Tanya Jawab

Adakah Kriminalisasi Ulama di Era Khilafah?

Soal:

Benarkah pada era Khilafah Islam terjadi kriminalisasi terhadap ulama? Jika tidak benar, bagaimana konteksnya?

 

Jawab:

Sebelum menjelaskan realitas sejarah hubungan para ulama dengan kekuasaan, maka harus dipahami bahwa Khilafah adalah:

رِﺋَﺎسَةٌ عَامَة لِجَمِيْعِ المسْلِمِيْنَ فِي الْعَالَمِ لِتَطْبِيْقِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، وَحَمْلِ الدَّعَّوْةِ الْإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ

Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. 1

 

Karena Khilafah merupakan kepemimpinan bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia, maka Khilafah bukan hanya milik seorang khalifah, tetapi milik para ulama dan seluruh kaum Muslim. Tujuan Khilafah, sebagai zhillulLâh [bayangan Allah] di muka bumi, adalah untuk menerapkan seluruh hukum Allah, dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya itu, Khilafah juga mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia dalam rangka menerapkan hukum Allah ke luar negeri. Itulah misi Khilafah, sebagai negara yang diwariskan oleh Rasulullah saw.

Dalam mewujudkan misi dan tujuannya itu, Khilafah tidak bisa sendiri. Ia ditopang oleh masyarakat dan individu. Semuanya ini bagian dari politik Islam, sebagai satu kesatuan. Itu tampak dari fakta politik:

السِّيَاسَة هِيَ رِعَايةُ شُؤُوْنِ اْلأُمَّةِ دَاخِلِيّاً وَخَارِجِيّاً، وَتَكُوْنُ مِنْ قِبَلِ الدَّوْلَةِ وَالأُمَّةِ فَالدَّوْلَةُ هِيَ الَّتِيْ تُبَاشِرُ هَذِهِ الرِّعَايَةَ عَمَلِيّاً، وَالأُمَّة هِيَ الَّتِيْ تُحَاسِبُ بِهَا الدَّوْلَةَ

Politik adalah mengurusi urusan umat, baik di dalam maupun luar negeri, yang dilakukan oleh negara dan umat. Negara adalah pihak yang mengurus langsung secara praktis pengurusan [urusan umat] ini, sedangkan umat adalah pihak yang mengoreksi negara dalam pengurusannya. 2

 

Karena itu Islam tidak mengenal dikotomi “agamawan” dan “negarawan”. Pasalnya, baik ulama maupun penguasa kaum Muslim sama-sama menjalankan aktivitas politiknya masing-masing. Penguasa, dengan kekuasaannya, melaksanakan tugas mengurus urusan umat secara langsung, dengan menerapkan hukum Islam, dan mengemban dakwah ke luar negeri. Adapun rakyat, baik ulama maupun bukan, melaksanakan tugas mengoreksi negara dalam melaksanakan tugas mengurus urusan mereka. Semuanya itu merupakan satu-kesatuan system. Ini sebagaimana yang digambarkan oleh Nabi saw.:

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا

Perumpamaan orang yang terikat dengan hukum Allah adalah seperti orang yang mengundi tempat duduknya di atas kapal. Sebagian mendapatkan tempat di atas. Sebagian yang lain di bawah. Orang yang mendapat bagian di bawah, jika membutuhkan air, pasti akan melewati orang yang ada di atasnya. Lalu mereka berkata, “Kalau saja kita lubangi tempat kita sendiri, maka kita tidak akan menyusahkan orang yang di atas kita.” Jika yang lain membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan, maka dia akan celaka, dan semua juga akan celaka. Namun, jika mereka mencegah tangan orang itu melakukannya, maka dia akan selamat, dan mereka semuanya juga akan selamat (HR al-Bukhari).

 

Inilah gambaran sistem Islam. Karena itu, baik yang memegang kekuasaan maupun rakyat dan ulama yang di luar kekuasaan, dalam pandangan Islam, merupakan satu kesatuan. Maka dari itu di dalam Islam pun tidak ada kelompok oposisi. Meski demikian, tidak berarti dengan begitu tidak ada lagi check and balance. Tentu tidak. Pasalnya, menerapkan Islam secara praktis dan sempurna adalah kewajiban penguasa, sementara rakyat mengoreksi pelaksanaannya. Dua-duanya hukumnya wajib.

Selain itu, di dalam sistem Khilafah, ada mekanisme check and balance yang dilakukan oleh kekuasaan, baik melalui Majlis Umat, Mahkamah Mazalim sampai partai politik. Di luar itu, rakyat—baik  ulama maupun non-ulama’—mempunyai peranan untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan negara. Karena para ulama adalah orang yang paling mengerti hukum syariah tentang pengurusan urusan umat, maka mereka berada di garda terdepan dalam mengoreksi kebijakan negara, yang dianggap menyalahi hukum syariah, zalim atau merugikan kepentingan publik.

Namun demikian, yang harus diingat, Khilafah bukanlah negara teokrasi [dawlah uluhiyyah], tetapi negara manusia [dawlah basyariyyah]. Para Khalifah dan pembantunya bukanlah malaikat. Mereka manusia biasa. Karena itu mereka bisa bersalah. Negara Khilafah juga tidak ma’shûm [bebas dari kesalahan]. Namun, karena mekanisme amar makruf nahi munkar ditegakkan, begitu juga dakwah Islam dilaksanakan, maka kesalahan-kesalahan manusiawi itu bisa diselesaikan, diatasi dan ditutupi.

Itulah mengapa, sejarah Khilafah dipenuhi dengan berbagai sikap ulama yang selalu kritis terhadap kekuasaan, bukan karena oposan, tetapi karena keinginan kuat agar sistem Khilafah ini tetap on the track. Tidak keluar dari jalurnya. Muawiyah, sahabat Nabi saw. yang juga mujtahid, saat menjadi Khalifah, kebijakannya dikoreksi oleh Abu Muslim al-Khaulani di depan publik, karena dianggap salah dalam pembagian ghanîmah. Kritik Abu Muslim yang keras itu dibalas dengan kemarahan. Muawiyah pun menghilang. Ia masuk ke rumah, mandi, lalu keluar menemui khalayak, dan mengatakan, “Abu Muslim benar.” (HR Abu Nu’aim).3

Sufyan at-Tsauri juga mengkritik Khalifah al-Mahdi karena penggunaan dana Baitul Mal yang digunakan untuk haji, yang dia tidak tahu jumlahnya. Kata Sufyan, “Apa alasanmu kelak ketika di hadapan Allah tentang itu?” Saat pembantu Khalifah hendak membela dia, Sufyan mengingatkan, “Diam kamu! Fir’aun itu benar-benar binasa karena Haman dan Haman binasa karena Fir’aun.”4

Karena kritik keras yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Kailani kepada Khalifah al-Muqtafi bi AmrilLah, karena telah mengangkat Yahya bin Sa’id, yang terkenal dengan nama Ibn al-Muzahim, dan dikenal zalim, sebagai hakim [qâdhi], “Kalaulah ada kezaliman orang yang paling zalim ditimpakan kepada kaum Muslim, lalu apa yang kelak akan kamu katakan kepada Rabb semesta alam, yang Mahakasih?” Dia langsung bangkit dan memecat Ibn al-Muzahim.5

Para ulama pada masa Khilafah juga menjadi tempat rujukan para penguasa. Jawaban mereka pun tegas dan jelas. Hathith bin az-Ziyat, pernah ditanya oleh al-Hajjaj bin Yusuf, tentang dirinya. Dengan tegas Hathith menjawab, “Kamu adalah musuh Allah di muka bumi.” Bahkan ketika ditanya tentang Khalifah ‘Abdul Malik, “Dia lebih durjana daripada kamu. Kamu adalah salah satu kesalahannya.” Jawaban-jawaban pedas Hathith itu akhirnya mengantarkan beliau menjadi syahid.6

Hal yang sama juga dialami oleh Imam Ahmad. Beliau syahid di tangan al-Ma’mun. Hanya perlu dicatat, kasus-kasus seperti ini hanyalah human error, yang dilakukan manusia, karena tidak maksum.

Dari segi hukum, tindakan para penguasa itu jelas salah karena menyalahi hukum syariah. Betapapun kerasnya kritik yang dilakukan terhadap dirinya. Pasalnya, kritik tersebut merupakan bentuk aktivitas politik yang wajib dilakukan oleh para ulama sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar.

Karena itu, faktor ketakwaan masing-masing, baik penguasa maupun ulama, termasuk rakyat, ikut menentukan lurus dan tidaknya sistem pemerintahan ini. Sebagai contoh, al-Mahdi pernah disarankan oleh ar-Rabi’ untuk membunuh Sufyan ats-Tsauri karena dianggap lancang kepada sang Khalifah. Jawaban sang Khalifah, “Celaka kamu. Apakah orang seperti ini dan selevel dengan beliau kita bunuh, yang justru akan membuat kita merana untuk kebahagiannya. Tulis untuk dia sebagai Qâdhi Kufah.” 7

Tindakan al-Mahdi ini lahir dari ketakwaannya. Dia yakin, dengan membunuh ulama, justru membuat dirinya merana seumur hidup. Adapun ulama yang dibunuh justru mendapatkan kebahagiaan karena syahid bersama keyakinannya.

Namun, ketika faktor ketakwaan itu tidak ada, maka para penguasa itu akan melakukan penyimpangan demi penyimpangan. Menutup mata, telinga bahkan hati dari nasihat sekalipun nasihat itu tulus diberikan. Inilah yang terjadi pada al-Hajjaj bin Yusuf. Begitu juga ulama yang tidak mempunyai ketakwaan. Alih-alih melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa, justru sebaliknya, menjadi penjilat. Sebagaimana kisah pengkhianatan Wazir al-Qumi dan at-Tusi, di era Khilafah ‘Abbasiyyah.

Selain faktor ketakwaan, ada faktor lain: perbedaan paham dan fanatisme mazhab. Faktor perbedaan paham dan fanatisme mazhab ini berbahaya ketika menimpa penguasa. Bisa menyeret negara menjadi negara mazhab dan mazhab lain yang berbeda dengannya akan diberangus. Inilah yang terjadi pada Khalifah al-Ma’mun dan al-Mu’tashim. Keduanya menganut paham Muktazilah. Keduanya memenjarakan ulama sekelas Imam Ahmad.

Karena itu, ketika Khilafah Rasyidah yang kedua kelak berdiri dalam waktu tidak lama lagi, dengan izin dan pertolongan Allah, pondasi ketakwaan mutlak, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baik pada individu, masyarakat maupun negara. Khilafah juga bukan negara kelompok, suku, bangsa atau mazhab tertentu. Khilafah akan mengayomi dan menyatukan semua kelompok, suku, bangsa, mazhab, bahkan agama dalam naungannya. Dengan begitu, perbedaan kelompok, suku, bangsa, mazhab dan agama tidak bisa memicu terjadinya konflik vertikal maupun horizontal.

Selain itu, ada peranan yang berbeda, baik di dalam maupun di luar kekuasaan, tetapi misi dan tujuannya sama, yaitu mengurusi urusan umat, dengan menerapkan hukum syariah secara murni dan konsekuen. Mereka yang di luar kekuasaan tidak memposisikan dirinya sebagai oposisi, tetapi pengontrol jalannya pemerintahan. Karena itu keduanya justru saling menguatkan. Dengan begitu, betapapun kerasnya kritik, tidak akan dikriminalisasi karena itu merupakan kewajiban yang harus ditegakkan. Adapun apa yang terjadi dalam sejarah, itu tak lebih dari kesalahan manusia [human error].

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Dr. Mahmud Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226;  al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 34.

2        Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Afkar Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, hlm…

3        Al-Hafidz Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’; al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, V/70.

4        Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, al-Ulama’ Baina al-Hukkam, hlm. 73.

5        Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 76.

6        Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 86.

7        Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz al-Badri, Ibid, hlm. 85.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close