Tsaqofah
Menjawab Tuduhan dan Keraguan Seputar Khilafah Islamiyah
Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
Setelah Khilafah Islamiyah hancur di Turki tahun 1924, umat Islam dicengkram dan didominasi oleh peradaban Barat yang kafir, khususnya sistem demokrasi yang lahir dari paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Karena itu, tidak heran kalau cara pandang dan cara berpikir mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai peradaban Barat yang berpangkal pada sekularisme itu. Ide-ide Barat seperti sekularisme, demokrasi, dan pluralisme diterima lebih dulu sebagai kebenaran absolut secara taken for granted, lalu dijadikan standar untuk menilai dan menghakimi ajaran Islam. Jika suatu ajaran Islam cocok dengan nilai-nilai peradaban Barat, bolehlah diamalkan. Tapi kalau tidak cocok, ajaran Islam itu wajib diubah, diadaptasikan, dimodifikasi, dan bahkan dihancurkan agar sesuai dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, 1997:147-256).
Cara berpikir sesat seperti itulah yang merasuki kaum sekular-liberal yang membenci dan sekaligus takut dengan konsep Khilafah. Sekularisme yang merupakan pengalaman sempit dan lokal dari Barat, dianggap suci, mutlak benar, dan dapat berlaku universal. Sekularisme inilah yang kemudian digunakan untuk menghakimi dan memvonis Khilafah. Kesimpulan sidang absentia mereka, Khilafah harus dihukum dengan mengeluarkannya dari bagian ajaran Islam. Penolakan ini tentu bukan karena Khilafah bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi karena Khilafah tidak cocok dengan logika sekularisme yang menghapuskan peran agama dalam pengaturan kehidupan publik. Selain itu, kewajiban Khilafah juga ditolak karena katanya sejarah Khilafah penuh konflik yang berdarah-darah, otoriter, dan gagal. Khilafah juga dikatakan sekedar ijtihad sahabat sepeninggal Nabi SAW, yang bisa saja berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Dan seterusnya bla bla bla… (Luthfi Assyaukanie, Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim, www.islamlib.com; Jajang Jahroni, Khilafah Islam : Khilafah Yang Mana? www.islamlib.com).
Tulisan ini bertujuan memberikan jawaban dan penjelasan seputar Khilafah itu. Fokusnya adalah menjelaskan paradigma berpikir kaum sekular, yaitu paham sekularisme, yang mendasari berbagai tuduhan dan keraguan itu, serta menjawab secara langsung sejumlah tuduhan dan keraguan yang dilontarkan.
Menyoal Paradigma Sekularisme
Anda tidak bisa berpikir secara konsisten dan sistematis tanpa paradigma. Tanpa paradigma, konsep Anda akan sangat rapuh dan ringkih. Ibarat bangunan yang tidak ada pondasinya. Paradigma adalah pemikiran dasar (al-fikr al-asasi) yang menjadi asumsi dasar atau basis bagi segala pemikiran cabang. Dalam bahasa Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), paradigma itu diungkapkannya dengan istilah qa’idah fikriyah, yaitu suatu pemikiran asasi yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lain (An-Nabhani, 2001:25).
Segala macam penolakan Khilafah, sesungguhnya terbit dari satu paradigma saja, yaitu sekularisme, tidak ada yang lain. Sekularisme itulah yang dijadikan paradigma pemikiran oleh kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah. Maka dari itu, bisa dimaklumi mengapa kaum sekular-liberal sangat memuja-muja Ali Abdur Raziq (w. 1966), bekas ulama dan hakim agama di Mesir, yang dalam bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm : Bahts fi al-Khilafah wa Al-Hukumah (terbit 1925) telah menolak sistem Khilafah sebagai bagian ajaran Islam (Luthfi Assyaukanie, Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966) Peletak Dasar Teologi Modern, http://www.islamlib.com).
Padahal, secara sosio-historis, sekularisme adalah pengalaman lokal Barat, tidak universal, dan jelas tidak bisa dipaksakan atas Dunia Islam yang berbeda karakteristiknya. Th. Sumartana secara jujur mengakui :
”Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan agama dan negara sesungguhnya sejak awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep yang mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara agama dan negara di bagian dunia yang lain…” (Th. Sumartana, ”Pengantar”, dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xiv)
Mengapa sekularisme bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku bagi dunia lain, seperti Dunia Islam? Sebab, sekularisme lahir karena ada sejumlah faktor-faktor pendorong yang bersifat khas dan unik dalam masyarakat Kristen Barat. Paling tidak ada 3 (tiga) faktor pendorong lahirnya sekularisme :
Pertama, problem teks Bible,
Kedua, problem teologis Kristen,
Ketiga, problem trauma rejim agama (religious regim). (Lihat Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).
Problem teks Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) muncul antara lain karena Bible bermasalah dari segi orisinalitasnya, dan dari segi pengertiannya bila dicocokkan dengan realitas ilmu pengetahuan dan teknologi. Wajar kemudian kalau Jim Walker dan Shabir Ali (2005) menemukan 101 kontradiksi dalam Bible baik tentang kisah amoralitas, sadisme, terorisme, maupun pornografi. Bahkan jauh sebelumnya, majalah Times edisi 30 Desember 1974 memuat artikel How True is The Bible yang menyatakan, dalam Bible ada 50.000 kesalahan (Deedat, 1999:29).
Dari segi orisinalitas, teks Bible tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa aslinya. Bahasa asli Perjanjian Lama adalah Hebrew (Ibrani), dan bahasa asli Perjanjian Baru adalah Greek (Yunani). Sedang Nabi Isa AS sendiri, berbicara dalam bahasa Aramaik. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya ke dalam bahasa Latin, lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Jerman, Inggris, Perancis, dan lain-lain. Tunggu. Ini belum selesai. Dari terjemahan Inggrisnya itu, Bible lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia (Ugi Suharto, Apakah Al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika, www.insistnet.com).
Dari segi relevansi Bible dengan sains, kita dapati juga setumpuk problem. Betapa tidak, karena banyak ayat-ayat Bible yang tidak relevan dengan fakta atau kemajuan sains dan teknologi. Menurut ajaran gereja resmi, bumi itu adalah pusat tatasurya (konsep geosentris). Ini karena, menurut Bible, bumi itu tidak bergerak sehingga berbagai benda langit (seperti matahari) dianggap mengelilingi bumi. Dalam Mazmur (Psalm) pasal 93 ayat 1 dikatakan,”Yea, the world is established, it shall never be moved.” Jelas ayat ini problematis karena bertabrakan dengan fakta sains, yaitu matahari sebagai pusat tatasurya (konsep heliosentris ) seperti yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus (w. 1543) dan Galileo Galilei (w. 1642).
Contoh lain, menurut ajaran resmi gereja, bumi itu datar, seperti meja dengan empat sudutnya. Bumi bukan bulat, seperti penemuan sains dan teknologi hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan :
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten berpegang teguh dengan Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible. Problem teks inilah yang kemudian mendorong kaum Kristen Eropa untuk melakukan sekularisasi. Mereka memisahkan ajaran Kristen dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia.
Problem teologis Kristen, merupakan implikasi yang wajar dari problem teks Bible. Sebab jika teks Bible-nya sendiri bermasalah, maka konsep teologis yang lahir dari teks itu jelas akan semakin absurd dan tidak jelas. Contohnya adalah doktrin Trinitas (Tritunggal), yang lahir bukan sejak awal sejarah Kristen, tapi diputuskan ratusan tahun sesudah wafatnya Nabi Isa AS (30 M). Trinitas lahir dalam Konsili Nicea tahun 325 M pada saat Romawi di bawah Kaisar Konstantine (L. Berkhof, 1992:7, Cave, 2000:19). Doktrin Trinitas ini, menurut Thomas Aquinas, pemikir Kristen abad ke-13, dijelaskannya dengan kalimat,”Responsio dicendum quod deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari.” (That God is three and one is only known by belief, and it is no way possible to demonstratively proven by reason) [Bahwa Tuhan itu tiga dan sekaligus satu, hanya bisa diketahui dengan keimanan. Tidak ada cara yang memungkinkan untuk membuktikannya dengan akal). (Douglas C. Hall, The Trinity, Leiden : EJ Brill, 1992, hal. 67-68, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).
Karena sangat mustahilnya Trinitas itu, tokoh-tokoh Kristen sendiri gagal memberikan penjelasan dan argumentasi yang memuaskan akal (Lubis, 1990:38; Syalaby, t.t. : 88). Maka satu-satunya cara memahami Trinitas, adalah membunuh akal, tidak ada jalan lain. Tertullian berkata,”Credo quia absurdum!” (aku beriman [pada Trinitas] justru karena doktrin itu tersebut memang tidak masuk akal). Saint Augustine menyatakan,”Credo ut intellegam.” (aku percaya [Trinitas] supaya aku bisa mengerti). Sementara itu, Saint Jerome menyatakan,”De Mysterio Trinitates recta confessio est ignoratio scientia.” (Misteri Trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita memang tidak bisa memahaminya) (Syamsuddin Arif, Jejak Kristen Dalam Islamic Studies, www.insistnet.com).
Problem teologis Kristen inilah yang kemudian mendorong Eropa untuk menyingkirkan agama dari arena kehidupan. Sebab agama dianggap irasional dan melumpuhkan bahkan membunuh akal manusia.
Problem trauma rejim agama, lahir sebagai akibat berikutnya dari akumulasi problem teks Bible dan problem teologi Kristen. Ajaran Kristen yang absurd itu lantas diterapkan dalam pemerintahan berlandaskan agama (religious regime) yang merupakan kolaborasi antara gereja dan negara (para raja dan kaisar) di Eropa sepanjang Abad Pertengahan. Raja dianggap wakil Tuhan di bumi, berdasarkan hak-hak ketuhanan yang dipunyai raja (Divine Rights of King). Karena itu, segala kata dan perbuatan raja tak bisa salah (infallible) (ingat sembnoyan The King can do no wrong). Rejim agama ini terjadi sejak tahun 325 ketika Kaisar Konstantine mengadopsi Kristen sebagai agama negara, dan berakhir ketika meledak Revolusi Perancis tahun 1789 yang bersemboyankan seruan Voltaire (w. 1778) : ”Gantunglah Raja terakhir dengan usus pendeta terakhir!” (George Weigel, 2003:45).
Barat mengalami trauma dengan banyaknya pengalaman buruk dan mengerikan ketika mereka menerapkan religious regimes tersebut. Rejim ini telah menimbulkan pembantaian jutaan manusia lewat inquisisi terhadap orang yang dianggap heresy (keluar dari doktrin resmi gereja), pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (ex-communication), penjualan surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain. Orang Perancis akan terus mengenang pembantaian kaum Protestan oleh kaum Katolik di Paris tahun 1527, yang dikenal dengan The St. Bartholomew’s Day Massacre. Hanya dalam satu malam, sekali lagi satu malam, sekitar 10.000 orang Protestan mati disembelih orang Katolik. Selama berminggu-minggu, jalan-jalan di Paris berlumuran darah dan dipenuhi dengan ratusan ton mayat kaum Protestan yang bergelimpangan dan membusuk (Abdullah Nashih Ulwan, 1996:75). Lembaga Inquisisi di dataran Katolik dan Protestan Eropa antara tahun 1450 hingga 1800 telah menyiksa dengan kejam dan menghilangkan sekitar 5.000.000 nyawa, di mana 85 % korban penyiksaan adalah kaum wanita. Sekitar 2.000.000 sampai 4.000.000 wanita dibakar hidup-hidup (Peter de Rosa, Vicars of Christ, London : Bantam Press, 1991, hal. 239, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).
Jadi dalam sejarah Barat, ketika agama dan negara disatukan dalam sebuah religious regim, memang menimbulkan malapetaka dan penderitaan yang sedemikian dahsyatnya. Sehingga wajar dan sangat bisa dimaklumi, kalau Barat lalu menyerukan sekularisme agar agama dan negara terpisah.
Nah, tiga faktor di atas, yaitu problem teks Bible, problem teologis Kristen, dan trauma rejim agama Kristen, semuanya berakumulasi dan berujung pada satu titik yang tidak boleh tidak memang harus terjadi dalam sejarah Barat yang Kristen, yaitu sekularisasi. Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa Friedrich Gogarten (w. 1967) seorang teolog Protestan Jerman menyimpulkan,”[Secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith.” (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristen) (Lihat bukunya Verhagnis und Hoffnung der Neuzeit : die Sakularisierung als Theologhisches Problem [Nasib dan Harapan Zaman Kita : Sekularisasi Sebagai Suatu Problem Teologis], Stuttgart : 1958).
Maka, benarlah bahwa sekularisme memang bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku di Dunia Islam. Sebab faktor-faktor pendorong sekularisme yang telah diterangkan tadi, memang bersifat unik dan khas sebagai problem Dunia Kristen Barat. Islam sungguh tidak pernah mempunyai faktor-faktor tersebut, atau tidak pernah mengalami faktor-faktor tersebut dalam kadar yang mendekati atau setara dengan pengalaman Barat. Teks Al-Qur`an tidak pernah mengalami nasib sedemikian tragis dan mengenaskan seperti teks Bible. Teks Al-Qur`an yang kita baca saat ini, adalah betul-betul sama dengan yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW (w. 632 M). Teologi Islam (ilmu kalam) tidak pernah pula mengalami perbedaan pandangan yang sedemikian mendasar seperti teologi Kristen. Teologi Islam sepakat tuhan itu satu, berbeda dengan teologi Kristen yang masih memperdebatkan apakah tuhan itu satu atau tiga dalam Konsili Nicea tahun 325. Khilafah Islam pun sepanjang sejarahnya selama 13 abad tidak pernah melakukan satu pun kezaliman yang kejamnya mendekati (apalagi melampaui) kekejaman luar biasa dari rejim-rejim agama Kristen di Abad Pertengahan.
Jadi, secara sosio-historis sekularisme itu betul-betul asli dan alamiah made in peradaban Barat yang Kristen. Tidak lahir dari Dunia Islam. Karena itu, kalau kemudian kaum liberal kerasukan paham sekularisme ini, lalu menjadikannya paradigma berpikir untuk menolak konsep Khilafah, berarti mereka telah terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kebodohan yang tiada bandingannya. Na’uzhu billah min dzalik !
Sejumlah Tuduhan dan Jawabannya
Sejumlah kecaman, tuduhan, dan fitnahan telah dilontarkan oleh kaum sekuler untuk menyerang konsep Khilafah. Jika ditelaah dengan cermat dan seksama, berbagai tuduhan itu menyiratkan 3 (tiga) hal penting :
Pertama, paradigma yang melandasi bermacam tuduhan itu adalah sekularisme, bukan yang lain.
Kedua, berbagai tuduhan itu secara implisit telah menggunakan perspektif nilai-nilai Barat dan didasarkan pada pengalaman historis Barat.
Ketiga, seringkali tuduhan itu menunjukkan bahwa penuduhnya tidak memahami persoalan, atau memang sengaja melakukan disinformasi untuk kepentingan penyesatan.
Sesungguhnya berbagai tuduhan itu akan gugur dengan sendirinya setelah kita tahu bahwa bahwa paradigmanya (yaitu sekularisme) adalah paradigma yang keliru dan sesat. Berbagai tuduhan itu dapat diumpamakan cabang dan ranting pohon yang berasal dari akar yang sama. Jika akarnya telah tercerabut dari tanah, maka seluruh bagian pohon tidak akan bisa berdiri tegak dan akan roboh dengan sendirinya. Firman Allah SWT (artinya):
”Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (QS Ibrahim [14] : 26)
Berikut ini beberapa tuduhan terhadap Khilafah yang berasal dari berbagai sumber, terutama www.islamlib.com, dan juga jawabannya dari berbagai sumber, terutama www.hizbut-tahrir.or.id :
Tuduhan 1 : Khilafah itu utopis dan absurd, karena mengandaikan satu payung politik untuk negeri-negeri muslim di seluruh dunia
Jawaban :
(1) Kalau mewujudkan Khilafah dikatakan sulit, memang benar. Kalau utopis, tidak. Menggunakan kata ”utopis” untuk sesuatu yang masih mungkin, adalah suatu kesalahan. Sebab utopis itu artinya adalah cita-cita yang yang tak mungkin tercapai (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:1139). Utopis berasal dari kata utopia yang awalnya adalah judul buku penulis Inggris Thomas More (1478-1535) yang terbit tahun 1516 (Ebenstein & Fogelman, 1994:208). Isinya menjelaskan suatu negara yang serba indah dan baik, yang hanya ada dalam angan-angan (W. Surya Endra, Kamus Politik, hal. 323).
(2) Khilafah yang merupakan satu negara untuk seluruh kaum muslimin di dunia, pembentukannya tentu tidak serta merta dan dalam satu waktu. Kalau ini jelas tak mungkin dan suatu hil yang mustahal. Caranya, menurut An-Nabhani, adalah dengan lebih dulu mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim di Dunia Islam, lalu Khilafah itu terus berekspansi untuk memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya (An-Nabhani, At-Takattul Al-Hizbi, 2001:6-7). Ini tidak mustahil, sebab dulu Rasul pun lebih dulu mendirikan Dawlah Islamiyah hanya sebatas kota Madinah. Tapi saat beliau wafat, wilayah Islam telah meluas meliputi seluruh jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, dan UEA. Perluasan wilayah Islam terus dilanjutkan para khalifah sesudahnya hingga wilayah kekuasaan keKhilafahan meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa.
(3) Banyak ayat dan hadits yang memprediksikan kembalinya Khilafah. Misalkan QS 24 : 55, dan hadits Nabi SAW riwayat Ahmad dan Al-Bazzar bahwa setelah masa Nubuwwah, ada fase Khilafah Rasyidah, lalu mulkan ‘adhan (kekuasaan yang menggigit), mulkan jabriyan (kekuasaan yang memaksa), dan setelahnya akan muncul lagi Khilafah ala minhajin nubuwwah.
Tuduhan 2 : Khilafah tidak populer dan feasible (layak), karena bertentangan dengan konsep negara bangsa (nation state) yang disepakati semua manusia modern
Jawaban :
(1) Kalau pun konsep negara bangsa telah disepakati semua manusia, bukan berarti konsep itu benar dalam pandangan Islam. Sebaliknya, sesuatu yang tidak disukai oleh seluruh manusia, belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam (lihat QS 2:216). Siapa yang bisa menjamin bahwa sesuatu yang disepakati seluruh manusia adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah? Bahkan Allah SWT berfirman (artinya) :
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 116)
(2) Format Dunia Islam yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan konsep negara bangsa, adalah hasil rekayasa penjajah kafir. Terutama pasca PD I dan PD II. Kondisi ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam dari Al-Qur`an, Al-Hadits, dan Ijma’ Shahabat yang mewajibkan persatuan umat di bawah satu negara. Firman Allah SWT (artinya) :
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai.” (QS Ali ’Imran [3] : 103)
Sabda Rasulullah SAW,”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim)
Dalam kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah Juz V hal. 416 disebutkan, ”Para imam yang empat sepakat…bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dua mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.”
Jadi, mendukung konsep negara bangsa artinya adalah mendukung terpecah belahnya umat Islam. Itu adalah dukungan terhadap hegemoni dan dominasi kaum penjajah yang kafir.
(3) Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran umat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena meyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah mereka akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rasulullah SAW dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam sedunia (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, http://www.hizbut-tahrir.or.id).
Tuduhan 3 : Khilafah telah gagal dan tidak berjalan sempurna, karena terbukti 3 khalifahnya dalam Khilafah Rasyidah (Umar, Ali, Utsman) mati terbunuh
Jawaban :
(1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah (konsep) dan thariqah (metode pelaksanaan konsep). Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan. Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, yaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu berpraktik mengaplikasikan konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.
(2) Tuduhan itu terlampau menggeneralisir (over generalization) dan menyederhanakan masalah (over simplification), seakan-akan sejarah keKhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa keKhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M? Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.
(3) Keliru pula menyimpulkan bahwa karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.
(4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ? (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, http://www.hizbut-tahrir.or.id)
Tuduhan 4 : Khilafah hanya mungkin diterapkan dalam wilayah geografi sempit dengan komunitas politik yang relatif seragam
Jawaban :
(1) Untuk menjawabnya, cukup pihak penuduh disadarkan, bahwa dia tidak paham fakta sejarah. Apakah kita menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan keKhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rasulllah SAW wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa ( Arab Saudi, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain). Ini berarti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah kita masih mengatakan wilayah geografis terbatas terbatas?
(2) Masalah homogenitas, juga terjadi kekeliruan pada pihak penuduh. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat heteregon : terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komunitas Yahudi. Saat keKhilafahan meluas, di Mesir, Irak, Iran, Syiria, Spanyol terdapat komunitas Kristen, Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya. Argumentasi kondisi faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeda juga lemah untuk menolak keberadaan Khilafah. Perlu diketahui di masa Rasulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeda, tapi Rasulullah SAW berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam. (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, http://www.hizbut-tahrir.or.id)
Tuduhan 5 : Khilafah bukan sebuah bentuk kekuasaan yang diwajibkan agama, tapi hanya ijtihad politik sahabat sepeninggal Nabi, terbukti dari tidak adanya sistem pengangkatan khalifah yang baku antara Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali
Jawaban :
(1) Benar, bahwa tidak ada tatacara teknis yang baku dalam pengangkatan khalifah. Tapi menyimpulkan tidak adanya sistem pemerintahan Islam dari kenyataan itu jelas sangat gegabah. Sebab, yang berbeda hanyalah tatacara teknis pembaiatan (uslub ba’iah), bukan metode pengangkatan khalifah (thariqah nashb al-khalifah), yaitu baiat. Jadi, harus dibedakan antara baiat (sebagai metode yang baku), dengan prosedur teknis sebelum baiat yang boleh berubah-ubah. Semua khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) menjadi khalifah hanya dengan baiat. Tidak ada metode lain. Tidak ada yang tanpa baiat. Yang berbeda hanyalah prosedur teknis yang ditempuh sebelum baiat dilakukan. Abu Bakar dibaiat oleh umat dari hasil syura di Saqifah Bani Saidah. Umar dibaiat oleh umat, setelah sebelumnya dicalonkan oleh Abu Bakar berdasarkan mandat umat kepada Abu Bakar. Utsman dibaiat oleh umat setelah Umar (atas mandat umat) membentuk komisi pemilihan khalifah yang bertugas memilih satu khalifah di antara mereka. Ali dibaiat oleh umat setelah Utsman wafat dan muncul dukungan dan tuntutan langsung dari umat untuk membaiat Ali (Abdul Qadim Zallum, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 72-85)
(2) Khilafah bukanlah ijtihad sahabat, melainkan Ijma’ Sahabat. Jika benar Khilafah ijtihad sahabat, niscaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeda pendapat, yaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat, apakah si A atau si B yang akan menjadi khalifah. Bukan perbedaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak. Walhasil, kenyataannya, dan yang terjadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Padahal Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Adapun fakta sejarah yang terjadi setelah masa sahabat, tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam penetapan hukum syara’. Sebab kenyataan sejarah bukanlah sumber hukum. Jadi, andaikan setelah Khilafah Rasyidah terjadi proses pewarisan turun temurun dalam Khilafah Bani Umayyah dan Abbasiyah, maka itu hanya sekedar fakta, bukan suatu dalil syar’i. Andaikata saja setelah Khilafah Rasyidah sistem pemerintahan berganti menjadi selain Khilafah (ini andaikata saja), bukan berarti sistem selain Khilafah itu lantas boleh menurut syariah. Itu hanya fakta sejarah, bukan sumber hukum.
Tuduhan 6 : Khilafah dalam sejarah itu despotis (sewenang-wenang) dan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena khalifahnya adalah wakil Tuhan di muka bumi
Jawaban :
(1) Tuduhan bahwa dalam sistem Khilafah tidak ada mekanisme kritik dan pertanggungjawaban menunjukkan penuduh tidak mengerti tentang sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, kritik bukan hanya boleh bahkan ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan Islam. Mekanisme kritik ada 3 (tiga) :
Pertama, bisa dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Tidak kurang Rasulullah SAW sendiri pernah mendapatkan kritik dari para sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah yang dinilai terlalu menguntungkan kafir Quraisy. Khalifah Abu Bakar juga pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khatab dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Sementara, saat menjadi khalifah, Umar bin Khatab juga tidak sepi dari kritik. Di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes kebijakan Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham. Umar menerima kritik itu seraya mengatakan, “Wanita itu benar, Umar salah”.
Kedua, kritik juga bisa dilakukan melalui wakil rakyat (majelis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem Khilafah, anggota majelis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.
Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah). Tentu saja khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini.
(2) Muncul pertanyaan, bagaimana kalau khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan pengadilan? Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh karena rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahwa khalifah menyimpang dari syariat Islam. Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap syariat Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan khalifah. Soal ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab tegas boleh bila memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata (kufran bawahan).
(3) Jadi jelaslah bahwa dalam sistem Khilafah terdapat mekanisme yang sangat gamblang tentang bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang harus diakui pelaksanaan syariah Islam di masa pemerintahan keKhilafahan pada kenyataannya tidaklah selalu berjalan mulus. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem manusiawi (basyariah), yang bagaimana pun tetap dijalankan oleh manusia biasa yang bisa keliru atau menyimpang. Bukan oleh para malaikat atau orang yang maksum (infallible). Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa menilai sistem Khilafah hanya didasarkan pada adanya penyimpangan praktek sistem ini di masa lalu tidaklah tepat, tapi haruslah merujuk kepada sumber ide dan hukumnya yakni al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang. Demikian juga dengan sistem Khilafah. Karena itulah dalam sistem Khilafah ada kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem Khilafah hanya berdasarkan penyimpangan pelaksanannya di masa lalu seperti yang dilakukan oleh penuduh jelas akan menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini sesungguhnya. Kecuali kalau itu memang sengaja dilakukan untuk maksud tertentu.
(4) Penuduh telah menggunakan perspektif Barat bahwa Khilafah adalah sistem teokrasi, di mana raja adalah waki ltuhan di bumi. Padahal sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syekh Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi. Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membedakan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan (al-siyadah) memang ditangan syaari’ (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Sedang bicara tentang kekuasaan berarti berhubungan dengan siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of power).
Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah Allah SWT yang telah menurunkan Al-Qur’an dan as-Sunnah guna mengatur kehidupan manusia. Sementara, makna bahwa kekuasaan (al-sultan) di tangan rakyat adalah tak boleh seorang pun mengaku sebagai penguasa (khalifah) kecuali atas pilihan rakyat. Dan ketika seorang khalifah dipilih oleh rakyat, ia semata dipilih untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariah Islam). Karena itu kata-kata, kebijakan atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis sebagai kata-kata Tuhan yang lantas mutlak harus diikuti dan tidak boleh dikritik, apalagi bila nyata-nyata ucapan dan perintah itu bertentangan dengan syariah. Rasullah Muhammad saw sendiri pernah menyatakan: “Tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt”. Maka, khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, keputusan khalifah baru boleh ditaati selama merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak, bukan hanya tidak boleh, bahkan wajib ditolak dan dikritik keras. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengoreksi penguasa (khalifah) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang sangat tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam)”. Mereka yang dibunuh akibat mengoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar setara saiyyudusyuhada (pemimpin para syahid) (M. Ismail Yusanto, Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id).
Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita mengetahui tujuan tuduhan-tuduhan kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah itu. Sesungguhnya, berbagai tuduhan itu tujuannya adalah : Pertama, agar umat Islam tersesat dan tertipu lalu menolak Khilafah yang sebenarnya sudah diketahui merupakan bagian ajaran Islam yang sangat penting (ma’luum min al-din bi al-dharurah). Kedua, agar umat Islam terus menerus menderita di bawah tindasan sistem sekuler yang kufur yang dipaksakan penjajah kafir atas umat Islam.
Jadi, segala macam tuduhan itu dimaksudkan untuk menjegal perjuangan umat yang ikhlas untuk mengembalikan Khilafah, serta untuk menjustifikasi dominasi penguasa sekuler yang menjadi antek-antek kaum penjajah kafir, khususnya Amerika Serikat.
*Makalah ini disampaikan dalam dalam Seminar Nasional Sehari Bertema Meneropong Perjalanan Spiritual Dan Politik An-Nabhani Dan Sayyid Qutb Dalam Merekonstruksi Khilafah, Sub Tema Menjawab Tuduhan Dan Keraguan Seputar Khilafah Islamiyah, hasil kerjasama MT-FUNA Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan KSPEI Malang, pada Sabtu 26 Maret 2005, di Widyaloka Convention Hall Universitas Brawijaya.