Fiqih

Kanz al-Mâl (Menimbun Harta)

Kanzu adalah mashdar dari kanaza–yaknizu–kanz[an]. Al-Kanzu secara bahasa artinya harta yang dipendam.1 Al-Kanzu juga merupakan sebutan untuk harta yang disimpan di dalam kotak dan sebutan untuk apa saja yang disimpan di dalamnya.2  Dalam pembicaraan orang Arab, al-kanzu artinya adalah apa saja yang dikumpulkan sebagian atas sebagian yang lain, baik di dalam tanah atau di atas tanah.3  Harta yang dikumpulkan itu untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan.  Dengan demikian, al-kanzu adalah harta yang dikumpulkan dan disimpan, baik di dalam atau di atas tanah.4 


Pengumpulan harta, khususnya uang, oleh seseorang itu ada dua bentuk: menabung dan menimbun.  Jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya dengan tujuan untuk membiayai suatu rencana tertentu (misal: untuk membangun rumah, membeli kendaraan, menikah, naik haji dan sebagainya) maka pengumpulan uang semacam itu disebut menabung. Sebaliknya, jika seseorang mengumpulkan uang dan menyimpannya semata-mata hanya mengumpulkan dan menyimpannya tanpa ada rencana tertentu, pengumpulan seperti itu disebut menimbun. 

Penimbunan uang akan berpengaruh terhadap perekonomian secara umum.  Penimbunan uang itu akan mempengaruhi sirkulasi dan pertukaran harta di tengah masyarakat, dan akhrinya akan mempengaruhi jalannya roda perekonomian.  Hal itu karena pendapatan seseorang atau lembaga, tidak lain, bersumber dari orang atau lembaga lain; alat pertukarannya adalah uang. Jika seseorang menimbun uang, itu artinya uang itu tidak masuk ke pasar. Karena penimbunan itu, sirkulasi harta di masyarakat pun terganggu.  Pada taraf tertentu, jika jumlah uang yang ditimbun banyak, roda perekonomian pun akan berjalan sangat lambat dan akibatnya perekonomian akan merosot.

Namun, bahaya itu terjadi dari penimbunan uang bukan, dari menabung uang.  Sebab, uang yang ditabung itu pada waktunya akan dibelanjakan sehingga pertukaran harta terjadi sehingga sirkulasi kekayaan tetap terjadi di masyarakat dan roda perekonomian tetap berjalan.

Islam membolehkan seseorang menabung uang untuk membiayai suatu keperluan yang ia rencanakan. Islam hanya mewajibkan pengeluaran zakat dari uang yang ditabung itu jika sudah mencapai batas nishâb dan berlalu haulnya. Sebaliknya, Islam mengharamkan penimbunan emas dan perak.  Pada saat diharamkan, emas dan perak menjadi alat tukar dan standar bagi tenaga, jasa atau manfaat suatu harta.  Atas dasar itu, larangan penimbunan emas dan perak itu juga terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Artinya, larangan  itu juga mencakup larangan terhadap penimbunan uang secara umum.

Allah Swt. berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, kepada mereka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapat siksaan yang sangat pedih. (QS at-Taubah [9]: 34).

Adanya ancaman berupa siksaan yang pedih atas orang yang menimbun emas dan perak merupakan qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa larangan itu bersifat tegas (jâzim). Dengan demikian, menimbun emas dan perak hukumnya haram.  Keharaman itu bersifat pasti dan umum, alasannya:

Pertama: ayat ini bersifat umum berlaku untuk semua penimbunan emas dan perak. Keharaman menimbun emas dan perak dalam ayat ini ditunjukkan dengan penunjukan yang pasti.  Penerapan larangan menimbun dalam ayat ini hanya untuk emas dan perak yang tidak dikeluarkan zakatnya, atau dengan kata lain membolehkan penimbunan emas dan perak setelah dikeluarkan zakatnya, memerlukan adanya nash lain yang memalingkan larangan dalam ayat ini atau yang me-nasakh-nya. Padahal tidak terdapat nash yang memalingkannya atau me-nasakh-nya.  Adapun riwayat yang menyatakan bahwa emas dan perak yang dikumpulkan baik yang dipendam atau tidak, jika dikeluarkan zakatnya tidak termasuk penimbunan yang dilarang, semuanya bukanlah hadis yang sahih.  Sebabnya, riwayat-riwayat itu adalah riwayat mawqûf, yakni sanad-nya berhenti pada Sahabat dan tidak sampai kepada Nabi saw.

Kedua: ath-Thabari meriwayatkan berturut-turut dari: al-Hasan, Abd ar-Razaq, Ma‘mar dari Qatadah, Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah bahwa ia berkata: Seorang laki-laki dari kalangan Ahlush Shuffah meninggal dunia. Di sakunya terdapat uang satu dinar. Rasulullah saw. bersabda, “Kayyah (satu stempel dari api).” Kemudian seorang Ahlush Shuffah yang lain meninggal dunia dan di sakunya terdapat dua dinar. Rasulullah saw bersabda, Kayyatân (Dua stempel dari api).”

Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas‘ud.  Hal itu karena keduanya adalah orang yang hidup dari sedekah, sementara keduanya memiliki emas.  Sabda Rasul saw, kayyah dan kayyatân, itu mengisyaratkan pada larangan menimbun emas dan perak di atas. Sabda Rasul itu juga mengisyaratkan bahwa keduanya telah menimbun emas.  Hal itu karena keduanya adalah Ahlush Shuffah yang kehidupannya telah dipenuhi dari harta sedekah (zakat).  Itu menandakan bahwa keduanya menyimpan emas tersebut bukan dalam rangka menabung karena kehidupannya telah dijamin dari shadaqah.  Jumlah satu dan dua dinar jelas belum memenuhi nishâb zakat. Ini menunjukkan bahwa penimbunan emas dan perak yang terkena ancaman ayat di atas bukan hanya dalam jumlah yang sudah mencapai nishâb dan tidak dikeluarkan zakatnya. Setiap penimbunan emas dan perak berapapun terkena ancaman ayat di atas dan hukumnya haram, meski hanya satu atau dua dinar.

Ketiga: ancaman ayat di atas terkait dengan dua macam aktivitas: aktivitas menimbun emas dan perak; dan aktivitas tidak membelan-jakannya di jalan Allah. Artinya, ada orang yang tidak menimbun emas dan perak tetapi tidak membelanjakannya di jalan Allah; orang yang menimbun emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah; dan orang yang menimbun emas dan perak saja meski ia membelanjakan sebagian hartanya di jalan Allah. Semuanya terkena ancaman ayat di atas. Al-Qurthubi mengatakan di dalam tafsirnya, “Siapa yang tidak menimbun, sementara ia menahan pembelanjaanya di jalan Allah, ia mesti demikian juga (terkena ancaman ayat tersebut)”.5  Frasa di jalan Allah (fî sabîlillâh) di dalam al-Quran, jika dikaitkan dengan infak, maksudnya adalah jihad fî sabîlillâh, bukan yang lain.

Keempat: Imam Bukhari meriwayatkan dari Zaid bin Wahab tentang perbedaan pendapat Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Abu Dzar tentang ayat di atas.  Muawiyah berkata, “Ayat ini bukan untuk kita, melainkan ayat ini hanya untuk Ahlul Kitab.” Abu Dzar membantah dengan mengatakan, “Sungguh, ayat ini untuk kita dan mereka.”

Muawiyah lalu melaporkan Abu Dazar kepada Khalifah Utsman. Lalu Khalifah memanggil Abu Dazar ke Madinah, dan berlangsunglah peristiwa seperti yang diceritakan dalam riwayat tersebut.  Perbedaan pendapat yang terjadi antara Muawiyah dan Abu Dzar adalah untuk siapa ayat tersebut diturunkan.  Seandainya saat itu sudah masyhur riwayat dari Nabi saw. bahwa emas dan perak yang telah dikeluarkan zakatnya tidak termasuk al-kanzu, tentu Muawiyah akan ber-hujjah dengannya dan Abu Dzar pun akan diam karenanya.  Namun, sampai ketika Abu Dzar menghadap Khalifah Utsman sekalipun, tidak disampaikan riwayat itu meski banyak dari Sahabat yang masih tinggal di Madinah.

Kelima: kanzu adz-dzahab wa al-fidhah secara bahasa maknanya mengumpulkan/menimbun emas dan perak dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Lafal al-Quran dimaknai dengan makna bahasanya saja, kecuali terdapat makna syariah yang dinyatakan oleh nash; dalam kondisi tersebut makna syariah dikedepankan atas makna bahasa.  Lafal al-kanzu tidak terdapat makna syariahnya.  Karena itu, lafal ini dalam ayat di atas harus dimaknai menurut makna bahasanya saja.

Dengan demikian, kanzu adz-dzahab wa al-fidhah (menimbun emas dan perak) atau menimbun uang adalah mengumpulkannya dan menyimpannya baik di dalam tanah maupun di atas tanah.  Hal itu dilakukan semata untuk mengumpulkan dan menyimpannya saja, bukan untuk menabung dalam rangka membiayai suatu keperluan yang direncanakan. Semua bentuk penimbunan emas dan perak atau penimbunan uang itu hukumnya haram dan pelakunya diancam dengan siksaan yang amat pedih di akhirat kelak.  

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Catatan Kaki:

  1. Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/124, ed. Mahmud Khathir, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, thaba’ah jadidah. 1415-1995 
  2. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, V/401, Dar Shadir,
  3. Beirut, cet. I. tt3  Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî, X/121, Dar al-Fikr, Beirut. 1405 H
  4. Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, V/29, Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Mesir, cet. I. 1356 H 
  5. Al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubî, VIII/128, ed. Muhammad Abdul Halim al-Barduni, Dar asy-Sya’b, Kaero, cet. II. 1372 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close