Pertama, ungkapan tersebut benar, itu adalah ungkapan sebagian ulama dalam memandang hubungan rakyat dan penguasa. Pada konteks ini sebenarnya yang dimaksud rakyat disini adalah mayoritas rakyat (bukan semuanya). Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan,
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن استقاموا استقامت ملوكهم وإن عدلوا عدلت عليهم وإن جاروا جارت ملوكهم وولاتهم
“Dengan perenungan akan didapati bahwa diantara hikmah Allah Ta’ala adalah Dia menjadikan perilaku para raja, pemimpin dan penguasa adalah sejenis dengan perilaku rakyatnya, bahkan seakan-akan perilaku rakyat tercermin dalam gambaran perilaku pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus maka akan lurus pula penguasa mereka. Jika rakyat adil maka akan adil pula penguasa mereka. Jika rakyat berbuat lalim maka penguasa mereka akan berbuat lalim pula.” (Lihat: Ibnu al-Qayyim, Miftah Daris Sa’adah, 2/177-178).
Kedua, sebenarnya pandangan yang lebih tepat adalah bahwa hubungan rakyat-penguasa bersifat timbal balik. Harus dilihat dari semua sisi sekaligus, yakni pemimpin itu cerminan dari mayoritas rakyatnya, mayoritas rakyat cerminan dari pemimpinnya.
Menyimak pandangan Ibnu al-Qayyim di atas, jelas bahwa salah satu tanda rusaknya rakyat adalah saat mereka tidak mau mengkritik dan meluruskan kemungkaran, termasuk kemungkaran penguasanya, mereka mendiamkannya lalu menyibukkan diri dalam memberi nasihat kepada umat supaya mereka “ridha” menerima kezhaliman. Perilaku seperti inilah yang diancam oleh Rasulullah akan diberi “hadiah” berupa pemimpin yang zhalim.
Ketiga, relasi rakyat-penguasa dengan gambaran seperti di atas (penguasa cerminan mayoritas rakyat) justru menegaskan wajibnya ada sebagian dari rakyat yang melakukan perbaikan. Melakukan amar makruf nahi munkar. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ فَيَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ
“Hendaklah kalian beramar ma’ruf nahi munkar atau Allah akan menjadikan orang-orang jahat dari kalian berkuasa, lalu orang-orang baik kalian berdoa dan doa mereka tidak dikabulkan.” (HR. al-Bazzar)
Oleh karena itu, mengkritik kebijakan penguasa termasuk amal shalih jika dilandasi niat yang ikhlas untuk memperbaiki umat. Penguasa yang baik tentu sangat memerlukan kritikan.
Keempat, relasi rakyat-penguasa juga adalah bahwa mayoritas rakyat cerminan dari pemimpinnya. Hari ini nampak dengan kasat mata bahwa rusaknya rakyat itu disebabkan oleh rusaknya penguasa, karena penguasalah yang bertanggungjawab mendidik dan menasihati rakyatnya. Imam al-Ghazali dalam Ihya’nya menyatakan:
وبالجملة إنما فسدت الرعية بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء فلولا القضاة السوء والعلماء السوء لقل فساد الملوك خوفاً من إنكارهم
“Secara umum, rusaknya rakyat itu adalah karena rusaknya para penguasanya, dan rusaknya para penguasa itu tidak lain adalah karena rusaknya para ‘ulamanya. Kalaulah bukan karena para hakim dan para ulama yang jahat, niscaya akan sedikit kerusakan pada para penguasa, lantaran mereka takut akan mendapatkan penentangan dari mereka.” (Lihat: Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin, juz 3, hlm. 64.)
Demikianlah penjelasan singkat kami, bahwa relasi rakyat-penguasa bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi (pemimpin cermin mayoritas rakyat dan mayoritas rakyat cerminan pemimpinnya). Bahkan sebenarnya ada unsur yang ketiga yakni sistem. Oleh karena itu, amar makruf dan nahi munkar dan muhasabah kepada penguasa harus tetap tegak demi memperbaiki kondisi masyarakat yang ada. Dakwah juga harus diarahkan pada perbaikan sistem, bukan hanya perbaikan personal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم»
“Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).
Wallahu a’lam. [yrt]