Tanya Jawab
Masalah Qira’ah Mutawatirah untuk al-Qur’an al-Karim
Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu amiruna al-jalil. Saya memohon kepada Allah yang Maha Kuasa agar Anda selalu dalam kesehatan dan kebugaran dan saya memohon kepada Allah SWT agar menolong dan meneguhkan Anda. Saya ingin mengajukan satu topik, saya memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada saya tentangnya, dan seandainya Anda berkenan menelaah dan menetapkan seputar topik itu.
Di dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I pada bagian “Kebutuhan Hari ini Kepada Para Mufassir”, ketika kita membicarakan tentang kecukupan bahasa arab menggunakan sebagian lafal yang sinonimnya atau mendekatinya selama makna yang dimaksud tetap dalam kelurusannya. Dan dalam topik qiraah, kita menyampaikan contoh pada halaman 309 dan saya berharap bahwa kita berada di sisi yang shawab, yaitu firman Allah SWT:
﴿لَنُبَوِّئَنَّهُم مِّنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا﴾
“Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga” (TQS al-‘Ankabut [29]: 58).
Ketika kita menetapkannya dengan qiraah Abu Ja’far dari dua riwayatnya:
﴿لَنُبَوِّيَـنَّهُمْ مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفاً﴾
“Sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga” (TQS al-‘Ankabut [29]: 58).
Dan ini dari dua sisi:
Pertama, benar bahwa Abu Ja’far membacanya dengan mengganti al-hamzah dengan al-ya`, namun ia membaca dengan shilah mîm jamak sebagai satu kata “lanubawwiyannahumu min”. Begitulah, tidak ada idgham huruf mîm pada kata nubawwiyannahumu dengan mîm huruf min sebagaimana contoh di dalam buku halaman 309. Dan qira`ah dengan ibdâl (penggantian) dengan idgham mîm tidak ada di dalam qira`ah wutawatirah manapun. Perkara lain, hukum penggantian tidak berpengaruh dalam makna kata tersebut dan itu bagian dari hukum-hukum ushul. Dan selama topiknya tentang kecukupan bahasa arab dengan lafal-lafal dari apa yang sinonimnya atau mendekatinya maka ini tidak layak sebagai contoh. Sebab makna bawa`a (بَوَأَ) atau bawâ (بَوَا) tidak berbeda sebab kata tersebut adalah kata yang sama tetapi dengan hukum al-ibdâl (penggantian).
Kedua: bahwa contoh itu benar jika kita mengganti qiraah Hamzah atau al-Kisa`iy atau Khalfu al-‘Asyir dengan qiraah Abu Ja’far. Dan ini karena mereka membacanya:
لَنُثْوِيَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا
Dan huruf ats-tsâ` berbeda dari at-tabwi`ah dari sisi asalnya. Dan ini yang dituntut oleh konteks, wallâh a’lam. Ya Allah, jika aku shawab maka itu berasal dari-Mu dan jika aku keliru maka dari diriku sendiri. Dan aku memohon kepada Allah agar menjadikan kita bersama orang-orang yang berpartisipasi dalam menjaga tsaqafah ini tetap murni. Dan semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda dan menolong Anda serta meneguhkan Anda. [Ashraf Bader]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa baik Anda untuk kami …
Pertanyaan Anda atau kutipan komentar Anda adalah pada topik berikut dari kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I:
[ … adapun dari sisi tasharruf dalam mufradât (kosa kata) dan itu pada susunan (tarkîb)nya atau tasharruf pada tarkîb, maka di situ al-Quran berjalan di atas kebiasaan-kebiasaan orang arab yang al-Quran diturunkan dengan lisan (bahasa) mereka. Meski ada kemukjizatan al-Quran untuk orang Arab, di dalam al-Quran tidak terjadi peralihan dari tradisi yang terus menerus milik mereka dalam tasharruf menggunakan ucapan. Realitanya dari aspek ini adalah realita kebiasaan-kebiasaan orang Arab dalam hal itu …
Hal itu terjadi di dalam al-Quran dalam kecukupan menggunakan sebagian lafal dari apa yang sinonimnya atau mendekatinya. Misalnya, qiraah di dalam al-Quran:
﴿مَٰـلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ﴾، ﴿مَلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ﴾، ﴿وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ﴾، ﴿وَمَا يُخَادِعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ﴾، ﴿لَنُبَوِّئَـنَّهُمْ مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفاً﴾، ﴿لَنُبَوِّيَـنَّهُمْ مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفاً﴾
Dan ayat-ayat lainnya menurut qiraah], selesai.
Dan Anda memandang bahwa di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I ada kekeliruan di dua tempat:
Pertama, menjadikan mîm pada linubawwiyannahumu di dalam buku tersebut disukun, yang memberitahukan idghamnya pada al-mîm berikutnya pada huruf min. Begitulah, tampak al-mîm pada huruf min ditasydid di dalam buku tersebut, dan dengan itu menunjukkan idgham. Dan ini tidak benar menurut pandangan Anda sebab lanubawwiyannahum dan itu qiraah Abu Ja’far adalah dengan shilah mîm jamak sehingga tidak ada idgham untuk al-mîm di situ.
Kedua, contoh dengan qiraah lanubawwiyannahumu tidak layak karena lafal lanubawwiyannahumu adalah seperti lafal lanubawwi`annahum dalam makna. Dan semua dalam perkara tersebut, bahwa terjadi penggantian huruf al-hamzah diganti dengan huruf al-yâ`u. dan ini tidak sesuai menurut pandangan Anda dengan perkara yang ingin diberikan contoh.
Jawaban atas hal itu sebagai berikut;
1- Berkaitan dengan catatan Anda yang pertama, yakni tampaknya syiddah terhadap huruf al-mîm pada huruf min, dan itu berarti pengidghaman mîm pada lanubawwiyannahum pada mîm huruf min, dan ini menyalahi qiraah Abu Ja’far yang disebutkan karena beliau membaca dengan shillah mîm jamak yakni beliau membaca lanubawwiyannahumu min, jadi huruf al-mîm yang pertama tidak diidghamkan kepada yang kedua …catatan ini benar. Telah ada dari qiraah Abu Ja’far:
– An-Nasyru fî al-Qirâ`ât al-‘Asyari (I/273):
Dan mereka berbeda pendapat dalam shilah mîm jamak dengan wâwu dan sukunnya, dan jika pada posisi sebelum diharakati (tidak sukun) seperti an’amta ‘alayhim ghayri al-maghdûbi ‘alayhim, dan wa mimmâ razaqnâhum yunfiqûna, ‘alayhim a andzartahum am lam tundzirhum lâ yu`minûna, ‘alâ qulûbihim wa ‘alâ sam’ihim wa ‘alâ abshârihim ghisyâwatun wa lahum ‘adzâbun. Jadi huruf al-mîm didhommah dari semua itu, dan Ibnu Katsir dan Abu Ja’far mewashalnya dengan wâwu pada lafal tersebut.
– Farîdatu ad-Dahri fî Ta`shîli wa Jam’i al-Qirâ`ât (IV/73):
Qiraah
(2) … Abu Ja’far dengan qiraah lanubawwiyannahumu dengan penggantian al-hamzah dengan al-yâ`u yang difathah dan shilah al-mîm.
Atas dasar itu, yang ada di buku tersebut (asy-Syakhshiyyah al-Islâimiyyah juz I) adalah kesalahan cetakan, dan tidak ada kesalahan di cetakan sebelumnya buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz I itu. Misalnya, cetakan ketiga, di situ tidak ada harakat atas huruf dan teks ayat di situ sesuai qiraah Abu Ja’far: lanubawwiyannahumumu mina al-jannati ghurafan tanpa syiddah yakni tanpa idgham. Tetapi kemudian diletakkan ayat-ayat al-Quran di buku tersebut menggunakan rasm al-Utsmani dan disertai syakal (harakat), lalu datanglah qiraah pertama secara benar sesuai apa yang ditetapkan di dalam mushhaf:
﴿لَنُبَوِّئَـنَّهُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفاً﴾
Dan ketika terjadi pemberian contoh dengan qiraah lainnya, qiraah Abu Ja’far maka tampak bahwa koordinator mengubah al-hamzah pada teks qiraah pertama itu dan menggantinya dengan al-yâ`u sesuai qiraah Abu Ja’far tanpa memperhatikan topik shilah al-mîm jamak sehingga syakalnya tetap seperti itu:
﴿لَنُبَوِّيَـنَّهُم مِّنَ ٱلۡجَنَّةِ غُرَفاً﴾
Dan begitulah, tampak syiddah pada huruf al-mîm dalam min, dan ini kesalahan cetakan …
2- Adapun berkaitan dengan catatan Anda yang kedua bahwa pemberian contoh menggunakan qiraah Abu Ja’far lanubawwiyannahumu adalah pemberian contoh yang tidak layak, sebab “makna bawa`a dan bawâ tidak berbeda, karena kata itu adalah sama tetapi dengan hukum ibdâl (penggantian)”. Ini merupakan catatan yang tidak detil. Sebab pemberian contoh dalam topik dari buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah adalah penggunaan dua lafal yang menunjukkan makna yang satu (sama). Jadi tidak adanya perbedaan makna tidak mempengaruhi dalam kesahihan pemberian contoh, tetapi malah sebaliknya, makna tersebut mengharuskan makna yang satu atau berdekatan agar contohnya benar. Buku itu mengatakan: “hal itu terjadi di dalam al-Quran dalam kecukupan menggunakan lafal-lafal dari yang sinonimnya atau yang mendekati”, maka tidak adanya perbedaan makna tidak berpengaruh pada kesahihan pemberian contoh, bahkan sebaliknya. Makna tersebut harus satu (sama) atau berdekatan untuk kesahihan pemberian contoh. Buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I mengatakan: “hal itu terjadi di dalam al-Quran dalam kecukupan menggunakan lafal-lafal dari apa yang sinonimnya atau mendekatinya semisal qiraah di dalam al-Quran”. Artinya, bahwa yang dituntut adalah kesatuan makna atau berdekatan disertai perbedaan lafal … Dan pemberian contoh dengan dua qiraah yang berbeda disebabkan penggantian (al-ibdâl) adalah pemberian contoh menggunakan dua lafal yang berbeda hingga meskipun maknanya sama persis. Sebab lafal-lafal yang dimasuki oleh penggantian (al-ibdâl) adalah lafal-lafal yang berbeda dan bukan lafal yang sama … As-Suyuthi telah mengisyaratkan kepada perkara ini di dalam kitabnya al-Muzhir ketika membicarakan tentang penggantian (al-ibdâl). As-Suyuthi berkata:
[Jenis ketiga puluh dua: pengetahuan penggantian (al-ibdâl):
Ibnu Faris mengatakan di dalam Fiqhu al-Lughah: di antara sunah orang Arab adalah penggantian huruf dan mendudukkan sebagian pada posisi sebagian yang lain: madahahu (مَدَحَهُ) dan madahahu (مَدَهَهُ), farsu rifallin (رِفَلٍّ) dan rifannin (رِفَنٍّ), dan itu banyak dan masyhur. Para ulama telah mengarang tentangnya … dan orang yang menulis dalam jenis ini adalah Ibnu as-Sikkit dan Abu ath-Thayyib al-Lughawiy.
Abu ath-Thayyib mengatakan di dalam kitabnya: yang dimaksud penggantian (al-ibdâl) bukan bahwa orang Arab sengaja mengganti huruf dari huruf, melainkan itu adalah bahasa-bahasa yang berbeda untuk makna-makna yang bersesuaian, dua lafal dalam dua bahasa yang saling berdekatan untuk satu makna, hingga keduanya tidak berbeda kecuali dalam satu huruf saja. Ia mengatakan: dalil atas yang demikian bahwa satu kabilah tidak berbicara dengan kalimat thûran yang mahmuz dan thûran bukan mahmuz, dan tidak dengan ash-shâd pada satu kali dan dengan as-sîn pada kali yang lain. Demikian juga penggantian lâm at-ta’rîf dengan mîm dan hamzah al-mashdarah sebagai ‘ayn, seperti ucapan mereka dalam nahwu an dan ‘an, orang Arab tidak berserikat dalam sesuatu dari hal itu, melainkan kaum yang ini mengatakan yang ini dan kaum yang itu mengatakan yang itu …] selesai.
Jadi penggantian (al-ibdâl) dengan satu huruf di dalam satu kata menjadikan dua lafal yang berbeda meski makna keduanya satu (sama). Hal itu karena masing-masing lafal dari keduanya adalah bahasa pada orang Arab: jadi sebagian orang Arab mengatakan tentang al-madahu (madaha ––مَدَحَ) dengan al-hâ` dan sebagian mereka mengatakan madaha –مَدَهَ– dengan al-hâ`u dan maknanya sama. Sebagian mereka mengatakan saqara (سَقَرَ) dengan as-sîn dan sebagian yang lain mengatakan shaqara (صَقَرَ) dengan ash-shâd padahal burung tersebut satu (sama). Sebagian mereka mengatakan nubawwi`uhum (نُبَوِّئُهُمْ) dengan al-hamzah dan yang lainnya mengatakan nubawiyuhum (نُبَوِّيُهُمْ) dengan al-yâ`u dan maknanya sama… Dan al-Quran al-Karim pada sebagian keadaan menggunakan lafal-lafal yang beragam untuk mengungkapkan makna yang sama di dalam ayat-ayat itu sendiri ketika al-qirâ`ah al-Qurâniyah untuk ayat-ayat beragam dengan beragamnya bahasa (dialek) orang Arab. Di antara yang demikian adalah beragamnya bahasa (dialek) disebabkan penggantian (al-ibdâl) sebagaimana perkara tersebut di dalam satu topik yang kita bicaakan di kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâimiyyah juz I. Lafal lanubawwi`annahum (لَنُبَوِّئَنَّهُمْ) adalah berbeda dari lafal lanubawwiyannahum (لَنُبَوِّيَنَّهُمْ) disebabkan penggantian (al-ibdâl) padahal maknanya satu (sama). Tetapi sebagian orang Arab mengatakan lanubawwi`annahum dan sebagian yang lain mengatakan lanubawwiyannahum. Dan al-Quran menggunakan bahasa (dialek) yang ini dan yang itu karena beragamnya qiraah, sehingga qiraah sebagian al-Qurrâ` adalah lanubawwi`annahum, sedangkan qiraah Abu Ja’far adalah lanubawwiyannahum.
Dengan ini tampak bahwa kami tidak menyelisihi ash-shawab ketika kami sebutkan qiraah Abu Ja’far lanubawwiyannahum disamping qiraah lanubawwi`annahum. Sebab yang dituntut terpenuhi dengan disebutkannya dua qiraah yang berbeda karena digunakan dua lafal yang berbeda sebab keduanya merupakan dua bahasa (dialek) pada orang Arab untuk mengungkapkan makna yang sama.
** Tetapi pemberian contoh dengan qiraah yang lain yaitu lanutsawwiyannahum menggunakan ats-tsâ`u menggantikan al-bâ`u mungkin lebih jauh dari terjadinya kerancuan dan lebih jelas dalam menonjolkan apa yang dimaksudkan pada teks yang disebutkan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah itu. Dan oleh karena itu kami akan melakukan perubahan teks dengan menempatkan lanutsawwiyannahum menggunakan ats-tsâ`u menggantikan lanubawwiyannahum menggunakan al-yâ`u.
Qiraah ini dinyatakan di dalam al-Quran sendiri di dalam an-Nasyru fî al-Qirâ`ât al-‘Asyar: [(dan mereka berbeda) dalam: lanubawwi`annahum mina al-jannati, Hamzah, al-Kisa`iy dan Khalfun membaca menggunakan ats-tsâ` pada huruf ketiga dan sakinah setelah an-nûn dan mengganti al-hamzah dengan al-yâ`, dari ats-tsawâ`, dan itu maknanya al-iqâmah (tinggal). Sedangkan yang lain membaca dengan al-bâ` al-muwahhadah dan al-hamzah dari at-tabawwu`u dan itu maknaya al-manzil (rumah), dan telah dipaparkan penggantian al-hamzah untuk Abu Ja’far dalam al-hamzah al-mufrad] selesai. Dan di dalam Tafsîr ath-Thabarî dinyatakan: [ … lanubawwi`annahum mina al-jannati ghurafan (QS al-‘Ankabut [29]: 58): beliau mengatakan: lanunzilannahum mina al-jannati ‘alâliy. Dan para qari’ berbeda dalam qiraah hal itu. Umumnya qari’ Madinah dan Bashrah dan sebagian Kufah membaca lanubawwi`annahum (an-Nahl [16]: 41) menggunakan al-bâ`, dan umumnya qari’ Kufah membacanya menggunakan ats-tsâ`: lanutsawwiyannahum. Dan yang benar dari ucapan dalam hal itu menurutku bahwa keduanya merupakan qiraah yang masyhur pada para qari’ berbagai penjuru. Ulama di antara para qari’ membaca dengan masing-masing dari keduanya, maknanya berdekatan. Maka dengan yang mana saja (dari keduanya) seorang qari’ membacanya maka dia benar (mushîbun). Hal itu bahwa firman Allah: lanubawwi`annahum (QS an-Nahl [16]: 41) berasal dari bawwa`tuhu manzilan: yakni anzaltuhu. Demikian juga lanutsawwiyannahum melainkan adalah dari atswaytuhu maskanan jika anzaltuhu manzilan, dari ats-tsawâ`, dan itu maknanya al-muqâm (tempat mukim)] selesai.
Begitulah, qiraah mutawatirah dari Rasulullah saw untuk al-Quran al-Karim yang tidak sah qiraah dengan selainnya, tidak keluar dari bahasa (dialek) orang Arab.
﴿قُرآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ﴾
(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) (TQS az-Zumar [39]: 28).
Demikian juga firman Allah SWT:
﴿إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ﴾
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (TQS Yusuf [12]: 2).
Yakni menggunakan bahasa Arab.
Dan di penutup, saya berikan penghargaan kepada Anda atas perhatian dan konsern Anda dengan ilmu qiraah, demikian juga konsern Anda memonitor kedetilan. Dan saya memohon kepada Allah SWT kebaikan untuk Anda.
Saudaramu Atha; bin Khalil Abu ar-Rasytah
23 Rabiul Akhir 1443 H
28 November 2021 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/78966.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3073626072883396