Nafsiyah
Sabar Dalam Berjuang
Sabar: Tuntutan Iman dan Ketakwaan
Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (II/25) menjelaskan bahwa sifat sabar (ash-shabr) secara bahasa bermakna al-habs (menahan diri). Sifat ini wajib menghiasi orang beriman. Allah SWT telah menyandingkan sabar dengan ketakwaan, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّهُۥ مَن يَتَّقِ وَيَصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Sungguh siapa saja yang bertakwa dan bersabar, Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (QS Yusuf [12]: 90).
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT mengawali firman-Nya dengan penegasan (tawkîd). Lafal “inna” berfungsi untuk menegaskan adanya korelasi ketakwaan dengan kesabaran, yang dihubungkan oleh wâw al-’athf (huruf sambung) yang menunjukkan keterkaitan erat keduanya, tak terpisahkan. Allah SWT mengaitkan sifat sabar ini dengan keimanan, ketakwaan dan ganjaran agung bagi hamba-hamba-Nya yang bersabar:
إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ
Sungguh hanya kaum yang bersabar itu dicukupkan pahala mereka tanpa batas (QS az-Zumar [39]: 10).
Lafal innama merupakan perangkat pengkhususan (qashr), yang menguatkan isyarat atas keutamaan sifat sabar hingga diganjar dengan pahala tanpa batas. Lasananya, karena sifat sabar menopang tegaknya kebaikan seseorang yang beriman. Baik sabar dalam menegakkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya maupun sabar atas musibah yang menimpa.
Hal ini didukung oleh pujian atas keutamaan sifat sabar dalam hadis nabawi dan atsar salafush-shalih. Antara lain sebagaimana dituturkan oleh Abu Said al-Khudri ra.:
مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ شَيْئًا أَفْضَلَ مِنَ الصَّبْرِ
Tidaklah seseorang dianugerahi (oleh Allah) sesuatu yang lebih utama daripada kesabaran (HR Abu Ya’la al-Maushuli)
Sufyan bin ‘Uyainah r.a. pun menegaskan keutamaan sabar, “Tidaklah para hamba-Nya dianugerahi sesuatu yang lebih utama daripada kesabaran karena dengan sabar itulah mereka masuk surga.” (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (VII/305), Ibn Abi al-Dunya dalam Ash-Shabr (hlm. 50).
Kesabaran Meniti Jalan Perjuangan
Sifat sabar inilah yang menghiasi catatan gemilang sejarah peradaban Islam. Ini sebagaimana terlukis dalam lembaran kisah para nabi menghadapi kaum tirani (QS Ali Imran [3]: 146. Juga sebagaimana tertoreh dalam lembaran Sîrah NabiyuLlah al-Mushthafa Muhammad saw. dan para sahabatnya tatkala menghadapi persekusi kaum Kafir Quraisyi:
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang berkata kepada mereka, “Kaum (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka!” Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).
Begitu pula keteladanan salafush-shalih semisal Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Ia bersabar membela kebenaran tatkala menghadapi kekuasaan tirani kaum Muktazilah dalam fitnah khalq al-Qur’an.
Mereka semua teguh membela kebenaran dan bersabar menghadapi cobaan hingga mendapati di antara dua kebaikan: meraih kemuliaan di dunia dengan menetapi kebenaran atau meraih kemuliaan di akhirat dengan diwafatkan sebagai syuhada dengan membawa iman.
Maka dari itu, wajib bagi orang beriman, apalagi pengemban dakwah, untuk menghiasi dirinya dengan sifat sabar ini, sebagaimana pujian Rasulullah saw.:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاء شَكَرَ، فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh mengagumkan urusan orang Mukmin. Ssetiap urusannya baik. Hal demikian tak terjadi kecuali atas kaum Mukmin. Jika meraih kebahagiaan, ia bersyukur. Itu adalah kebaikan bagi dia. Jika ditimpa kesulitan, ia bersabar. Itu pun kebaikan bagi dia (HR Muslim dan ath-Thabarani).
Para pengemban dakwah di akhir zaman menyaksikan apa yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Inilah zaman saat mereka hidup bagaikan memegang bara api. Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيْهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Kelak akan datang suatu masa kepada manusia saat orang yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka bagaikan orang yang memegang bara api (HR at-Tirmidzi dan Ibn Asakir).
Pengemban dakwah dipersekusi. Khilafah dan opini dakwahnya distigma negatif. Dituduh radikal (dalam konotasi buruk), berbahaya, memecah-belah bangsa. Juga berbagai tuduhan zalim lainnya, Allah al-Musta’ân. Apakah mereka layak mundur ke belakang? Sekali-kali tidak! Mereka wajib bersabar hingga Allah anugerahkan mereka kemenangan hakiki. Jika tidak maka mereka termasuk yang merugi (la fî khusr[in]), kecuali mereka yang saling berwasiat dalam kesabaran:
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
Kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran (QS al-‘Ashr [103]: 3).
Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm (VIII/480), menjelaskan bahwa Allah SWT bersumpah dengan waktu bahwa manusia berada dalam kerugian dan kebinasaan (khasârat wa halâk). Di antara pengecualiannya adalah orang yang menegakkan firman-Nya: wa tawâshau bi al-shabr, yakni saling menasihati dalam menghadapi berbagai musibah, takdir, kezaliman orang yang ia perintahkan berbuat kebaikan dan ia larang dari kemungkaran.
Dalam penafsiran di atas tergambar bahwa sifat sabar wajib melekat ketika menghadapi kezaliman orang yang didakwahi. Kalimat tawashau bi al-shabr, yakni saling menasihati dalam kesabaran, disebutkan setelah perintah untuk saling menasihati dalam kebenaran. Kedua kalimat ini digabungkan dengan wâw al-‘athf. Ini menunjukkan pesan agung untuk konsisten dalam kebenaran (al-haq), bersabar menegakkannya danm tetap kokoh meskipun ditempa angin kencang.
Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) pun dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ (hlm. 270) menegaskan makna sabar: ats-tsabât (keteguhan) menghadapi berbagai kesulitan (asy-syadâ’id); mencakup kesulitan menegakkan kebenaran dan menampik kebatilan. Kesabaran seperti ini yang menjadi wasilah meraih pertolongan-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sungguh Allah beserta kaum yang sabar (QS al-Baqarah [2]: 153).
Menjelaskan ayat ini, ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah menjelaskan bahwa kesabaran itu tergambar dalam upaya menyampaikan kebenaran, mengamalkannya, serta mampu menghadapi cobaan di jalan Allah; berhasil menjalani itu semua berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada penyimpangan dan sikap lemah menghadapi itu semua (lihat pula: QS al-Baqarah [2]: 249; QS al-Anfal [8]: 46).
Kesabaran ini mencakup keteguhan menapaki metode dakwah Rasulullah saw., tak terpalingkan meskipun sekejap mata pada arus pragmatisme dari mereka yang belum paham. Termasuk sabar dalam menegakkan dua kefardhuan, yakni shaum dan Khilafah yang keduanya disebut baginda Nabi saw. sebagai junnah (perisai) umat. Shaum sebagai perisai individu beriman dari kemaksiatan. Khilafah sebagai penjaga penegakkan Islam, termasuk ibadah shaum dalam kehidupan. Bersabarlah, hingga Allah SWT menyeru:
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi Dia ridhai (QS al-Fajr [89]: 27-28).
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; (Dosen, Penulis Buku Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah )]