Tanya Jawab
Betulkah Al-Quran Hanya Bicara Khalifah, Bukan Khilafah?
Soal:
Apakah penggunaan kata khalifah dalam al-Quran hanya untuk konotasi khalifah, atau bisa juga berarti Khilafah? Apakah dalil terkait khalifah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan tentang kewajiban mendirikan Khilafah? Jika tidak bisa, apa alasannya?
Jawab:
Kata khalifah dalam al-Quran digunakan dalam surat al-Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Dalam QS al-Baqarah ayat 30, kata khalifah dinyatakan oleh Allah kepada para malaikat untuk menunjuk manusia. Adapun dalam QS Shad: 26, kata khalifah digunakan untuk mentahbiskan Nabi Dawud as. sebagai penguasa di bumi disertai dengan perintah:
فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦
Karena itu perintahlah (terapkanlah hukum) di antara manusia itu dengan (menggunakan) kebenaran. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah (QS Shad [38]: 26).
Penggunaan pola (wazan) fa’îlah tidak hanya berkonotasi pada orangnya saja, tetapi juga bisa menunjukkan pada jabatan dan lembaganya. Alasannya, orang tersebut tidak akan pernah disebut sebagai khalifah kalau tidak menduduki jabatan Khilafah.
Kata khalîfah mengikuti wazan “fa’îlah”, sebagaimana kata “amîr” mengikuti wazan “fa’îl”. Secara harfiah, kata khalîfah diartikan dengan: al-ladzî yustakhlafu min-man qablahu (orang yang menjadi pengganti orang sebelumnya). Jamaknya, “khalâ’if”. Adapun menurut Imam Sibawaih [w. 180 H], jamaknya “khulafâ’”.1 Uniknya, “khalîfah”, mengikuti wazan “fa’îlah”.
Sebelum membahas wazan “fa’îlah”, dengan tambahan “tâ’” di akhir, mari kita bahas wazan “fa’îl” tanpa tambahan “tâ’” di akhir. Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” tidak hanya digunakan sebagai wazan shifat musyabbahah, seperti “faqîh” (ahli fikih), atau “khathîb” (orator). Wazan ini juga digunakan sebagai shîghat mubâlaghah (hiperbolis), seperti “’alîm” (mahatahu), “amîr” (yang mengurus banyak urusan), atau “khalîf” (yang menggantikan orang sebelumnya dalam banyak urusan). Jika ditambah “tâ’” maka konotasinya semakin kuat, seperti “khalîf” menjadi “khalîfah”, atau “al-‘allâm” menjadi “al-‘allâmah”.2
Wazan “fa’îlah” dan “fa’îl”, sebagai shîghat mubâlaghah, itu ternyata diambil (manqûl) dari shifat musyabbahah. Adapun wazan “fa’îlah” dan “fa’îl” sebagai shifat musyabbahah mempunyai konotasi yang berbeda. Misalnya, “thawîl” (panjang) menunjukkan sifat yang permanen, tidak akan berubah, misalnya menjadi pendek. Begitu juga sebaliknya, “qashîr” (pendek); selamanya pendek, tidak akan berubah menjadi panjang.
Dalam konteks ini, kata “khalîf” juga mempunyai konotasi orang yang mengganti secara permanen. Namun, ketika menggunakan wazan “khalîfah” konotasinya berubah, dari konotasi sifat menjadi benda. Karena itu dalam bahasa Arab, kata “dzabîhah” tidak berkonotasi hewan yang disembelih (al-madzbûh), tetapi hanya berkonotasi “hewan yang memang layak disembelih”.3 Dalam konteks ini, “khalîfah” tidak berkonotasi orang yang menggantikan orang lain secara permanen, tetapi “as-sulthân al-a’zham”. 4
Dalam struktur Tashrîf Isthilâhi, sebenarnya shifat musyabbahah termasuk wazan isim fâ’il. Karena itu shifat musyabbahah mempunyai persamaan dengan wazan isim fâ’il, yaitu sama-sama yadullu ‘ala al-hadats (al-mashdar)/(mempunyai konotasi peristiwa/mashdar-nya]. Misalnya, kata qâ’im (orang yang berdiri). Sifat ini tidak sekadar menjelaskan sifat berdiri, tetapi juga menjelaskan perbuatan berdiri (qiyâm)-nya,5 karena sifat tersebut hasil dari perbuatan berdiri. Begitu juga kata khalîfah (orang yang mengganti), tidak saja menjelaskan sifat orangnya, tetapi juga perbuatan (mashdar)-nya, yaitu Khilâfah-nya. Artinya, secara bahasa, kata “khalîfah” juga bisa berkonotasi mashdar-nya, “Khilâfah”. Dengan kata lain, konotasi “khilâfah” sebagai ajaran Islam memang ada dalam al-Quran. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ahli Tafsir ternama, Imam al-Qurthubi (w. 671 H), yang hidup di era Khilafah ‘Abbasiyah, ketika menjelaskan, QS al-Baqarah ayat 30.
Ketika beliau menjelaskan konotasi kata “khalîfah” tidak hanya konotasi, Khalîfatu-Llâh fi al-Ardh (wakil Allah di bumi), tetapi juga “Khalîfah” dengan konotasi “as-sulthân al-a’zham”, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur di atas. Bahkan menggunakan ayat ini tidak hanya untuk kekhalifahan Adam, tetapi juga kakhalifahan kaum Muslim.6
Dalam kajian Ushul, yang juga merujuk pada makna Isytiqâq, misal ada perintah kepada Nabi saw.:
فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ ٤٨
Karena itu perintah (putuskan)-lah di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka sehingga memalingkan kamu dari kebenaran yang datang kepadamu (QS al-Maidah [5]: 48).
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩
Hendaknya kamu memerintah (memutuskan) di antara mereka berdasarkan apa yang Allah turunkan, janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka (tidak) memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).
Ayat ini tidak saja berkonotasi menerapkan hukum (sebagaimana dinyatakan oleh teks: fahkum dan wa anihkum), tetapi juga berkonotasi adanya lembaga pemerintahan (hukûmah), yang digunakan untuk menerapkan hukum tersebut. Dalam ilmu Ushul, ini disebut Dalâlah al-Iqtidhâ’.7
Konotasi Dalâlah al-Iqtidhâ’ ini juga dijelaskan dan diperkuat oleh tindakan Nabi saw. ketika mengambil baiat kepada para sahabat pada saat Baiat ‘Aqabah Kedua. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ubadah bin Shamit, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengarkan dan menaati.” (HR Muslim).
Pengambilan baiat ini dilakukan sebelum hijrah Nabi saw. ke Madinah, sebelum beliau memerintah di sana. Dengan demikian tindakan Nabi saw. ini membuktikan bahwa beliau juga membentuk lembaga pemerintahan. Pasalnya, tugas kenabian dan kerasulan tidak membutuhkan baiat dari kaum Muslim, tetapi keimanan.
Setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah, Nabi saw. telah membentuk struktur pemerintahan-nya. Lengkap. Ada kepala negara, yakni Nabi Muhammad saw. sendiri. Ada pembantu yang membantu beliau dalam mengurus pemerintahan. Mereka adalah Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khatthab. Ini sebagaimana sabda Nabi, “Dua pembantuku dari kalangan penduduk bumi adalah Abu Bakar dan ‘Umar.” (HR al-Hakim).
Karena itu sejak baginda saw. datang ke Madinah, Nabi saw. langsung memimpin kaum Muslim, melayani kepentingan mereka, mengurus urusan mereka, membentuk masyarakat Islam dan mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi. Baru kemudian dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, lalu dengan orang kafir Quraisy, penduduk Ailah, Jarba’ dan Adzrah.
Beliau juga pernah mengirim Hamzah bin Abd al-Muthallib, Muhammad bin ‘Ubaidah bin al-Harits serta Sa’ad Bin Abi Waqas dalam sebuah detasmen untuk menyerang penduduk Dumatul Jandal. Dalam beberapa pertempuran, bahkan beliau terjun langsung dengan pasukannya.
Beliau juga pernah mengangkat para wali (kepala daerah tingkat I) untuk daerah-daerah tertentu, serta para ‘amil (kepala daerah tingkat II) untuk beberapa negeri. Beliau pernah menunjuk ‘Utab bin Usaid sebagai wali di Makkah, Badzan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Muadz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali di Janad, Khalid bin al-Walid sebagai ‘amil di Shun’a’, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshari sebagai wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai wali di Zabid dan ‘Adn, Amru bin al-Ash di Oman dan Abu Dujanah sebagai ‘amil di Madinah.
Dalam keadaan tertentu Rasulullah saw. mengirim orang khusus untuk mengurusi masalah harta. Setiap tahun Rasul selalu mengutus ‘Abdullah bin Rawwahah kepada orang-orang Yahudi Khaibar untuk memungut kharaj dari hasil tanaman mereka.
Rasulullah saw. juga senantiasa memantau keadaan para wali dan ‘amil. Beliau juga memperhatikan berbagai informasi tentang mereka yang disampaikan kepada beliau.
Rasul saw. juga telah mempekerjakan orang yang secara khusus untuk mengambil zakat.
Beliau juga mengatur seluruh kepentingan rakyat dan mengangkat para penulis untuk mengatur urusan tersebut. Mereka itu layaknya seperti dirjen sebuah departemen. ‘Ali bin Abi Thalib adalah penulis perjanjian dan penulis perdamaian. Harits bin ‘Auf al-Mari mengurusi cincin beliau (yang menjadi stempel negara). Mu’aiqib bin Abi Fatimah menjadi penulis ghanîmah (harta hasil rampasan perang). Hudzaifah al-Yaman menjadi pencatat hasil pendapatan Tanah Hijaz. Zubair bin ‘Awwam menjadi pencatat zakat. Mughirah bin Syu’bah menjadi pencatat hutang serta transaksi-transaksi muamalah. Surahbil bin Hisan menjadi penulis surat kepada raja-raja. Singkatnya, dalam setiap urusan beliau selalu mengangkat notulen (penulis). Mereka bertugas mengurus urusan tersebut meskipun yang diurusi juga beragam kepentingannya.
Nabi saw. pun sering bermusyawarah dengan para sahabat baginda. Beliau tidak pernah lepas dari saran ahli ra’yu (mereka yang mempunyai pandangan) dan orang yang beliau pandang memiliki kecemerlangan berpikir dan kelebihan. Mereka semua memberikan penjelasan berdasarkan kekuatan iman, dan ketakwaan mereka, dalam rangka menyebarkan dakwah Islam. Mereka berjumlah tujuh orang dari kaum Anshar dan tujuh yang lainnya dari kaum Muhajirin. Mereka antara lain: Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Ali, Umar, Ibn Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal bin Rabbah. Beliau juga pernah meminta pendapat kepada yang lain, selain mereka. Jadi, mereka layaknya seperti majelis syura.
Nabi saw. telah menetapkan harta atas kaum Muslim serta yang lain, termasuk atas tanah, hasil panen, serta hewan, yang berupa zakat, usyûr (pungutan 1/10 di daerah perbatasan), fai’ (harta rampasan yang telah ditinggal oleh pemiliknya tanpa terjadinya peperangan), kharâj dan jizyah. Anfâl dan ghanîmah tersebut menjadi milik Baitul Mal. Adapun distribusi zakat diberikan kepada delapan kelompok, yang telah dinyatakan di dalam al-Qur’an. Sedikit pun zakat ini tidak akan diberikan kepada kelompok lain.
Begitu pula dalam urusan negara. Negara Islam tidak akan mengambil sedikitpun dari harta zakat. Untuk melayani kebutuhan rakyat, mereka akan disuplay dengan harta yang berasal dari fai’, kharâj, jizyah serta ghanîmah. Semuanya itu cukup untuk mengurusi kebutuhan negara beserta angkatan bersenjatanya. Negara tidak akan pernah merasa membutuhkan lagi harta yang lain.
Demikianlah, Rasulullah saw. membangun struktur Negara Islam sendiri, yang beliau sempurnakan semasa hidup beliau. Beliaulah yang menjadi kepala negaranya. Beliau pula yang memilih dua mu’âwin (pembantu), wali, ‘amil, qadhi, pasukan, dirjen-dirjen departemen serta majelis syura. Struktur ini, dengan segala bentuk dan otoritasnya, adalah tharîqah (metode baku) yang wajib diikuti. Semuanya ini telah dinyatakan berdasarkan riwayat yang mutawatir.
Dengan demikian Rasulullah saw. telah mewariskan bentuk pemerintahan dan struktur negara yang telah sedemikian dikenal dan teramat jelas.
Tak hanya sampai di situ, Nabi saw. juga bersabda, “Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah. Jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).
Para sahabat memahami dengan benar hadis ini. Karena itu, begitu Rasulullah saw. wafat, mereka segera berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membahas, siapa yang akan memimpin umat ini, menggantikan Rasulullah saw. Lalu mereka kemudian sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, pengganti Rasulullah, yang menduduki jabatan Khilafah, pasca Nubuwwah dan risalah itu.
Setelah Abu Bakar wafat, ‘Umar diangkat menjadi khalifah. Begitu seterusnya selama sekian abad. Terakhir, Khalifah ‘Abdul Majid dibuang ke Eropa, dan institusi Khilafah warisan Nabi ini dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, Yahudi, Inggris, Prancis dengan Kemal Attaturk. Selama 14 abad, institusi ini dipertahankan umat Islam di seluruh dunia, karena begitulah titah Nabi, “Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Khalifah Rasyidin setelahku. Gigitlah itu dengan gigi geraham.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Semuanya ini merupakan Sunnah Nabi saw. Dalam ilmu Ushul, posisi Sunnah terhadap al-Quran itu merupakan penjelasan (bayân); bisa sebagai Takhshîsh al-‘Am, Taqyîd al-Muthlaq, Tafshîl al-Mujmal dan Ilhâq al-Far’i bi al-Ashl.
Jadi jelas, semua sunnah yang telah dilakukan oleh Nabi saw. dalam konteks pemerintahan itu menjelaskan apa yang ada dalam al-Quran. Itu artinya, al-Quran jelas mengajarkan tata kelola negara. Itulah yang oleh Nabi saw. sendiri kemudian disebut Khilafah. Karena itu Khilafah jelas merupakan ajaran Islam.
Sebagai ajaran Islam, Khilafah dengan jelas tertuang dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat. Ajaran ini ada dalam khazanah umat Islam. Bahkan warisannya pun hingga kini masih bertebaran memenuhi sejarah peradaban dunia, baik di Barat, Timur, Utara maupun Selatan. Mengingkarinya, jelas kekonyolan intelektual yang luar biasa. Seperti hendak menutupi sinar matahari. Mustahil.
Namun, sejelas apapun penjelasan tersebut, jika tidak ada keimanan pada ajaran Islam, maka al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat pun pasti akan ditolak.
WalLâhu a’lam.
[KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, Dar al-Fikr, juz IX/83.
2 Lihat, Dr. Fadhil Shalih as-Sammara’i, Ma’ânî al-Abniyyah fî al-‘Arabiyyah, hal. 112-114.
3 Lihat, Radhiyuddin al-Istirbadi, Syarah as-Syâfiyyah, Juz II/142-143; az-Zamakhsyari, al-Kassyâf, Juz II/460.
4 Lihat, Ibn Mandzur, Lisân al-‘Arab, Juz IX/85.
5 Lihat, Dr. Fadhil Shalih as-Sammara’i, Ibid, hal. 45.
6 Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/.
7 Lihat, al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, juz III/64-65.