Hadits

Ma’al Hadīts al-Syarīf: Khilafah Bukan Sistem Demokrasi

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan-nya, ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Hussein bin Yazid al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb, dari ‘Uthaif bin A’yan, dari Mus’ab bin Sa’d, dari ‘Adi bin Hatim, dia berkata: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan pada leherku ada (kalung) salib yang terbuat dari emas.” Melihatnya beliau bersabda: “Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Dan aku mendengar beliau membaca (ayat al-Qur’an) dalam surat Barā’ah (at-Taubah, yang artinya), “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nashrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allāh”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka itu (para pengikut) tidaklah beribadah kepada mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka). Akan tetapi jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap halal. Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka, merekapun menganggap haram”.

Disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi:

Perkataannya: (Sedangkan pada leherku ada (kalung) salib): Salib adalah semua yang berbentuk dua garis saling berpotongan. Dikatakan dalam al-Majma’: Salib adalah kayu persegi empat yang oleh orang-orang Kristen diklaim bahwa Isa ‘alaihis salam disalib di atas kayu yang mereka gambarkan.

(Berhala, al-watsan) adalah semua yang memiliki tubuh, yang terbuat dari esensi bumi atau dari kayu dan batu, sebagai gambar manusia. (Patung, ash-shanam) adalah gambar tanpa tubuh. Dikatakan bahwa berhala (al-watsan) dan patung (ash-shanam) itu keduanya sama. Dan terkadang disebutkan bahwa berhala (al-watsan) itu yang tidak bergambar, di antaranya adalah hadits ‘Adi yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan pada lehernya ada (kalung) salib yang terbuat dari emas. Melihatnya beliau bersabda: “Hai ‘Adi, buanglah berhala itu darimu!” Demikian yang disebutkan dalam al-Majma’.

Mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allāh”, di mana mereka tetap diikuti ketika menghalalkan yang Allah haramkan, dan mengharamkan yang Allah halalkan.

Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) menghalalkan sesuatu untuk mereka”, yakni mereka menghalalkan untuk mereka apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan. Lalu mereka pun meyakininya sebagai perkara yang halal.

Jika mereka (orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka) mengharamkan sesuatu untuk mereka”, yakni mereka mengharamkan untuk mereka apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan. Lalu mereka pun meyakininya sebagai perkara yang haram.

Disebutkan di dalam Fathul Bayān: Dalam ayat ini terdapat larangan bagi yang memiliki hati, atau pendengaran, dari bertaqlid dalam agama Allah, dan mengutamakan perkataan nenek moyangnya hingga mengalahkan apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang suci. Ketaatan orang yang bermadzhab kepada yang diikutinya, dan mengikuti cara-cara ulama dari umat ini, padahal itu bertentangan dengan nash-nash, serta memiliki hujjah dan argumentasi yang kuat di sisi Allah, maka ia seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb (tuhan-tuhan) selain Allah, meski pastinya mereka tidak menyembahnya, namun mereka menaatinya, mengharamkan yang diharamkannya, dan menghalalkan yang dihalalkannya, padahal itu menyalahi apa yang dihalalkan Allah dan yang diharamkan-Nya. Inilah yang dilakukan para muqallid umat ini. Ia benar-benar serupa dengannya (Yahudi dan Nasrani), seperti serupanya telur dengan telur, kurma dengan kurma, dan air dengan air.

Imam ar-Razi berkata dalam tafsirnya: Guru dan Tuan kami, penutup para peneliti dan mujtahid radhiyallahu ‘anhu berkata: Saya melihat sekolompok para muqallid ahli fiqih, disampaikan kepada mereka banyak ayat dari al-Qur’an dalam beberapa masalah, sementara madzhab mereka bertentangan dengan ayat-ayat itu. Mereka tidak menerima ayat-ayat tersebut dan tidak pula memperhatikannya. Mereka tetap memandang saya seperti orang yang terkejut, yakni bagaimana mungkin beramal dengan zahirnya ayat-ayat ini, sementara riwayat dari para pendahulu kami berbeda dengannya. Seandainya Anda benar-benar berpikir, niscaya Anda menemukan penyakit ini berjalan di dalam pembuluh darah dari kebanyakan manusia di dunia ini!

**** **** ****

Islam berarti menyerah kepada Allah Yang Maha Esa, Yang Maha Menundukkan, Pencipta dan Pengatur semua urusan para hamba-Nya …. Hanya Dia satu-satunya yang memiliki hak untuk menentukan yang halal, yang haram, yang baik, dan yang buruk … Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kami agar berhukum kepada syari’ah-Nya yang benar dan lurus dalam semua urusan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS al-An’ām [6] : 57).

Allah subhanahu wa ta’ala melarang kami berhukum kepada selain syari’ah-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Māidah [5] : 50).

Rasulullah yang mulia menjelaskan kepada kita bagaimana penerapan syariah ini. Ketika Beliau mendirikan negara Islam yang mengurus semua urusan rakyat, Beliau menerapkan hukum-hukum syariah yang lurus dan benar, dan kemudian diteruskan oleh para khalifah, di mana mereka mengikuti petunjuknya dan menjalankan sunnahnya, mereka menerapkan sistem Islam di dalam negeri dalam mengurusi semua urusan rakyat, sementara di luar negeri mereka mengemban risalah guna menyebarkan petunjuk dan cahaya bagi alam semesta.

Sistem Islam tegak di ats empat pilar, yaitu:

1 – Kedaulatan ada di tangan syara’, bahwa legislasi dalam Islam hanya hak Allah subhānahu wa ta’āla semata, dan tidak sekutu bagi-Nya.

2 – Kekuasaan ada di tangan umat, bahwa umatlah yang memilih khalifah, yang akan menerapkan hukum-hukum Islam.

3 – Memilih satu orang khalifah wajib bagi kaum Muslim, artinya haram bagi kaum Muslim memiliki lebih dari seorang khalifah, sebagaimana haram bagi kaum Muslim memiliki lebih dari satu negara.

4 – Khalifah satu-satunya yang berhak mengadopsi hukum syariah, yang hanya diambil dari dalil-dalil syariah yang terperinci … Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas Syar’iy.

Apakah boleh bagi seorang Muslim memperjuangkan tegaknya negara demokrasi sipil, sebagai ganti dari memperjuangkan tegaknya Khilafah ‘ala minhājin nubuwah?

Ada orang-orang yang mengklaim bahwa menegakkan negara demokratis tidak melanggar Islam, sebab demokrasi berasal dari Islam, atau demokrasi tidak bertentangan dengan Islam …. Mereka itu, bisa jadi memang tidak mengetahui pertentangan yang sempurna antara sistem Islam dan sistem demokrasi, atau mereka itu orang-orang jahat yang bermaksud untuk menyesatkan umat dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengembalikan hukum Islam yang hanya bisa diwujudkan dengan tegaknya negara Islam, Khilafah.

Sebab sistem demokrasi itu artinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian, kedaulatan di dalam sistem demokrasi adalah milik rakyat. Rakyat yang membuat konstitusi melalui para wakilnya, mereka membentuk komite konstituante yang membuat konstitusi negara … Rakyat yang memberlakukan undang-undang melalui para wakilnya di Dewan Legislatif, dan rakyat yang memerintah dirinya sendiri dengan cara memilih penguasa yang akan menerapkan sistem yang dipilihnya untuk mengurus urusannya.

Pertentangan antara Islam dan demokrasi tidak terbatas pada kedaulatan ini saja, yakni hak untuk membuat undang-undang, melainkan juga meluas pada empat kebebasan yang menjadi dasar demokrasi, dan yang membuka pintu lebar-lebar bagi penyebaran kerusakan dan korupsi di muka bumi.

1 – Kebebasan beragama (hurriyah al-‘aqidah): yang berarti kebebasan untuk murtad, dan berganti agama tanpa batasan, yang semua itu dilarang oleh Islam, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Siapa saja yang mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari).

2 – Kebebasan berpendapat (hurriyah ar-ra`yi): yang berarti hak untuk mengekspresikan pendapat tanpa batas, atau pertimbangan apapun, baik sebagai individu, kelompok atau bangsa … Di sini kita melihat lahirnya kelancangan untuk menghina Islam dan kesuciannya oleh para ateis, kaum pembenci, dan orang-orang bodoh, dan bagaimana mereka dilindungi oleh sistem demokrasi dengan dalih kebebasan berekspresi … Apakah Islam membolehkan untuk menyerang kehormatan, atau berani lancang menghina hal-hal yang disucikan di bawah semboyan apa pun?

3 – Kebebasan kepemilikan (hurriyah ar-tamalluk) yang menyebabkan pihak yang kuat mengeksploitasi yang lemah dengan segala cara, sehingga yang kaya bertambah kaya, sementara yang miskin semakin miskin.

4 – Dan yang terakhir, kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), yang membolehkan laki-laki dan perempuan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan, tanpa tanpa terikat ketentuan halal atau haram.

Ya benar, bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang tidak berperikemanusiaan, yang benar-benar bertentangan dengan sistem Islam yang penuh belas kasih, yang berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang … Jadi ada perbedaan besar antara mereka yang mengalahkan Allah dalam membuat konstitusi, dan memperjuangkan tegaknya negara demokratis dengan sistem positif buatan manusia, dengan mereka yang taat dan bertakwa kepada Allah, kemudian berjuang menegakkan negara Khilafah ‘ala minhājin nubuwah, yang didasarkan pada sistem Islam, yang berasal dari Allah Yang Maha Agung! []

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close