Tanya JawabTsaqofah
Haramkah Mendirikan Khilafah Karena Menyalahi Kesepakatan?
Soal:
Benarkah haram mendirikan Khilafah karena dianggap menyalahi kesepakatan? Bagaimana kedudukan kesepakatan yang menyalahi nas syariah, termasuk Ijmak Sahabat?
Jawab:
Ada yang mengatakan, mendirikan Khilafah, khususnya di Indonesia, hukumnya haram karena menyalahi kesepakatan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, orang yang mengatakan begitu mengakui bahwa Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun.1
Yang menarik, ahli lain yang dihadirkan pemerintah di persidangan PTUN berikutnya, 29 Maret 2018, ketika ditanya, “Apakah NKRI ini telah menerapkan syariah Islam?” Dijawab, “Tidak”. Kemudian, ditanya oleh Jubir HTI, Ustadz Ismail Yusanto, “Boleh tidak, mengubah kesepakatan dengan kesepakatan yang lebih baik?” Dijawab, “Boleh”. Dia menambahkan, “Kecuali mengubah NKRI.” Sambil mengutip QS al-Maidah ayat 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu (QS al-Maidah [5]: 1).
Ayat ini memang sering dibajak dan digunakan tidak pada konteksnya. Di antaranya untuk melegitimasi kesepakatan yang menyalahi bahkan membatalkan hukum Allah SWT yang sudah ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah (diyakini urgensinya dalam agama), seperti kewajiban adanya Khilafah dan kewajiban menegakkan kembali Khilafah ketika tidak ada sebagaimana saat ini.
Padahal Imam al-Qurthubi (w. 671 H), ahli tafsir yang sangat otoritatif, dalam kitabnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menjelaskan makna ayat ini sebagai berikut:
Allah SWT menitahkan agar memenuhi akad. Al-Hasan berkata, maksudnya adalah akad-akad agama, yaitu apa yang diakadkan oleh seseorang terhadap dirinya seperti akad jual, beli, ijârah, menyewakan lahan, nikah, talak, muzâra’ah [kerjasama bagi hasil pertanian], perdamaian, menguasakan milik, memberi pilihan [takhyîr], memerdekakan dan membebaskan budak, dan perkara lain, selama tidak keluar dari syariah. Begitu juga apa saja bentuk ketaatan yang diakadkan untuk dirinya, semata karena Allah, seperti haji, puasa, itikaf, qiyamullail, nazar dan ketaatan dalam agama Islam lainnya. Adapun nazar yang mubah, berdasarkan kesepakatan umat, tidak wajib ditunaikan. Itu dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi.
Ibn ‘Abbas berkata: “Awfû bi al-‘Uqûd” (Tunaikanlah akad-akad itu), maksudnya adalah apa saja yang dihalalkan, apa saja yang diharamkan, apa saja yang difardhukan dan apa saja yang telah ditetapkan dalam semua perkara. Mujahid dan yang lainya juga berpendapat yang sama. Ibn Syihab berkatab: Aku membaca surat Rasulullah yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, ketika baginda mengutus dia ke Najran. Di permulaan surat itu dinyatakan, “Ini adalah penjelasan kepada umat manusia, dari Allah dan Rasul-Nya, wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah akad-akad itu.” Baginda pun menuliskan ayat-ayat tersebut di dalamnya, sampai firman Allah yang menyatakan: Sungguh Allah Maha Menyegerakan perhitungan-Nya (QS al-Maidah [5]: 4).
Az-Zujaj menjelaskan: Maknanya adalah tunaikanlah akad Allah kepada kalian dan akad kalian kepada sesama kalian. Ini semua merujuk pada pendapat berdasarkan keumuman lafalnya. Ini merupakan pendapat yang sahih dalam konteks ini.
Rasulullah saw. bersabda, “Orang Mukmin itu sesuai dengan syarat yang mereka tetapkan.” Baginda juga bersabda, “Tiap syarat yang tidak terdapat dalam kitab Allah statusnya batil meski terdiri seratus syarat.” Karena itu Baginda menjelaskan bahwa syarat atau akad yang wajib ditunaikan adalah apa yang sesuai dengan kitab Allah, yaitu agama Allah. Jika tampak menyalahi [agama Allah] maka wajib ditolak. Ini sebagaimana sabda beliau, “Siapa saja yang melaksanakan suatu perbuatan, yang tidak menetapi tuntunan kami, maka perbuatan tertolak.” 2
Imam Syafii [w. 204 H], dalam kitabnya, Ahkâm al-Qur’ân, juga menjelaskan:
Ini karena luasnya bahasa Arab, yang digunakan untuk menyampaikan seruan [khithab]. Secara lahiriah tampak umum meliputi semua akad. Juga (Allah Mahatahu) seakan-akan: Allah Tabaraka wa Ta’ala menginginkan agar mereka menunaikan semua akad, apakah berupa sumpah atau bukan, juga semua akad nazar—jika dalam kedua akad tersebut hanya berisi ketaatan kepada Allah atau –dalam perkara yang diperintahkan untuk ditunaikan—bukan untuk maksiat kepada-Nya.3
Jadi, berdasarkan penjelasan Imam Syafii [w. 204 H] dan al-Qurthubi [w. 671 H] di atas, jelas bahwa perintah menunaikan akad di sini meliputi semua akad, dengan syarat, tidak menyalahi hukum Allah. Sebaliknya, jika menyalahi hukum Allah, maka akad tersebut tidak boleh dilaksanakan. Apalagi sudah menyalahi hukum Allah, akad yang sama juga digunakan untuk menghalangi tegaknya hukum Allah, maka lebih tidak boleh lagi. Lebih-lebih lagi menghalangi tegaknya hukum Allah yang disepakati oleh para ulama sebagai perkara yang ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah [diyakini urgensinya dalam agama], dan merupakan kewajiban paling agung [a’zham al-wajibât], maka jelas tidak boleh.4
Status Kesepakatan untuk Mengharamkan Kewajiban
Dalam kitabnya, Al-‘Uqûd, al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa bagian paling depan dari akad-akad itu adalah akad [ikatan] keimanan, yang mengikat manusia dengan Allah SWT, yang mengharuskan manusia untuk mengakui ketuhanan-Nya. Pengakuan ini mengharuskan manusia untuk beribadah dengan sempurna, terikat secara utuh, taat secara mutlak dan berserah diri secara totalitas kepada Allah, Rabb semesta alam.
Akad [ikatan] keimanan inilah yang seharusnya menjadi sumber dan pondasi semua akad dan ketentuan hidup. Dari sini maka “ikatan keimanan” itu masuk dalam konsepsi dasar akidah, yang diikat di dalam kalbu, bahkan dengannya ikatan dan hubungan dengan sesama manusia itu dibangun; khususnya antara sesama orang Mukmin, yang secara khusus diseru oleh Allah dalam seruan-Nya ini.5
Karena itu jika akad-akad yang ada dalam kehidupan manusia ini bersumber dan didasarkan pada akidah Islam serta terikat sepenuhnya dengan hukum Allah, maka akad-akad ini merupakan akad yang sah. Sebaliknya, jika akad-akad ini tidak bersumber dan dibangun berdasarkan akidah Islam serta tidak terikat dengan hukum Allah, maka akad-akad ini pasti menyimpang. Itulah, mengapa para fuqaha membagi akad ini menjadi akad yang sah, fasad dan batil.6
Akad yang fasad adalah akad yang terlaksana dan dianggap ada, tetapi karena tidak memenuhi ketentuan syariah yang ditetapkan, akad ini tidak mempunyai pengaruh. Ini seperti jual-beli barang yang cacat. Jika pembelinya tidak menerima, akad jual-belinya bisa dibatalkan. Lebih parah dari akad yang fasad adalah akad batil. Akad ini tidak bisa diperbaiki karena akad melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban sekalipun pelakunya sama-sama suka. Transaksi zina adalah akad batil meski sama-sama suka. Akad ini adalah akad untuk melakukan keharaman. Akad untuk mengharamkan Khilafah adalah akad yang bathil karena adanya Khilafah telah disepakati kewajibannya oleh seluruh ulama kaum Muslim.
Al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, menjelaskan, “Akad batil itu secara syar’i tidak ada. Status hukumnya seperti tidak ada. Ia juga tidak menimbulkan dampak [akibat]; juga tidak bisa berubah menjadi sah. Untuk mengubah akad itu menjadi sah, akadnya harus diulang setelah sebab [yang menyebabkan] kebatilannya dihilangkan.”7
Para ulama juga telah membahas tentang kesepakatan ini dalam Ahkâm as-Shulh [Hukum perdamaian]. Shulh [perdamaian] itu sendiri bertujuan untuk mencapai kesepakatan dan menghilangkan perselisihan di antara para pihak. Ini sesuai dengan hukum asal muamalah itu sendiri. Hanya saja, syarat-syarat yang disepakati dan mengikat para pihak tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا
Kesepakatan damai di antara kaum Muslim itu boleh, kecuali kesepakatan damai yang menghalalkan yang haram atau mengharam-kan yang halal (HR At-Tirmidzi).
Karena itu bisa dikatakan semua fuqaha telah sepakat bahwa kesepakatan damai [sulh], jika menyangkut hak Allah, seperti kewajiban zakat, haji dan jihad, misalnya, sekalipun semua orang sepakat hukum ini dibatalkan, maka kesepakatan seperti ini batil dan tidak berlaku. Begitu juga jika semua orang sepakat untuk membatalkan pelaksanaan hudûd—seperti sanksi bunuh bagi orang murtad, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina muhshan, cambuk bagi pezina ghairu muhshan, dan sebagainya—maka kesepakatan seperti ini juga batil, dan tidak berlaku.8
Nah, karena itu tidak ada satu pun ulama kaum Muslim, yang menyatakan, bahwa berjuang menegakkan Khilafah, yang wajib, menjadi haram hukumnya, karena dianggap melanggar kesepakatan. Justru sebaliknya, jika ada kesepakatan yang melarang kaum Muslim untuk menegakkan Khilafah maka kesepakatan seperti ini jelas batil dan tidak berlaku. Bahkan jika seluruh manusia sepakat bahwa haram hukumnya menegakkan Khilafah, maka kesepakatan ini pun batil dan tidak berlaku karena membatalkan apa yang telah diwajibkan oleh Allah.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Ahmad Ngisomudin, M. Ag. Alias KH. Ahmad Ishomuddin, Gerakan Politik HTI Berbalut Dakwah Menuju Khilafah Islamiyyah, makalah yang disampaikan sebagai alat bukti persidangan di hadapan Majelis Hakim PTUN, 15 Maret 2018, hlm. 13.
2 Al-‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet I, 1425 H/2004 M, I/1004-1005.
3 Al-Imam al-Mu’adzdzam wa al-Mujtahid al-Muqaddam, Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Idris as-Syafii, Ahkâm al-Qur’ân, Maktabah al-Khanji, Caero, cet II, 1414 H/1994 M, II/66.
4 Al-Imam Ibn Taimiyyah, dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa, menyatakan, “Wajib diketahui, bahwa kekuasaan untuk mengurus urusan umat manusia adalah kewajiban agama yang paling agung. Bahkan, agama dan dunia ini tidak akan berdiri, kecuali dengannya.” Lihat, Ibn Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, XXVIII/390.
5 al-‘Allamah Syaikh Samih ‘Athif az-Zain, al-‘Uqûd, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, hlm. 6.
6 al-‘Allamah Syaikh Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet I, 1414 H/1994 M, I/1412-1413.
7 Idem, hlm. 1413.
8 Idem, hlm. 1243.