Fiqih

Al-Ittiba’ Wa At-Ta’assi

اَلْإِتِّبَاعُ وَالتَّأَسِّيْ

Al-Tttibâ’ merupakan bentuk mashdar dari ittaba’a–yattabi’u–ittibâ’[an]. Menurut al-Farra’ seperti dikutip oleh al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah, al-ittibâ’ artinya seseorang berjalan dan Anda berjalan di belakang dia.  Menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, al-ittibâ’ berasal dari ittaba’a, yakni berjalan di belakang orang lain dan di dalam jejaknya; atau berbuat menurut ucapan orang lain dan meneladaninya.

Dalam bahasan ini, al-ittibâ’ yang dimaksud adalah al-ittibâ’ kepada Rasul saw. (ittibâ’ ar-Rasûl saw.) berkaitan dengan apa saja yang keluar dari beliau berupa ucapan, perbuatan dan diam (taqrîr/persetujuan) beliau. Dengan ungkapan lain, al-ittibâ’ terhadap as-sunnah.

Ittibâ’ terhadap Rasul saw. adalah wajib. Allah SWT berfirman:

﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾

Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali ‘Imran [3]: 31).

Ayat ini menjadikan ittibâ’ kepada Rasul saw. sebagai keniscayaan dari kecintaan kepada Allah SWT yang hukumnya wajib. Artiya, ittibâ’ kepada Rasul saw. merupakan syarat mahabbah kepada Allah SWT. Jika tidak terealisasi syarat, yaitu ittibâ’ kepada Rasul saw., maka yang disyaratkan, yakni mahabbah kepada Allah SWT tidak tercapai. Karena mahabbah kepada Allah SWT adalah fardhu maka ittibâ’ kepada Rasul saw. menjadi fardhu.

Allah SWT juga berfirman:

﴿لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut naman Allah (QS al-Ahzab [33]: 21).

Allah SWT menjadikan peneladanan kepada Rasul saw. sebagai keniscayaan mengharap rahmat Allah SWT dan Hari Akhir. Artinya, jika tidak ada peneladanan kepada Rasul saw. maka tidak ada pengharapan atas rahmat Allah SWT dan Hari Akhir, dan itu merupakan kekufuran. Ini merupakan qarînah yang menunjukkan kewajiban at-ta’assi (penedalanan) kepada Rasul saw).

 

Tatacara Ittibâ’

Kewajiban Ittibâ’ kepada Rasul saw. ini dinyatakan secara umum.  Artinya, wajib mengikuti Rasul saw. dalam semua yang keluar dari beliau baik ucapan (seruan), perbuatan maupun diam/persetujuan beliau sesuai ketentuannya. Ittibâ’ itu berarti mengikuti ucapan, perbuatan dan taqrîr Rasul saw. sesuai ketentuannya masing-masing.

Dalam hal ini harus diperhatikan, kewajiban ittibâ’ bukan berarti wajib melakukan apa pun yang diperbuat oleh Rasul saw. Akan tetapi, pelaksanaan apa yang dilakukan oleh Rasul saw. itu sesuai dengan penunjukkan dari seruan, perbuatan ataupun taqrîr Rasul itu sendiri.

Ittibâ’ terhadap ucapan (seruan) Rasul saw. berarti mengikuti dan melaksanakan sesuai penunjukkan dari ucapan atau seruan Rasul itu. Seruan Rasul saw itu berupa perintah atau larangan maknanya merupakan thalab. Qarînah (indikasi) atas perintah dan larangan itulah yang menunjukkan arah dari perintah atau larangan itu. Jika qarînah menunjukkan perintah itu bersifat tegas, yakni memberikan makna hukum wajib, maka melaksanakan perintah itu adalah wajib. Jika qarînah menunjukkan perintah itu tidak tegas, namun lebih di-râjih-kan pelaksanaannya, artinya perintah itu adalah sunnah; melaksanakan perintah itu akan mendapat pahala meski jika tidak dilaksanakan tidak berdosa. Jika qarînah menunjukkan seruan Rasul itu berupa pilihan (takhyîr) maka melaksanakan atau tidak melaksanakan perintah itu sama saja. Sebaliknya, jika larangan itu ditunjukkan oleh qarînah sebagai larangan yang tegas, maka hukumnya haram sehingga tidak boleh dilaksanakan. Melaksanakan larangan itu akan mendapat dosa dan meninggalkannya mendapat pahala. Jika qarînah-nya menunjukkan larangan itu tidak tegas, yang memberi makna hukum makruh, maka meninggalkan larangan itu lebih di-râjih-kan dan mendapat pahala meski jika dilakukan tidak berdosa.

Begitulah ittiba’ terhadap ucapan atau seruan Rasul saw., yakni mengikuti dan melaksanakannya sesuai penunjukkan dari ucapan atau seruan itu.

Adapun diam/persetujuan (taqrîr) beliau adalah jika sesuatu perbuatan dilakukan di hadapan beliau, atau dilakukan pada masa beliau, beliau mengetahui dan bisa mengingkarinya, namun beliau diam, maka hal itu menunjukkan perbuatan itu mubah. Artinya, ittibâ’ terhadap taqrîr atau diam beliau itu berarti mengikuti perbuatan itu sebagai perbuatan yang hukumnya mubah, artinya bisa dipilih antara melakukan atau tidak melakukannya.

 

Meneladani Perbuatan Rasul saw.

Para ulama lebih sering menyebut ittibâ’ terhadap perbuatan Rasul dengan istilah meneladani perbuatan Rasul saw (at-taa’ssi bi af’âl ar-Rasûl saw.)At-Ta’assi sendiri maknanya al-iqtidâ’, yakni menjadikan teladan. Dengan begitu at-ta’assi bi af’âl ar-Rasûl saw. bermakna menjadikan perbuatan Rasul saw. sebagai teladan. Sederhananya, meneladani perbuatan Rasul saw. itu berarti meng-copy perbuatan beliau, yaitu melaksanakan perbuatan Rasul saw. sesuai dengan ketentuan perbuatan itu; mencakup potret perbuatannya, niat dan tujuannya, serta dilaksanakan karena mencontoh perbuatan beliau.

Meneladani Rasul saw. adalah wajib.  Namun, bukan berarti semua perbuatan yang pernah dilakukan Rasul saw. wajib dilaksanakan. Yang wajib adalah mencontoh perbuatan Rasul saw. sesuai dengan ketentuannya, yakni mencontoh perbuatan Rasul saw. sebagaimana beliau lakukan. Jika Rasul saw. melakukan perbuatan sebagai perbuatan wajib, kita contoh dan teladani sebagai perbuatan wajib. Jika perbuatan sunnah maka kita contoh dan teladani sebagai sebagai perbuatan sunnah. Artinya, jika tidak dilaksanakan bukan berarti tidak meneladani dan menyalahi sunnah Rasul saw. Jika perbuatan itu mubah maka kita contoh sebagai perbuatan yang mubah; boleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukan.

Melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Rasul saw. sehingga bisa disebut at-ta’assi (peneladanan) harus memenuhi sifat peneladanan itu sendiri. Meneladani perbuatan Rasul saw. adalah melakukan perbuatan itu persis dengan perbuatan beliau.  Dalam hal ini, agar bisa disebut at-ta’assi (meneladani) maka perbuatan yang kita lakukan itu harus memenuhi tiga batasan: melakukan perbuatan bi mitsli fi’lihi (persis seperti perbuatan beliau); ‘alâ wajhihi (menurut niat atau maksud beliau) dan min ajli fi’lihi (karena perbuatan beliau).  Menurut para ulama, meneladani perbuatan Rasul saw harus memenuhi tiga batasan tersebut.  Jika tidak maka tidak terkategori peneladanan (at-ta`assi) (Lihat: Al-Kamal bin al-Humam [790 –861 H/1388 – 1457 M], di antara ulama mazhab Hanafi, dalam At-Taqrîr wa at-Tahbîr, [II/404], Dar al-Fikr, Beirut, cet. I. 1996); Muhammad bin Ali bin ath-Thayib al-Bashri, Abu al-Husain [w. 436 H] dalam Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh [I/343-345], Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. I. 1403 H; Imam al-Amidi [551-631 H], di antara ulama mazhab Syafii, dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm [I/226], Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut. Cet. I. 1404 H).

 

  1. Bi mitsli fi’lihi (Persis dengan perbuatan Nabi saw.).

Maknanya, perbuatan itu sama persis dengan potret perbuatan Nabi saw.  Jika berbeda maka bukan peneladanan. Misal membasuh muka sebanyak empat kali dalam berwudhu, tidak terkategori at-ta’assi karena Rasul saw. membasuh muka tidak lebih dari tiga kali. Amr bin Syuaib menceritakan dari bapaknya dari kakeknya, bahwa seorang Arab Baduwi datang pernah kepada Nabi saw. bertanya mengenai berwudhu. Lalu ia melihat Rasul saw. berwudhu dengan tiga kali, tiga kali. Lalu beliau bersabda, “Ini (tata cara) wudhu. Siapa saja yang menambah dari ini maka ia telah berbuat buruk, melampaui batas dan zalim.” (HR Ahmad, an-Nasa’i dan Ibn Majah).

 

  1. ‘Alâ wajhihi.

Maksudnya, melaksanakan perbuatan sesuai dengan maksud, tujuan atau niat Rasul saw. melakukan perbuatan itu; yakni dari sisi apakah perbuatan itu wajib, sunnah atau mubah. Artinya, suatu perbuatan yang dilakukan persis seperti perbuatan Nabi saw., namun beda niat atau maksud, tidak bisa disebut peneladanan.  Misal Rasul saw. melakukan suatu perbuatan dengan niat sunnah, lalu kita malakukan persis seperti perbuatan Rasul saw. itu dengan niat wajib, maka itu bukan meneladani, tetapi justru menyalahi.

 

  1. Min ajli fi’lihi.

Maknanya, perbuatan itu dilaksanakan karena Rasul saw. melakukan perbuatan tersebut.  Jadi perbuatan itu dilakukan memang dengan alasan mencontoh dan meneladani Rasul saw.  Artinya, jika dua perbuatan dilakukan persis sama dan dengan niyat yang sama pula, namun bukan dimaksudkan untuk mencontoh satu sama lain, maka hal itu bukan peneladanan.

Waktu dan tempat Rasul saw. melakukan suatu perbuatan secara umum tidak masuk dalam bagian yang harus diteladani, sekalipun berulang-ulang. Namun, jika terdapat nas yang menunjukkan pengkhususan tempat dan atau waktu tertentu untuk perbuatan tertentu, maka tempat dan waktu itu menjadi bagian tak terpisahkan dari perbuatan yang harus diteladani.  Hal ini seperti pengkhususan shalat dan puasa pada waktu-waktunya, haji dengan segala manasiknya di Makkah dan pada waktu tertentu, dsb.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close