Nafsiyah
Pengemban Dakwah, Jadilah Kesatria!
(Mengambil Pelajaran dari Lafazh “Rijal”/Laki-laki dalam Beberapa Ayat al-Quran)
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Penyebutan “rajul” (bentuk tunggal) atau jamaknya “rijal” (yang artinya laki-laki) mengandung pengertian yang mengisyaratkan kepada tugas mereka yang luhur dan tekadnya yang tinggi. Seseorang disebut “rijal” karena melekat sifat sebagai kesatria. Uniknya, kata “kadang” tidak hanya merujuk kepada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan yang memiliki sifat tertentu. Di dalam al-Qur’an, penggunaan kata “rijal”, “rajul”, atau yang seakar kata dengannya, sangatlah banyak. Kalau kita perhatikan, maknanya identik dengan kebaikan. Diantaranya adalah terkait dengan ketaatan, kepemimpinan, tanggung jawab nafkah, pemakmur masjid, orang yang selalu berdzikir, kepahlawanan, dll.
Pada kesempatan ini, saya hanya akan mengungkapkan ciri “rajul” atau “rijal” dalam tiga ayat al-Qur’an yang kaitannya dengan tanggung jawab dakwah.
Pertama, QS. An-Nur: 37 yang menyifati laki-laki sebagai orang yang tidak dilalaikan dengan urusan dunia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ (37) لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (38)
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 37)
Ayat di atas selaras dengan firman-Nya yang lain:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ}
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa tidak dapat menyibukkan mereka dunia dan kegemerlapannya serta perhiasannya, juga kesenangan melakukan jual beli, dari mengingati Tuhan mereka Yang telah menciptakan mereka dan Yang memberi mereka rezeki. Mereka mengetahui bahwa pahala yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih bermanfaat bagi mereka dari¬pada harta benda yang ada di tangan mereka; karena harta benda yang ada pada mereka pasti habis, sedangkan pahala yang ada di sisi Allah kekal. Mereka lebih mendahulukan ketaatan kepada Allah dan perintah Allah serta apa yang disukai oleh-Nya.
Hasyim telah meriwayatkan dari Syaiban; ia menceritakan sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia melihat suatu kaum dari kalangan ahli pasar saat dikumandangkan seruan untuk menunaikan shalat fardu. Maka mereka meninggalkan jual beli mereka, lalu bangkit menuju tempat salat untuk menunaikan shalat. Maka Abdullah ibnu Mas’ud berkata bahwa mereka termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.” (QS. An-Nur: 37).
Kedua, QS. Yasin: 20-21 yang menyifati laki-laki sebagai orang bergegas memberikan pertolongan dan menyampaikan kebenaran.
وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20) اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21)
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas ia berkata, ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk’.” (QS. Yasin: 20-21)
Ibnu Ishaq dalam riwayatnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, Ka’bul Ahbar, dan Wahb ibnu Munabbih telah mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk negeri tersebut hampir saja membunuh utusan-utuan mereka, tetapi telanjur datang seorang laki-laki dari pinggiran kota yang datang berlari dengan cepat untuk menolong rasul-rasul itu dari ancaman kaumnya.
Menurut mereka bertiga, lelaki tersebut bernama Habib, seorang tukang tenun dan sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya adalah lepra. Dia seorang yang banyak bersedekah, separuh dari hasil kerjanya selalu ia sedekahkan, dan dia adalah seorang yang berpikiran lurus.
Umar ibnul Hakam mengatakan bahwa Habib adalah seorang uskup. Qatadah mengatakan, ia seorang ahli ibadah, yang menghabiskan usianya untuk beribadah di salah satu gua yang ada di pinggiran negeri tersebut.
{قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ}
“Ia berkata, ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu’.” (QS. Yasin: 20). Dia menganjurkan kepada kaumnya agar mengikuti para rasul tersebut yang datang kepada mereka memberi peringatan.
{اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا}
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu.” (QS. Yasin: 21). Yakni upah sebagai imbalan dari penyampaian risalahnya kepada mereka.
{وَهُمْ مُهْتَدُونَ}
“Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21). Mereka mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wa ta’ala., karenanya mereka menyeru kalian untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Ketiga, QS. Al-Ahzab: 23-24 yang menyifati laki-laki sebagai orang yang menepati janji dan senantiasa sabar dalam perjuangan.
{مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا (23) لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (24) }
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 23-24).
Setelah menceritakan perihal orang-orang munafik; mereka telah merusak perjanjian mereka sendiri yang telah mereka ikrarkan kepada Allah, bahwa mereka tidak akan lari dari medan perang. Kemudian Allah menyebutkan sifat-sifat kaum mukmin, bahwa mereka tetap berpegang teguh kepada ikrar dan janji mereka.
Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa nahbahu artinya ajalnya, sedangkan menurut Imam Bukhari janjinya. Pengertian ini merujuk kepada makna yang pertama di atas.
{وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا}
“Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23) Yakni mereka tidak mengubah janji mereka kepada Allah, tidak pula merusak atau menggantinya.
Imam Bukhari telah menuturkan riwayat dari Kharijah ibnu Zaid ibnu Sabit, dari ayahnya yang menceritakan, “Ketika kami menyalin Mus¬haf, kami kehilangan suatu ayat dari surat Ahzab, padahal aku pernah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau membacanya. Ayat itu tiada pada seorang pun kecuali ada pada (hafalan) Khuzaimah ibnu Sabit Al-Ansari radhiyallahu ‘anhu yang kesaksiannya dijadikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanding dengan kesaksian dua orang laki-laki.” Ayat tersebut adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. (Al-Ahzab: 23).
Imam Ahmad meriwayatkannya di dalam kitab musnadnya, juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab tafsir bagian dari kitab sunnahnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Imam Ahmad meriwayatkan hadits yang mengatakan bahwa sahabat Anas pernah menceritakan bahwa pamannya (yaitu Anas ibn Nadr radhiyallahu ‘anhu yang namanya sama dengannya) tidak ikut dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Badar, sehingga ia mengalami tekanan batin karenanya. Kemudian Anas ibn Nadr mengatakan, “Aku tidak ikut perang dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permulaan perang yang diikuti olehnya. Sesungguhnya jika Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan kepadaku dalam perang lain sesudah perang ini, aku akan ikut dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sungguh Allah akan menyaksikan apa yang akan kuperbuat dalam perang tersebut.”
Ia tidak berani mengatakan hal yang lebih banyak dari itu. Dalam Perang Uhud ia ikut dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berpapasan dengan Mu’az ibnu Jabal radhiyallahu ‘anhu, lalu ia berkata kepadanya, “Hai Abu Amr (nama julukan Mu’az), ke manakah engkau lari? Sesungguhnya aku benar-benar mengendus angin surga dari arah Bukit Uhud ini.” Maka Anas ibn Nadr maju memasuki barisan musuh hingga ia gugur dijalan Allah. Ternyata di dalam tubuhnya ditemukan delapan puluh luka lebih karena sabetan pedang, tusukan tombak, dan lemparan anak panah. Mereka berpandangan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh Anas ibn Nadr radhiyallahu ‘anhu dan teman-temannya yang gugur dalam perang itu, semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada mereka.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
{وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا}
“Dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23). Mereka sama sekali tidak mengubah janjinya dan tidak mengkhianatinya, bahkan mereka tetap berpegang teguh kepada janji mereka kepada Allah. Mereka tidak merusaknya, tidak seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengatakan:
{إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلا فِرَارًا}
“Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga). Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (QS. Al-Ahzab: 13)
sampai dengan firman-Nya:
{وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّونَ الأدْبَارَ}
Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah bahwa mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur). (Al-Ahzab: 15)
Penutup
Dengan demikian, tidak disebut rijal (laki-laki), kecuali mereka yang tidak dilalaikan dengan urusan dunia, yang bergegas memberikan pertolongan dan menyampaikan kebenaran kepada umat, dan mereka yang menepati janji dan senantiasa sabar dalam perjuangan.
Selain itu, hendaknya menjadi qa’id (pemimpin). Ciri utama pemimpin adalah beraktivitas dengan tujuan tertentu yang jelas.
Sesungguhnya Allah ingin menguji hamba-hamba-Nya yang beriman dengan rasa takut dan keguncangan (gentar) agar Dia membedakan mana yang berhati buruk dan mana yang berhati baik, sehingga apa yang ada di dalam hati mereka menjadi kelihatan dalam bentuk sikap dan perbuatan. Inilah karakter (sajiyyah) yang harus melekat pada pengemban dakwah: rajul dan qa’id. Wallahu a’lam.
12 April 2019