Tanya Jawab

Siapakah Orang Kafir?

Soal:

Siapakah orang kafir itu? Apakah batasan kufur dan ragamnya? Bolehkah mengubah istilah yang paten dalam nas syariah, seperti kufur dan kafir, dengan istilah lain?

Jawab:

Istilah kufur dan kafir sebenarnya merupakan istilah syariah. Ia mempunyai fakta dan konotasi syar’i. Karena dijelaskan oleh nas syariah.

Secara bahasa, al-Azhari, berkata, al-Laits berkata, “Orang kafir disebut kafir karena kekufuran itu telah menutupi seluruh hatinya.”

Secara harfiah, kufur berarti menutupi. Orang kafir adalah orang yang mempunyai kekufuran, atau orang yang mempunyai penutup hatinya, dengan kekufurannya.1

Adapun menurut syariah:

اَلْكُفْرُ شَرْعًا ضِدُّ الْإِيْماَنِ، فَيَكُوْنُ قَوْلاً، وَعَمَلاً، وَاعْتِقَادًا، وَتَرْكاً، كَمَا أَنَّ الْإِيْماَنَ قَوْلٌ، وَعَمَلٌ وَاعْتِقَادٌ .

Kufur menurut syariah adalah kebalikan dari iman. Bisa secara lisan, tindakan, keyakinan dan meninggalkan; sebagaimana iman juga bisa dalam bentuk ucapan, perbuatan dan keyakinan.2

Menurut Syaikh ‘Alawi bin ‘Abd al-Qadir as-Saqqaf, inilah definisi yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ini berbeda dengan orang yang membatasi kufur itu pada pengingkaran, atau pengingkaran dengan hati saja, atau dengan hati dan lisan sekaligus, dan menafikan dengan tindakan atau meninggalkan perbuatan.3

Definisi lain tentang fakta kekufuran ini juga bisa kita temukan:

فَالْكُفْرُ صِفَةٌ لِكُلِّ مَنْ جَحَدَ شَيْئاً مِماَّ اِفْتَرَضَ اللهُ تَعَالَى الْإِيْمَانَ بِهِ، بَعْدَ أَنْ بَلَغَهُ ذَلِكَ سَوَاءٌ جَحَدَ بِقَلْبِهِ دُوْنَ لِسَانِهِ، أَوْ بِلِسَانِهِ دُوْنَ قَلْبِهِ، أَوْ بِهِمَا مَعًا أَوْ عَمِلَ عَمَلاً جَاءَ النَّصُّ بِأَنَّهُ مُخْرِجٌ لَهُ بِذَلِكَ عَنْ اِسْمِ الْإِيْماَنِ

Kufur adalah sifat bagi siapa saja yang mengingkari sesuatu yang Allah SWT wajibkan  untuk diyakini—setelah Dia menyampaikannya—baik menolak dengan hati saja, tanpa diucapkan, atau dengan lisan, tetapi tidak dengan hatinya, atau dengan kedua-duanya sekaligus; atau melakukan perbuatan yang dinyatakan nas, bahwa itu bisa mengeluarkan dirinya dari sebutan iman.

Ada juga yang mendefinisikan kekufuran dengan:

عَدَمُ الإِيْماَنِ بِاللهِ وَرُسُلِهِ، سَوَاءً كَانَ مَعَهُ تَكْذِيْبٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ تَكْذِيْبٌ، بَلْ شَكٌّ وَرَيْبٌ، أَوْ إِعْرَاضٌ عَنِ الإِيْماَنِ حَسَدًا أَوْ كِبْراً أَوْ اِتِّبَاعًا لِبَعْضِ الأَهْوَاءِ الصَّارِفَةِ عَنِ اتِّبَاعِ الرِّسَالَةِ

Tidak meyakini Allah dan para utusan-Nya, baik disertai pengingakaran atau tidak, tetapi cukup dengan keraguan, atau menolak beriman karena dengki atau sombong, atau mengikuti sebagai hawa nafsu yang enggan mengikuti risalah.4

Karena itu kekufuran ini, menurut Syaikh ‘Abdurrahman al-Maliki, bisa diklasifikasikan menjadi empat yaitu: keyakinan [i’tiqad], keraguan [syakk], pernyataan [qawl] dan tindakan [fi’il].

Pertama: Keyakinan. Dalam konteks ini ada dua:

  • Membenarkan dengan bulat apa yang secara qath’i dinyatakan terlarang, seperti meyakini Allah mempunyai sekutu; atau sebaliknya, seperti meyakini al-Quran bukan kalam Allah.
  • Mengingkari apa yang urgensinya dalam Islam sudah dimaklumi, seperti mengingkari jihad, potong tangan bagi pencuri, Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang disepakati para sahabat, dan sebagainya.

Kedua: Keraguan [syakk]. Misal, meragukan akidah dan apa saja yang dinyatakan dengan dalil yang qath’I; misalnya, orang yang meragukan bahwa Allah Maha Esa, meragukan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, bahwa orang yang berzina harus dicambuk, dan sebagainya.

Ketiga: Pernyataan [qawl]. Yang dimaksud adalah pernyataan yang tidak mengandung penakwilan, misalnya mengatakan bahwa al-Masih putra Allah, atau Islam itu buatan Muhammad. Jelas, orang yang menyatakan demikian kafir.

Keempat: Tindakan [fi’il]. Yang dimaksud adalah tindakan yang tidak mengandung penakwilan sedikit pun, misalnya, seseorang sujud kepada berhala, melakukan kebaktian di gereja. Jelas, dia kafir.5

Para ulama telah memilah jenis kekufuran itu menjadi lima yaitu:6

  • Kufur Inkâr, yaitu melakukan kekufuran dengan hatinya, dan menyatakannya dengan lisannya. Karena itu dia tidak meyakini Islam, dan tidak mengakuinya.
  • Kufur ‘Inâd, yaitu orang yang mengimani apa yang dibawa oleh Muhammad saw. dengan hatinya, tetapi mengingkarinya dengan lisannya dengan sengaja. Ini berbeda ketika dia mengingkari dengan lisannya karena terpaksa, untuk mengelak atau menghilangkan penyiksaan maupun hal sejenis yang tak sanggup dia tanggung, tetapi hatinya masih tetap yakin dengan keimanannya, maka dia tidak bisa dinyatakan kafir (Lihat: QS an-Nahl [16]: 106).
  • Kufur Nifâq, yaitu tidak meyakini apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dengan hatinya, tetapi dia mengakuinya secara lisan.
  • Kufur Millah, yaitu melakukan tindakan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, baik dalam bentuk keyakinan, perkataan maupun tindakan.
  • Kufur ‘Amal, yaitu tindakan maksiat [dosa besar] orang Mukmin yang tidak mengeluarkannya dari Islam, seperti membunuh orang Muslim. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis: “Sibab al-Mu’min fusuq wa qitaluhu kufr[un] (Mencela orang Mukmin itu adalah kefasikan, sedangkan memerangi [membunuh]-nya adalah kekufuran.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Adapun jenis orang kafir itu telah dinyatakan dalam al-Quran ada dua, yaitu: Ahli Kitab, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani, dan Musyrik (Lihat: QS al-Bayyinah [98]: 1).

Kekafiran Ahli Kitab dinyatakan oleh Allah SWT dalam QS al-Maidah [5]: 72 dan QS at-Taubah [9]: 30. Selain Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, disebut kafir musyrik.

Ada juga yang memasukkan Majusi dan Shabi’ah sebagai kafir yang menyerupai Ahli Kitab. Alasannya, karena mereka mempunyai lembaran suci, yang mereka yakini berisi ajaran Nabi Yahya as, yang mereka yakini sebagai utusan untuk mereka. Namun, mereka bukan Shabi’ah Paganisme.7

Memang ada ayat yang menyatakan bahwa orang Yahudi, Nasrani, Shabi’ah dan sebagainya mendapatkan pahala, dan amalnya disebut amal shalih (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 62). Ini dijelaskan oleh Syaikh ‘Atha’ Abu Rasythah, dalam tafsirnya,8  bahwa orang yang beriman, termasuk Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah, siapapun pengikut Nabi sebelumnya, yang telah melakukan amal salih, sebelum Nabi Muhammad saw. diutus, maka mereka semua berhak mendapatkan ganjaran di sisi Allah SWT.

Kesimpulan ini dijelaskan oleh Nabi saw:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأ مَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَموُتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَان مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Zat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, tak seorang pun dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar aku diutus, kemudian dia mati, dan tidak mengimani apa yang diturunkan kepadaku, maka tak ada tempat bagi dia, kecuali menjadi penghuni neraka (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam riwayat ath-Thabari dinyatakan:

مَنْ مَاتَ عَلَى دِيْن عِيْسَى قَبْلَ أَنْ يَسْمَعُ بي، فَهُوَ عَلَى خَيْرٍ، وَمَنْ سَمِعَ بِي وَلَمْ يُؤْمِنْ فَقَدْ هَلَكَ

Siapa saja yang mati mengikuti agama Nabi Isa, sebelum mendengar aku diutus, maka dia mati dalam keadaan baik. Siapa saja yang mendengar aku diutus, tetapi tidak beriman, maka dia telah binasa (HR ath-Thabari). 9

Inilah fakta dan konotasi kufur dan kafir dalam pandangan Islam. Keduanya merupakan istilah baku, dengan fakta dan konotasi yang baku, yang telah dinyatakan dalam al-Quran maupun as-Sunnah, yang tidak bisa diubah.

WalLahu a’lam.

[KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-Azhari, Tahdzib al-Lughah, Juz X/194; Ibn al-Mandzur, Lisan al-‘Arab, V/145

2        https://dorar.net/aqadia/3235/ÇáãÈÍÈ-ÇáÃæá:-ÊÚÑíÝ-ÇáßÝÑ

3        https://dorar.net/aqadia/3235/ÇáãÈÍÈ-ÇáÃæá:-ÊÚÑíÝ-ÇáßÝÑ

4        Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XII/335; Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Akham, I/45

5        Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990 M/1410 H, hal. 85-86.

6        Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, II/1650.

7        Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, II/1650-1651.

8        Al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rasythah, at-Taisir fi Ushul at-Tafsir, wa Tafsir Surat al-Baqarah, cet. I, 1998 M/1418 H, I/94-96.

9        At-Thabari, Tafsir at-Thabari, I/323.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Close
Close