Tanya Jawab
HUKUM TABUNGAN EMAS DI PEGADAIAN
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon pencerahannya tentang hukum tabungan emas di Pegadaian. (Widadi, Sleman)
Jawab :
Tabungan Emas adalah layanan pembelian dan penjualan emas dengan fasilitas titipan. Prosedurnya: (1) nasabah membuka rekening Tabungan Emas di kantor cabang Pegadaian dengan mengisi formulir pembukaan rekening dan membayar bea administrasinya Rp 10.000; (2) nasabah membayar bea fasilitas titipan selama 12 bulan sebesar Rp 30.000; (3) nasabah membeli emas dengan kelipatan 0,01 gram atau sebesar Rp 5.520,- (harga per 23 Maret 2017). Misal, jika membeli 1 gram, harganya = Rp 5.520 X 100 = Rp 552.000; (4) jika nasabah membutuhkan uang tunai, nasabah dapat menjual kembali (buyback) saldo titipan emasnya kepada Pegadaian minimal 1 gram dan nasabah akan menerima uang tunai Rp 530.000 (bukan Rp 552.000); (5) jika menghendaki emas batangan, nasabah dapat melakukan order cetak sesuai dengan pilihan keping (5gr, 10gr, 25gr, 50gr, dan 100gr) dengan membayar bea cetak. (www.pegadaian.co.id).
Berdasarkan fakta hukum (manath) di atas, Tabungan Emas di Pegadaian hukumnya haram, karena 4 (empat) alasan sbb;
Pertama, karena dalam transaksi jual-beli emas tersebut Pegadaian telah menjual emas yang tidak dimilikinya. Sebab emasnya sendiri belum dicetak pada saat akad jual-beli. Padahal Islam telah melarang jual-beli barang yang tak dimiliki, sesuai sabda Nabi SAW,”Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (laa tabi’ maa laysa ‘indaka). (HR Ahmad). Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, kalimat “apa-apa yang tak ada di sisimu” (maa laysa ‘indaka) dapat bermakna “apa-apa yang bukan milikmu” (maa laysa fii milkika). (Imam Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, II/288).
Kedua, karena dalam transaksi jual-beli emas tersebut tak terjadi serah terima (taqaabudh) secara kontan. Faktanya nasabah hanya menyerahkan uang tanpa menerima emasnya secara fisik. Padahal emas termasuk 6 (enam) barang ribawi yang mensyaratkan serah terima secara kontan sesuai sabda Nabi SAW,”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut (al sya’ir bi al sya’ir), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawa`an bi sawa`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim, no 1587). Hadits ini menunjukkan jika emas diperjualbelikan, wajib ada serah terima (taqabudh) fisiknya secara kontan, yang ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan) atau secara kontan, bukan sekedar dicatat dalam buku tabungan.
Ketiga, karena pada akad penitipan terjadi transaksi riba pada dua titik, yaitu biaya fasilitas penitipan dan harga buyback yang berbeda dengan uang yang dititipkan. Apa yang diklaim “penitipan emas” sebenarnya tidak ada, karena emasnya sendiri belum dicetak. Jadi penitipan yang ada sebenarnya bukan penitipan fisik emas melainkan penitipan uang sebagai harga emas, yang secara syar’i tak dapat dikategorikan titipan (wadi’ah) melainkan qardh (pinjaman). Maka biaya titipan sebenarnya adalah riba karena merupakan tambahan atas qardh. Demikian pula ketika terjadi buyback, sebenarnya faktanya bukan nasabah menjual kembali emasnya tapi hanya meminta uangnya kembali tapi mendapat pengembalian yang nilainya tidak sama. Maka selisih yang dinikmati Pegadaian itu jelas riba.
Keempat, terjadi multiakad (hybrid contracs), yaitu gabungan akad jual-beli dengan akad qardh (yang diklaim sebagai akad penitipan emas). Padahal syariah telah melarang multiakad sesuai hadits Ibnu Mas’ud RA bahwa Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fii shafqah wahdah). (HR Ahmad). Wallahu a’lam.