam yang telah lama lepas. Ajaran yang pada akhir-akhir ini dicitraburukan dan dikriminalisasi sebagai ideologi berbahaya. Ajaran tersebut tiada lain adalah al-Khilafah al-Islamiyyah. Sebuah model kepemimpinan politik yang sudah menjadi ijmak di kalangan ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Misalnya muncul tuduhan bahwa tidak ada kewajiban menegakkan khilafah baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Demikian juga anggapan bahwa tidak ada model baku sistem khilafah dalam al-Quran dan al-Sunnah. Untuk tujuan itulah tulisan itu dibuat; membuktikan bahwa kewajiban menegakkan khilafah memiliki landasan normatif yang kokoh berdasarkan dalil-dalil syariah, dan bahwasannya Islam telah mengisyaratkan model baku sistem kepemimpinan politik bagi umat ini yakni sistem khilafah.
Mengapa Begitu Asing?
Untuk menjawab mengapa sistem politik agung yang pernah berjalan selama 13 abad ini menjadi terasa asing, alangkah baiknya kita memulai dari membangun kesadaran bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang lengkap. Ajaran Islam itu mencakup semua hal. Allah Swt berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan kami telah menurunkan kepadamu al-Quran sebagai penjelas atas semua perkara, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi kaum muslim” (QS. Al-Nahl: 89)
Abdullah Ibn Mas’ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, “Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal”.[1]
Ayat ini menegaskan bahwa Allah melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal, tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hanya saja, simpul penting pemerintahan Islam itu justru yang pertama kali lepas. Inilah sebabnya umat menjadi asing dengan salah satu ajaran Islam ini. Nabi Saw bersabda,
لتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ، عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ، تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
“Sungguh simpul-simpul Islam akan terurai satu persatu, setiap kali satu simpul terlepas manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya, dan simpul yang pertama lepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat” (HR. Ahmad).
Lafazh عُرْوَةً عُرْوَةً) ) menunjukkan terurainya ajaran Islam itu secara bertahap dan kontinyu sebagaimana dinyatkan imam al-Munawi ketika mengutip dari Abul Baqa’.[2] Adapun maksud kalimatوَأَوَّلُهُنّ نَقْضًا الْحُكْمُ) ) adalah ajaran pertama di dalam Islam yang mengalami penyimpangan hingga akhirnya ditinggalkan oleh kaum muslim yaitu pemerintahan. Hal ini juga selaras dengan apa yang dijelaskan Imam al-Shan’ani dalam menjelaskan frase tersebut, yaitu digantinya hukum-hukum Islam.[3]
Belum lagi hal itu karena kelemahan internal umat Islam. Kelemahan tersebut disebabkan karena mereka terlampau cinta akan kehidupan dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Saw terkait penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).
Bagaimana tidak, kitab kecil semacam Ghayah wa al-Taqrib (Matan Abi Syuja) saja isinya mulai bab thaharah, shalat, hingga membahas bab jihad, ghanimah, jizyah, dan qadha (peradilan). Buku Fikih Islam karya KH. Sulaiman Rasyid saja membahas mulai dari thaharah hingga khilafah. Demikian juga ketika mengkaji hadits, dalam Shahih Bukhari ada Kitab al-Ahkam dan dalam Shahih Muslim ada Kitab al-Imarah, dalam Sunan Abi Dawud ada Kitab al-Aqdhiyyah, dalam Sunan Tirmidzi dan Sunan Ibnu Majah ada Kitab al-Ahkam, serta dalam Sunan Nasa’i ada kitab al-Bai’ah. Jika bab-bab tersebut masih dirasa asing, jangan-jangan umat ini tidak pernah tuntas dalam belajar ajarannya sendiri.
Definisi Khalifah dan Khilafah
Al-Khalifah (الخليفة) secara bahasa berasal dari kata khalafa, yang secara bahasa bermakna ”pengganti”. Demikian juga yang dijelaskan oleh ulama bahasa seperti Imam al-Azhari dalam Tahdzib al-Lughah.[4] Jamak dari kata khalifah adalah khulafa dan khala’if, dan hal itu kita bisa temukan dalam beberapa ayat al-Quran.
Allah Swt berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)
Demikian juga dengan ayat-ayat berikut ini,
وَهُوَ الَّذِي جعلكُمْ خلائف الأَرْض
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (QS. Al-An’âm: 165)
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ
‟Dan siapa yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah-khalifah di bumi?” (QS. Al-Naml: 62)
Imam al-Farra berkata ketika menafsirkan QS. Al-An’am ayat 165, ”Umat Muhammad Saw dijadikan khala’if (pengganti) setiap umat-umat.”[5] demikian juga Imam al-Thabari menjelaskan, ”Dan Dia menjadikan di antara kalian sebagai pemimpin-pemimpin yang hidup setelah masa kepemimpinan pemimpin kalian (sebelumnya) di muka bumi, yang menggantikan mereka.”[6]
Adapun makna syar’i dari istilah khalifah identik dengan al-Imam al-A’zham (imam yang teragung). Imam al-Ramli mendefiniskan dengan,
الخليفة هو الإمام الأعظام, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[7]
Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji mendefinisikan khilafah sebagai,
الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية
”Khalifah adalah seseorang yang memegang kepemimpinan umum bagi kaum muslim, yakni pemimpin tertinggi bagi negara Islam (al-Dawlah al-Islamiyyah).”[8]
Penulis al-kitab Ajhizah al-Daulah al-Khilafah menampilkan definisi yang lebih praktis,
الخليفة هو الذي ينوب عن الأمة في الحكم والسلطان، وفي تنفيذ أحكام الشرع
”Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam hukum dan pemerintahan, dan dalam menerapkan hukum-hukum syara’.”[9]
Para ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraduf). Imam Imam al-Nawawi menyatakan,
يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين
“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul mukminin”.[10]
Adapun asal usul kata khilafah, kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa, jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Khilafah dan Imamah adalah sinonim.
Imam al-Mawardi mendefinisikan sebagai,
الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”[11]
Adapun Imam al-Juwaini memberikan definisi,
الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia.”[12]
Definisi yang jami’ dan mani’ (menyeluruh dan mengeluarkan yang tidak perlu) adalah,
الخلافة هي رئاسة عامة للمسلمين جميعاً في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
“Khilafah adalah kepemimpinan yang sifatnya umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”[13]
Jelaslah, bahwa istilah khalifah, imam, amirul mukminin, khilafah, dan imamah memiliki akar normatif dan historis yang sangat kokoh, ia besumber dari dalil-dalil syariah.
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada al-Quran, al-Sunnah dan Ijmak Shahabat dengan perintah yang tegas. Secara mafhum, al-Quran menyatakan perintah untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah. Nash-nash yang berbicara tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah, makna kontekstualnya telah melekat dengan makna tekstualnya. Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
‟Wahai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil Amri di antara kalian.” (QS. Al-Nisa’: 59)
Pada ayat ini Allah memerintahkan kita menaati ulil amri. Di sisi lain Allah tidak pernah memerintahkan taat kepada yang tidak ada. Termasuk tidak memerintahkan taat kepada yang keberadaanya hanya sunnah. Maka berdasarkan dalalah al-iltizam, perintah menaati ulil amri pun merupakan perintah mewujudkannya, sehingga kewajiban tersebut terlaksana. Ayat tersebut juga mengandung petunjuk (dalalah), keberadaan ulil amri adalah wajib dan wajib pula mengadakan ulil amri (khalifah) dan sistem syar’inya (khilafah). Adanya ulil amri memiliki konsekuemsi tegaknya hukum syara, dan diam tidak mewujudkan ulil amri membawa konsekuensi lenyapnya hukum syara.
Pada ayat yang lain, Allah Swt berfirman,
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. al-Maidah: 48).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah: 49).
Seruan Allah Swt untuk Rasulullah –untuk memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan- pada ayat di atas juga merupakan seruan untuk umatnya. Mafhum-nya hendaknya kaum muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara sesuai wahyu Allah. Perintah dalam ayat ini bersifat tegas karena yang menjadi objek seruan adalah kewajiban. Hal ini menurupakan qarinah (indikasi) yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah umat Islam setelah wafatnya Rasulullah adalah khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Di samping itu, terdapat ratusan ayat yang berhubungan dengan masalah politik (kenegaraan) secara langsung, dan terkait dengan ekonomi, hukum pidana atau perdata, hubungan kemasyarakatan, akhlak, kenegaraan, militer, mu’amalah, dan lain-lain. Berdasarkan ayat-ayat di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kaum muslimin telah diwajibkan untuk menerapkan hukum berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah.
Kewajiban untuk menerapkan seluruh hukum Islam tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna, terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya, tanpa keberadaan imam (penguasa). Atas dasar itu, mengangkat seorang penguasa merupakan kewajiban bagi terlaksananya hukum-hukum syariat secara menyeluruh dan sempurna. Penguasa yang dimaksud adalah khalifah dan sistem pemerintahannya adalah khilafah.
Adapun dalil al-Sunnah, banyak dituturkan riwayat-riwayat yang menjelaskan secara rinci wajibnya kaum muslim mengangkat seorang pemimpin negara yang akan mengurusi urusan mereka. Nash-nash ini jumlahnya sangat banyak dan diriwayatkan dalam banyak kitab hadits. Rasulullah bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melepaskan (tangan) dirinya dari ketaatan, maka (dia) akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Nabi Saw mewajibkan kepada setiap kaum muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati sementara di pundaknya tidak ada baiat sebagai orang yang mati dalam keadaan jahiliyah. Baiat adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan mandat kekhilafahan. Nabi Saw telah mewajibkan adanya baiat di pundak setiap muslim, dengan qarinah jazimah “mati seperti mati jahiliyah”, yang menurut penjelasan para ulama merupakan mati dalam keadaan bermaksiat[14] atau tersesat.[15] Hadits ini berbentuk umum. Artinya apabila khalifah ada, seorang muslim wajib berbaiat, dan dalam keadaan tidak adanya khalifah seorang muslim harus melakukan aktivitas yang bisa mewujudkannya. Disamping itu, mafhum dari hadits tersebut juga menyatakan demikian, yakni nash tersebut menyatakan wajibnya membaiat khalifah yang jika tidak dilakukan, maka dia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Ini merupakan dalil (penunjukkan) yang jelas, bahwa jika tidak ada (khalifah), maka wajib menjalankan aktivitas untuk mewujudkannya.
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Muttafaq ’Alaih)
Hadits ini mengandung pujian terhadap sosok imam atau khalifah yakni junnah (perisai) atau wiqayah (pelindung).[16] Pada hadits ini juga terdapat ungkapan qashr (pengkhususan) dan tasybih mu’akkad (penyerupaan tegas) yang menyerupakan khalifah sebagai perisai kaum muslim. Al-Hafizh Ibn al-Atsir menjelaskan bahwa junnah dalam hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari keburukan.[17] Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama lainnya, di antaranya al-Hafizh al-Nawawi. Sabda Rasulullah (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslim, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung kepadanya dan mereka tunduk kepada kekuasaannya.[18]
Sifat yang diberikan Rasulullah Saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang mengandung pujian kepada keberadaan imam (khalifah). Ikhbar disini bermakna tuntutan untuk melakukan, karena datang dari Allah dan Rasul-Nya dengan disertai pujian. Demikian juga karena aktivitas yang dituntut tersebut pelaksanaannya memiliki konsekuensi terhadap tegaknya hukum syariah, maka pujian tersebut merupakan qarinah jazimah (indikasi tegas) bahwa perkara tersebut hukumnya wajib, yakni diangkatnya khalifah dan tegaknya sistem khilafah.
Rasulullah Saw juga bersabda,
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya maka penggallah leher itu”. (HR. Muslim)
Rasulullah Saw memerintahkan untuk menaati para khalifah dan memerangi siapa saja yang hendak merebut jabatan dalam kekhilafahan. Perintah Rasulullah Saw ini berarti perintah untuk mengangkat khalifah dan menjaga eksistensi kekhilafahan dengan cara memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya. Ini juga merupakan indikasi (qarinah) yang tegas mengenai keharusan mewujudkan hanya satu orang khalifah saja.
Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw,
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah.” Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, dan yang pertama itu saja.” Berikanlah kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Riwayat-riwayat di atas merupakan dalil yang sangat jelas dan tegas, tentang wajibnya kaum muslim mengangkat (membai’at) seorang kepala negara (khalifah).
Adapun dalil Ijmak Shahabat, sungguh para shahabat radhiyallahu ‘anhum telah berijmak atas wajibnya mengangkat khalifah. Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra mengomentari peristiwa yang terjadi di Tsaqifah bani Sa’idah dengan: “Jika al-Imamah (khilafah) itu tidak wajib, maka tak akan berlangsung diskusi alot tersebut dan dialog tentangnya.”[19] Indikasi kewajiban ini adalah ketika para shahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman jenazah Rasulullah Saw. Imam al-Khaththabi menegaskan,
وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة وأنه لا بد للناس من إمام يقوم بأمر الناس ويمضي فيهم أحكام الله ويردعهم عن الشر ويمنعهم من التظالم والتفاسد
“Dan dalil tersebut (ijmak shahabat) merupakan sejelas-jelasnya dalil atas wajibnya menegakkan al-khilafah dan bahwa harus ada seorang imam (khalifah) bagi masyarakat yang berdiri memerintah dan mengatur mereka dengan hukum-hukum Allah, menjauhkan mereka dari keburukan, menghalangi mereka saling menzhalimi dan merusak.”[20]
Imam al-Haitami dalam menyatakan, “Ketahuilah, bahwasanya para shahabat ra telah bersepakat, bahwa hukum mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan, mereka telah menjadikan hal ini sebagai kewajiban yang terpenting. Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut, dan menunda penguburan jenazah Rasulullah Saw.” [21]
Karena itulah, para ulama telah bersepakat bahwa mengangkat khalifah adalah wajib. Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata,
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …
“Pasal kedua tentang wajibnya imamah (khilafah) dan pejelasan metode-metodenya. Merupakan suatu keniscayaan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan menolong/ memenangkan as-Sunnah serta menolong yang dizalimi dan menunaikan hak-hak serta menempatkan hak tersebut pada tempatnya. Saya tegaskan, bahwa pengangkatan imamah adalah fardhu kifayah…”[22]
Kekhasan dan Kebakuan Sistem Khilafah
Sistem pemerintahan Islam adalah Khilafah Islamiyah. Sistem ini berbeda dengan sistem pemerintahan apapun di dunia ini, termasuk sistem pemerintahan demokratik yang dicetuskan oleh orang-orang barat. Perbedaannya dengan sistem pemerintahan lain bisa dilihat dari asas yang membangun negara, pemikiran-pemikiran, konsep-konsep, standarisasi maupun hukum-hukum yang digunakan untuk melayani kepentingan umat. Selain itu, dilihat dari bentuk negara, aparatus, serta aspek-aspek cabang lainnya, sistem pemerintahan khilafah islamiyyah jelas-jelas berbeda dengan sistem pemerintahan lain yang pernah ada di dunia ini. Khilafah berbeda dengan sistem monarki, republik, federasi, dan kekaisaran (imperium)[23]
Implementasi negara (daulah) Islam pada masa Rasulullah berikut struktur dan aparatus pemerintahannya adalah bukti otentik bahwa Nabi Saw telah mencontohkan bgaimana penyelenggaraan negara sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Demikian juga dengan kelangsungannya hingga belasan abad lamanya. Itu adalah bukti historis yang tak terbantahkan.
Bertolak dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka tidak mengherankan jika para ulama[24] menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem khilafah:
Pertama, kedaulatan di tangan syara’ (al-siyâdah li al-syar’i), yang menjamin penegakkan hukum al-Quran dan al-Sunnah dalam kehidupan, mengundang keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Kedua, kekuasaan milik umat (al-sulthân li al-ummah), yakni dengan adanya hak bai’at untuk mengangkat khalifah, yang dibai’at untuk menegakkan hukum al-Quran dan al-Sunnah, yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah menegakkan syari’at Islam.
Ketiga, kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh umat (wujûb al-khalîfah al-wahîd li al-muslimîn), yang menjamin realisasi kesatuan kaum Muslim dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam kehidupan.
Keempat, khalifah berhak mengadopsi hukum (li al-khalîfah haq al-tabanni), yang menjamin kesatuan kaum Muslim, menjaganya dari ancaman perpecahan. Adopsi hukum yang berkaitan dengan kesatuan kaum Muslim, dimana tanpa kesatuan ini kaum Muslim akan berpecah belah.
Penutup
Dari pemaparan diatas, jelaslah bahwa menegakkan khilafah adalah kewajiban dari Allah Swt, syariat nabi Muhammad Saw, dan sunnah para al-Khulafa’ al-Rasyidun. Siapa saja yang mengingkarinya meskipun dengan mengajukan berbagai dalih dan retorika, hakikatnya tidak mengerti bagaimana istinbath al-ahkam kewajiban tersebut dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Kewajiban tersebut bukanlah perkara ijtihadi. Khilafah juga memiliki pilar-pilar (al-qawa’id) sistem pemerintahan Islam yang bersifat baku. Sistem yang tidak memiliki empat pilar sebagaimana disebutkan di atas, tidak layak disebut sistem khilafah. Memang benar pada perkara perinciannya ada perkara-perkara yang ijtihadi. Tetapi perlu ditegaskan bahwa hasil ijtihad (fikih) juga merupakan hukum syara’. Semoga Allah segera menagurahkan kepada umat ini pertolongan-Nya dengan kembalinya al-khilafah al-rasyidah yang kedua.
Penulis adalah Pengasuh Majelis Kajian Hadits Khadimus Sunnah Bandung dan Peneliti Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat
Catatan Kaki
[1] Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, juz IV, hlm. 594.
[2] Al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, juz 5, hlm. 263.
[3] Al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh Jami’ al-Shaghir, juz 9, hlm. 33.
[4] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, juz VII, hlm. 168-174.
[5] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, hlm. 174.
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz ke-19, hlm. 485.
[7] Al–Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hlm. 289.
[8] Muhammad Rawwas Qal’ahji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hlm. 200.
[9] Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukm wa al-Idarah, hlm. 20.
[10] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib al-Syarbini, Mughn al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132.
[11] Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5.
[12] Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyats al-Umam fi al-Tiyatsi al-Dzulam, hlm.15.
[13] Mahmud Abd al-Majid Al Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 225-230.
[14] Ahmad bin Ali al-Asqalani, Fath al-Bari, juz XIII, hlm. 7.
[15] Imam as-Sindi, Syarah Sunan an-Nasa’i, juz V, hlm. 434.
[16] Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz VI, hlm. 2391.
[17] Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, juz IV, hlm. 63.
[18] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, juz. XII, hlm. 230.
[19] Abu Ya’la al-Farra, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, juz I, hlm. 19.
[20] Abu Sulaiman al-Khathabi, Ma’alim al-Sunan, juz III, hlm. 6.
[21] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Shawa`iq al-Muhriqah, hlm. 17.
[22] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz I, hlm. 387.
[23] Taqiyyuddin al-Nabhani, Nizham al-Hukm fi al-Islam, ed. IV, hlm. 30.
[24] Mahmud al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 39.