Tanya Jawab

SJ: Bolehkah Berutang dari Negara Asing?

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau

Jawaban Pertanyaan: Berutang dari Negara Asing

Kepada Ahmad Sa Saad

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

Syaikhuna, semoga Allah memuliakan engkau dengan Islam dan semoga Allah memuliakan Islam dengan engkau dan saya berdoa kepada Allah agar menjadi bagian dari orang yang membaiat engkau dengan khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu… Saya punya pertanyaan seputar masalah berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional… Pertanyaannya: kapan berutang itu boleh dan apa syarat-syarat yang karenanya boleh berutang? Apakah ada perbedaan jika negara itu negara mu’ahadah atau negara harbiyah??? Semoga Allah menolong engkau untuk apa yang di dalamnya ada kebaikan bagi Islam dan kaum Muslimin di dunia dan akhirat. Wassalâmu’alaikum wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

 

Jawab:

Wa’alaikumussalâm wa rahmatullâh wa barakâtuhu.

Tampaknya terjadi kerancuan pada Anda apa yang dinyatakan di al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah “adapun berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional, maka itu secara syar’iy tidak boleh. Sebab berutang darinya tidak terjadi kecuali dengan bunga ribawi. Dan jika tidak maka dengan syarat-syarat tertentu.” Seolah-olah Anda menduga bahwa ungkapan tersebut memberi pengertian bahwa di situ ada syarat-syarat yang dengannya boleh berutang dari negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional, lalu Anda bertanya tentang syarat-syarat tersebut. Sementara masalahnya tidak demikian. Akan tetapi, ungkapan itu memberi pengertian bahwa berutang dari negara-negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional adalah tidak boleh dikarenakan dua sebab: di dalamnya ada bunga ribawi dan di dalamnya ada syarat-syarat. Dan karena berutang itu begitu maka tidak boleh. Buku al-Amwâl menjelaskan masalah tersebut di paragraf sisanya. Di situ dinyatakan:

(Bunga ribawi adalah haram secara syar’iy, baik untuk individu atau negara. Dan syarat-syarat tersebut menjadikan negara-negara dan institusi-institusi kreditor itu memiliki kekuasaan terhadap kaum Muslimin dan membuat kehendak kaum Muslimin dan tindakan-tindakan (kebijakan-kebijakan) mereka tergadai dengan kehendak negara-negara dan institusi-institusi yang memberi utang itu. Dan yang demikian itu secara syar’iy adalah tidak boleh. Utang internasional itu termasuk musibah paling berbahaya atas negeri Islam dan termasuk sebab-sebab pemaksaan kontrol kaum kafir terhadap negeri-negeri kaum Muslimin. Dan umat mengalami derita panjang karena akibatnya. Karena itu, utang internasional itu tidak boleh bagi khalifah untuk merujuknya guna menutupi belanja atas pos-pos ini.)

Atas dasar itu, maka berutang dari negara-negara asing sesuai penjelasan di atas adalah tidak boleh. Adapun pertanyaan sisanya seputar negara asing itu jika dalam kondisi perang atau terikat perjanjian, maka masalah itu sebagai berikut:

Sesuai kaidah-kaidah utang internasional saat ini maka berutang itu tidak akan kosong dari pelanggaran-pelanggaran syara’ “riba dan syarat-syarat yang menyalahi syariah”. Atas dasar itu maka tidak boleh berutang dari negara asing, baik apakah negara asing itu negara yang sedang memerangi kita (daulah muhâribah) atau negara yang terikat perjanjian (dawlah mu’âhadah) menurut perjanjian-perjanjian internasional saat ini.

 

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

5 Shafar 1436 H

27 November 2014 M

http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_41754

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close