Nafsiyah
Adab Adalah Perhiasan
Oleh: Ustadz Yuana Ryan Tresna
Pencarian dan penguasaan terhadap ilmu yang tidak didahului dengan adab akan melahirkan petaka. Masalah terbesar bagi para pelajar dan ahli ilmu yang miskin adab adalah hilangnya keberkahan, munculnya kesombongan dan lalai dari amanah mengemban ilmu. Ini adalah musibah. Hal ini pula yang disampaikan oleh Syaikh al-Zarnuji ra. dalam memulai kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim, bahwa di zamannya banyak orang yang sungguh-sungguh belajar namun tidak mendapat hasil berupa kemanfaatan ilmu.
Para ulama salaf shalih sangat memperhatikan pada masalah adab.[1] Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf (perbedaan pendapat) ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas ra. pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “Wahai putra saudaraku, pelajarilah adab, sebelum kamu belajar ilmu.”[2]
Itulah rahasia mengapa para ulama yang mengemban ilmu menjadi orang yang ‘alim lagi tawadhu’, berbuah dalam amal, dan jujur mengemban tanggung jawab pengajaran serta dakwah.
Definisi
Ibn Hajar al-Asqalani ra. menyatakan:
وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ
“Adab artinya menerapkan segala yang terpuji, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinisikan adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia”[3]
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengartikan adab dengan:
هُوَ عِلْمُ إِصْلاَحِ اللِّسَانِ وَالْخِطَابِ، وَإِصَابَةِ مَوَاقِعِهِ، وَتَحْسِيْنِ أَلْفَاظِهِ، وَصِيَانَتِهِ عَنِ الْخَطَأِ وَالْخَلَلِ
“Adab adalah ilmu untuk memperbaiki lisan, seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat.”[4]
Banyak ulama lainnya yang mendefinisikan adab, yang pada muaranya adab adalah perhiasan pada perilaku dan lisan seorang muslim. Ia tumbuh subur dalam masyarakat Islam kala itu, dimana masyarakat Islam adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan islami, serta ada aturan Islam yang mengikatnya. Oleh karenanya, kendati adab tidak ditunjukki langsung oleh dalil dalam perinciannya, namun ia adalah sesuatu yang masyru’ (disyariatkan).
Adab dan Ilmu
Dalil keharusan memiliki adab terhadap ilmu dan ulama adalah firman Allah Swt.:
وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (QS. Al Hajj: 30).
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al Hajj: 32).
Nabi Saw. bersabda:
إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ
“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari).
Imam al-Syafi’i ra. mengatakan:
إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي
“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali”[5]
Sudah menjadi perkara yang makruf, kalau posisi adab itu lebih dahulu dari pada ilmu. Ibn al-Mubarak menyatakan:
قَالَ لِيْ مَخْلَدُ بْنِ الْحُسَيْنِ: (نَحْنُ إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ الْحَدِيْثِ)
“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan banyak hadits.”[6]
Muhammad bin Sirin menceritakan karakteristik Tabiin, “Mereka itu mempelajari tuntunan hidup (adab), sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”[7]
Imam Malik bin Anas juga menyatakan, “Hak yang menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut (kepada Allah). Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya.”[8]
Ibn an-Nakha’i mengatakan, “Mereka (generasi salaf), ketika mendatangi seseorang (ulama’) untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya.”[9]
Habib bin al-Syahid berkata, “Wahai anaku bersahabatlah dengan fuqaha dan ulama belajarlah dari mereka dan ambilah (keutamaan) adab-adab mereka, sebab hal itu lebih aku sukai dari pada (menghafal) banyak hadits”[10]
Adab terhadap Diri
Imam Ibnu Jama’ah al-Syafi’i dalam kitabnya, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, menyebutkan 10 adab penuntut ilmu kepada dirinya sendiri. Tiga hal pertama dapat kita rincikan sebagai berikut:
Pertama, membersihkan penyakit hati. Hal pertama yang harus dilakukan penuntut ilmu adalah menghilangkan segala bentuk penyakit hati yang dapat menghalangi dipahaminya ilmu. Beliau menyebutkan:
أن يطهر قلبه من كل غش ودنس وغلّ وحسد وسوء عقيدة وخلق؛ ليصلح بذلك لقبول العلم وحفظه، والاطلاع على دقائق معانيه وحقائق غوامضه
“Membersihkan hati dari segala penyakit khianat, keburukan, dendam, hasud, buruk akidah dan akhlak; agar hati mampu menerima ilmu, menghafalnya, dan memahami kedalaman makna-makna dan hakikat rahasia-rahasianya”[11]
Kedua, meluruskan niat. Menuntut ilmu semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan ridha dari Allah. Ilmu juga untuk diamalkan dan untuk menghidupkan serta menegakkan syariah. Dengan hidup dan tegaknya syariah, keberkahan ilmu akan terwujud secara kolektif. Beliau menjelaskan:
حسن النية في طلب العلم بأن يقصد به وجه الله تعالى والعمل به وإحياء الشريعة، وتنوير قلبه وتحلية باطنه والقرب من الله تعالى يوم القيامة والتعرض لما أعد لأهله من رضوانه وعظيم فضله.
“Niat yang baik dalam menuntut ilmu, hendaknya dia berniat dalam mencari ilmu untuk mengharap ridha Allah Ta’ala, beramal dengan ilmunya, menghidupkan syari’at, menyinari hati, menghiasi batin, mendekat kepada Allah ta’ala pada hari kiamat dan menghadap kepada apa yang Allah siapkan kepada pemilik ilmu berupa ridha Allah dan keagungan keutamaannya.”[12]
Ketiga, bersegera selagi masih muda dan tidak membuang waktu. Beliau menyebutkan:
أن يبادر شبابه وأوقات عمره إلى التحصيل ولا يغتر بخدع التسويف والتأميل
“Hendaknya seorang penuntut ilmu bergegas di masa mudanya dan di setiap umurnya untuk memperoleh ilmu. Janganlah tertipu dengan penundaan dan angan-angan.”[13]
Adab kepada Guru
Dasar adab kepada guru adalah firman Allah Swt. terkait pendidikan adab Nabi Khidr kepada Musa as. sebagai berikut:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? (QS. al-Kahfi: 66)
Imam Ibnu Jama’ah menyebutkan ada 13 adab yang harus diperhatikan secara seksama oleh para penuntut ilmu, tiga diantaranya adalah:
Pertama, mengikuti segala wasiat guru, karena ketundukannya kepada guru adalah kebaikan dan kemuliaan. Beliau menjelaskan:
أن ينقاد لشيخه في أموره ولا يخرج عن رأيه وتدبيره، بل يكون معه كالمريض مع الطبيب الماهر، فيشاروه فيما يقصده ويتحرى رضاه فيما يعتمده، ويبالغ في حرمته يتقرب إلى الله تعالى بخدمته، ويعلم أن ذله لشيخه عز، وخضوعه له فخر، وتواضعه له رفعة.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya taat kepada gurunya dalam segala urusan dan tidak keluar dari pendapat dan pengaturan gurunya, bahkan ia bersama gurunya seperti pasien di hadapan seorang dokter yang terampil, ia bermusyawarah tentang apa yang ia maksud dan memilih yang terbaik atas keridhaanya. Hendaknya ia maksimal dalam menghormatinya dalam bentuk taqarrub kepada Allah dengan ber-khidmah kepadanya. Dan ia mengetahui bahwa kehinaannya kepada gurunya itu merupakan kemuliaan, ketundukannya kepada gurunya merupakan kebanggaan, dan ke-tawadhuaannya kepada gurunya itu merupakan keluhuran.”[14]
Kedua, memuliakan guru dan menjaga kehormatannya dengan sepenuh keikhlasan.
أن ينظره بعين الإجلال ويعتقد فيه درجة الكمال فإن ذلك أقرب إلى نفعه به، وكان بعض السلف إذا ذهب إلى شيخه تصدق بشيء وقال: اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه مني.
“Seorang penuntut ilmu hendaknya melihat gurunya dengan pandangan penuh kehormatan dan percaya kepada gurunya dengan derajat kesempurnaan, karena hal itu lebih dekat baginya pada nilai manfaat. Sebagian salaf terbiasa apabila menghadap kepada gurunya, ia bersedekah dan berdo’a ‘Ya Allah tutuplah aib guruku dariku dan janganlah hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”[15]
Ketiga, mengetahui keutamaannya gurunya dan menjaga haknya, karena hal ini bagian dari pintu keberkahan.
أن يعرف له حقه ولا ينسى له فضله، قال شعبة: كنت إذا سمعت من الرجل الحديث كنت له عبدًا ما يحيا
“Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui hak gurunya dan tidak melupakan keutamaannya. Syu’bah berkata, “Apabila aku mendengar hadits dari seseorang maka aku menjadi budaknya selama hidupnya.”[16]
Adab kepada Ilmu yang Dipelajari
Imam Ibnu Jama’ah juga menjelaskan 13 hal yang merupakan adab penuntut ilmu terhadap ilmu yang dipelajari. Tiga hal di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, memulai belajar dari al-Quran, menghafalkan dan memahaminya. Beliau menyebutkan:
أن يبتدئ أولاً بكتاب الله العزيز فيتقنه حفظًا ويجتهد على إتقان تفسيره وسائر علومه، فإنه أصل العلوم وأمها وأهمها
“Hendaknya seorang penuntut ilmu mengawali dengan kitab Allah yang mulia, kemudian ia menguatkan hafalannya dan bersungguh-sungguh memahami tafsirnya dan seluruh ilmu-ilmunya. Karena hal itu adalah pokok segala ilmu, sumber segala ilmu, dan ilmu yang paling penting.”[17]
Kedua, belajar secara bertahap (mulai dari yang ringkas sampai yang luas), berusaha mengamalkan ilmu yang diperoleh, dan pada awal belajar tidak menyibukkan diri dalam medan perbedaan pendapat.
أن يحذر في ابتداء أمره من الاشتغال في الاختلاف بين العلماء أو بين الناس مطلقًا في العقليات والسمعيات؛ فإنه يحير الذهن ويدهش العقل، بل يتقن أولاً كتابًا واحدًا في فن واحدأو كتبًا في فنون إن كان يحتمل ذلك على طريقة واحدة يرتضيها له شيخه
“Hendaknya dia berhati-hati dalam permulaan belajarnya dari kesibukan mempelajari ikhtilaf para ulama dalam akal atau pendengaran. Karena hal itu akan membingungkan pikiran dan akalnya. Akan tetapi, mula-mula hendaklah ia memahami pada satu kitab dalam satu bidang ilmu atau beberapa kitab dalam berbagai bidang jika memungkinkan dalam satu metode yang direstui gurunya”[18]
Ketiga, setelah menghafal al-Qur’an dan memahaminya, bergegas mendengar periwayatan hadits dan mempelajari, karena hadits adalah salah satu sayap bagi seorang ‘alim dari sayap lainnya yakni al-Quran. Beliau melanjutkan:
أن يبكر بسماع الحديث ولا يهمل الاشتغال به وبعلومه والنظر في إسناده ورجاله ومعانيه وأحكامه وفوائده ولغته وتواريخه.
“Hendaknya dia bergegas untuk mendengar hadits, jangan lalai untuk selalu sibuk mempelajari hadits, ilmu-ilmunya, dan memperhatikan sanad-sanadnya, rawi-rawinya, makna-maknanya, hukum-hukumnya, faidah-faidahnya, bahasanya, dan sejarahnya.”[19]
Amanah Mengemban Ilmu
Ilmu adalah amanah. Oleh karenanya harus diwujudkan dalam amal dan penyebaran (dakwah). Belajar ilmu tidak boleh ditujukan untuk kepentingan dunia. Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
Pada diri penuntut ilmu, harus berkumpul tiga hal sekaligus: ilmu, amal, dan ikhlas. Sahl bin Abdillah al-Tustari menerangkan:
الدُّنْيَا كُلُّهَا جَهْلٌ مَوَاتٌ إِلَّا الْعِلْمَ مِنْهَا، وَالْعِلْمُ كُلُّهُ حُجَّةٌ عَلَى الْخَلْقِ إِلَّا الْعَمَلَ بِهِ، وَالْعَمَلُ كُلُّهُ هَبَاءٌ إِلَّا الْإِخْلَاصَ مِنْهُ، وَالْإِخْلَاصُ خَطْبٌ عَظِيمٌ لَا يَعْرِفُهُ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَصِلَ الْإِخْلَاصُ بِالْمَوْتِ
“Dunia ini seluruhnya adalah kebodohan dan kematian kecuali ilmu yang berada di dalamnya. Ilmu pun seluruhnya hanya akan menjadi penghujat kepada seluruh makhluk kecuali yang mengamalkannya. Amal pun seluruhnya hanya akan terhambur sia-sia kecuali yang dilandasi keikhlasan. Sedangkan keikhlasan adalah perkara besar yang tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh Allah Swt, sehingga keikhlasan itu dibawa sampai mati.”[20]
Terakhir, selain berbuah dalam amal, ilmu juga harus disebarkan dalam pengajaran dan dakwah. Itulah yang diwasiatkan Imam Sufyan al-Tsauri ketika menjelaskan marhalah belajar, dan Imam Ibnu Jama’ah ketika mengulas niat menuntut ilmu sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Penuntut ilmu dan ahli ilmu yang benar cara memperolehnya tidak mungkin berdusta dengan apa yang dipelajari, seperti mencampuradukan hak dan batil, atau menyembunyikan kebenaran. Intelektual muslim yang memanipulasi atau menyembunyikan kewajiban berhukum pada hukum-hukum Allah, menerapkan seluruh syariah-Nya dan menegakkan khilafah, adalah mereka yang tidak jujur dengan apa yang dipelajarinya. Seorang ahli hikmah mengatakan:
إخفاء العلم هلكة وإخفاء العمل نجاة
“Menyembunyikan ilmu adalah kehancuran, sedangkan menyembunyikan amal adalah keselamatan.”[21]
Penutup
Demikianlah adab sebagai perhiasan dalam lisan dan perilaku, yang dengannya kemanfaatan dan keberkahan ilmu bisa diraih dan diwujudkan. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang digambarkan oleh Imam al-Munawi saat menjelaskan hadits terkait sifat orang munafik:
“Maksudnya yaitu orang yang banyak ilmu di lidahnya, tapi bodoh hati dan amalnya. Ia menjadikan ilmu sebagai profesi yang dengan itu ia mencari makan. Ia berpenampilan penuh wibawa untuk menarik perhatian orang. Ia mengajak orang lain kepada Allah tapi ia sendiri lari dari Allah. Ia mencela aib orang lain lalu melakukan perbuatan yang lebih buruk daripadanya. Ia menampakkan ibadah dan kekhusyukan di hadapan manusia tapi melakukan dosa-dosa besar di hadapan tuhannya saat sendirian bersama-Nya. Ia adalah seekor serigala yang memakai baju.”[22] []
Penulis adalah Mudir Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung
===
[1] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 361; al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, juz 1, hlm. 80.
[2] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 6, hlm. 330.
[3] Lihat Ibn Hajar, Fath al-Bari, juz 10, hlm. 400.
[4] Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju as-Salikin, juz 2, hlm. 368.
[5] Lihat riwayat al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i, dinukil dari al-Mu’lim, hlm. 21.
[6] Lihat al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, juz 1, hlm.80.
[7] Ibid, juz 1, hlm. 79.
[8] Ibid, juz 1, hlm. 156.
[9] Ibid, juz 1, hlm. 28.
[10] Lihat Ibnu Jama’ah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim, hlm. 78.
[11] Ibid, hlm. 141.
[12] Ibid, hlm. 142.
[13] Ibid, hlm. 144.
[14] Ibid, hlm. 155.
[15] Ibid, hlm. 157.
[16] Ibid, hlm. 158.
[17] Ibid, hlm. 172.
[18] Ibid, hlm. 173.
[19] Ibid, hlm. 175.
[20] Lihat Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, juz 14, hlm. 397.
[21] Lihat Ibn Abdil Barr, Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadhlih; al-Istidzkar, hlm. 143.
[22] Lihat Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz, hlm. 419.
(Artikel Ini Dimuat di Majalah Al-Waie, Edisi Dzulhijjah, 1-31 Agustus 2019, Edisi Online: https://al-waie.id/afkar/adab-adalah-perhiasan/)