Tanya Jawab
Krisis Dolar, Kenaikan Harga Minyak, Logam dan Bahan Pangan
بسم الله الرحمن الرحيم
Krisis dolar masih terus berlanjut. Dolar telah mengalami penurunan sangat menyolok. Hal itu diikuti dengan naiknya harga minyak, emas dan logam lainnya. Kemudian diikuti naiknya harga bahan-bahan pangan. Semuanya itu terjadi pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sisi frekuensi dan intensitasnya, serta dari aspek realitanya yang meliputi sejumlah krisis…
Lalu apakah krisis tersebut merupakan dampak dari permasalahan ekonomi secara riil, ataukah tangan-tangan politis Amerikalah yang menggerakkan dan memperluasnya?
Saya mohon penjelasan tentang hal tersebut, dan semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada Anda.
Jawab
Krisis tersebut, secara riil memiliki dimensi ekonomi. Tetapi, tangan-tangan politik telah ikut terlibat dalam meningkatkan eskalasi permasalahan, memperluas cakupannya dan menjadikan krisis tersebut sampai pada taraf seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Agar gambarannya benar-benar jelas, maka kami akan menjelaskan bagaimana krisis tersebut muncul dan bagaimana permainan politik telah ikut terlibat di dalamnya. Kemudian kami jelaskan bagaimana semuanya itu mengakibatkan kenaikan harga minyak, emas, dan logam lainnya, kemudian bagaimana munculnya krisis bahan pangan.
Pertama, secara riil, krisis ekonomi Amerika memang berpengaruh terhadap efektivitas dan kekuatan dolar. Kemudian berdampak pada turunnya nilai tukar dolar yang sangat tajam. Krisis tersebut terjadi karena faktor-faktor sebagai berikut:
Defisit Perdagangan Amerika
Amerika mengimpor barang dan jasa lebih banyak daripada yang diekspor. Selera konsumen Amerika memang terbuka untuk impor. Misalnya, pada tahun 2003, Amerika telah mengimpor barang dan jasa dengan nilai 1652 miliar dolar. Sementara ekspornya sekitar 1203 miliar dolar. Dengan kata lain, Amerika mengalami defisit perdagangan tahun 2003 sebesar 449 miliar dolar. Defisit ini terus meningkat hingga mencapai 816 milir dolar. Selisih antara impor dan ekspor tersebut mencerminkan uang yang dicetak (dolar dan obligasi Pemerintah Amerika). Kondisi ini, secara rill, tentu telah menyebabkan turunnya nilai dolar, meski tidak diumumkan secara resmi.
Amerika belum pernah mengalami defisit perdagangan seperti ini sebelumnya. Sebaliknya, Amerika terus mengalami surplus perdagangan selama beberapa dekade, khususnya pasca Perang Dunia II. Kemudian suprlus tersebut mulai menurun… Terlebih karena persaingan dengan negara-negara Eropa dan Asia yang menghasilkan komoditi dengan harga yang lebih murah. Ini mengakibatkan meningkatnya impor konsumen Amerika terhadap barang dan jasa dari negara-negara tersebut. Fenomena ini ditambah dengan besarnya belanja militer untuk membiayai perang Vietnam. Kondisi ini menyebabkan naiknya tagihan pembayaran. Berikutnya, pada tahun 1971, Amerika terpaksa menghapus back up dolar dengan emas. Ini adalah krisis pertama. Pada dekade delapan puluhan, pada saat perdagangan dunia mengalami pertumbuhan dan pabrik-pabrik berpindah dari Amerika ke negara-negara yang memiliki buruh murah, kelemahan perekonomian Amerika semakin tampak. Begitu pula meningkatnya impor Amerika dari negara-negara produsen barang murah seperti Meksiko, Cina, dan Malaysia tampak jelas meningkat. Ini sudah pasti menyebabkan defisit perdagangan Amerika semakin lebar.
Demikianlah, defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran, keduanya telah menciptakan keraguan dan ketidakpercayaan para investor terhadap perekonomian Amerika. Dikemudian hari hal itu menyebabkan terpuruknya nilai dolar.
Utang
Statistik Departemen Keuangan Amerika menunjukkan adanya peningkatan utang pemerintah (federal dan negara bagian) dari 4,3 triliun dolar pada tahun 1990 menjadi 8,4 triliun dolar pada tahun 2003, dan 8,9 triliun dolar pada tahun 2007. Total utang tersebut telah mencapai 64% dari total GDP. Dengan begitu, Amerika bisa diklasifikasikan sebagai negara yang mengalami jeratan utang. Beban besarnya utang Amerika tidak terbatas pada utang pemerintah, tetapi juga meliputi individu dan perusahaan. Utang individu akhir-akhir ini telah mencapai nilai 6,6 triliun dolar. Sedangkan utang perusahaan swasta menempati urutan teratas dengan total 18,4 triliun dolar. Dengan begitu, total utang Amerika sekitar 34 triliun dolar. Artinya utang Amerika telah tiga kali lipat dari total GDP-nya. Padahal, utang itu sendiri sejatinya merupakan krisis ekonomi yang berbahaya.
Kenaikan Euro
Sementara itu, sejak pertama kali Euro dicetak, Euro telah menjadi cadangan devisa internasional kedua setelah dolar. Euro telah mewarisi posisi tersebut dari Mark Jerman. Bahkan posisinya meningkat. Itu jika dibandingkan dengan dolar. Begitulah, kepercayaan kepada Euro akhirnya semakin meningkat, dan sebaliknya kepercayaan terhadap dolar justru semakin menurun. Semuanya itu berpengaruh pada permintaan terhadap dolar sehingga nilainya menurun. Karena berkurangnya nilai dolar, maka tidak sedikit dari investor yang terdorong untuk menggunakan Euro dalam investasi mereka, menggantikan posisi dolar.
Sebagai tambahan dari semuanya tadi, Amerika juga mengalami persoalan ekonomi yang lain. Yaitu meningkatnya inflasi yang mencapai 4%, pengangguran berada pada angka 5%, perindustrian mengalami penurunan, terjadi kemiskinan dan buruknya pelayanan pendidikan…
Semua faktor-faktor di atas menyebabkan turunnya nilai dolar.
Turunnya nilai dolar tersebut telah mendorong sebagian bank sentral menurunkan cadangannya dalam bentuk dolar.
Paul Michael, seorang ahli strategi mata uang di bank HSBC mengatakan, ”Bank sentral sejak beberapa waktu yang lalu telah mengetahui, bahwa ia tidak ingin menambah pemborosan karena dolar yang dimiliki. Total kekayaan bank sentral di seluruh dunia dalam bentuk dolar telah mengalami penurunan dari 73% menjadi 64%”.
Inilah yang menjadi faktor sesungguhnya terjadinya krisis dolar.
Kedua, setelah itu, tangan-tangan politik Amerika ikut terlibat dalam memobilisasi krisis demi kepentingannya. Juga untuk menyebarkan krisis dari krisis nasional Amerika menjadi krisis internasional… Hal itu bisa terjadi dengan jalan sebagai berikut:
1. Penurunan nilai mata uang negara eksportir akan mengakibatkan meningkatnya ekspor negara tersebut, karena harga-harga komoditinya secara relatif menjadi lebih murah, di mana importir akan membayar nilai uang yang lebih kecil (untuk mengimpor jumlah yang sama); dengan asumsi, harga-harga komoditi dengan mata uang negara itu menjadi lebih kecil akibat turunnya nilai mata uangnya. Misalnya, jika sebelumnya importir akan membayar harga komoditi yang diimpornya sebesar 1000 dolar, dan itu setara dengan 1000 Euro; maka jika dolar turun 10%, importir tersebut hanya akan membayar 900 Euro, untuk nilai komoditi sebesar 1000 dolar. Karena itu, para pedagang akan bersedia mengimpor komoditi negara tersebut, karena turunnya nilai mata uangnya.
Hanya saja, kondisi tersebut masih relatif bagus, jika turunnya nilai mata uang tidak lebih dari 5%, dan masih bisa diterima hingga 10%. Tetapi, jika penurunan nilai mata uangnya lebih dari itu, justru akan menciptakan beban terhadap industri produsen, karena faktor inflasi akibat terjadinya devaluasi. Yaitu, naiknya harga-harga komoditi di dalam negeri negara tersebut akibat devaluasi mata uangnya, di mana daya beli terhadap komoditi tersebut juga ikut merosot. Akibat dari inflasi ini, beban terhadap industri semakin meningkat hingga harga komoditi yang diekspor pun akan ikut naik. Dengan kata lain, harga komoditi tersebut tidak lagi 1000 dolar, tetapi lebih dari itu. Begitulah, jika turunnya nilai mata uang tersebut lebih dari batas rasional, maka ia akan menyebabkan bertambahnya biaya produksi sehingga menyebabkan naiknya harga komoditi. Selanjutnya, jumlah ekspor akan menurun, karena faktor inflasi, akibat dari devaluasi tersebut. Dalam konteks Amerika, turunnya nilai dolar telah melebihi batas rasional. Sebagai contoh, Euro nilai tukarnya menjadi 1,6 dolar terhadap dolar. Padahal pada tahun 2000 lalu, 1 Euro nilainya 0,8 dolar Amerika. Dengan kata lain, turunnya nilai dolar tersebut telah melampaui batas tertinggi secara ekonomi lebih dari lima kali lipat…
Karenanya, akibat devaluasi tersebut, ekspor Amerika hanya mengalami pertambahan yang sangat kecil. Dengan kata lain, defisit perdagangan, meski sedikit berkurang, tetapi masih tetap terjadi.
Meski begitu, Amerika ternyata tidak mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki defisit tersebut. Amerika juga tidak mengeluarkan sebagian dari cadangan minyaknya untuk digunakan; dengan tujuan untuk menurunkan harga energi, terkait dengan industri-industri, sehingga biaya produksinya menurun dan ekspornya meningkat. Sebaliknya, pemerintahan Bush justru menolak mengeluarkan sebagian cadangan minyak sebagai instrumen untuk menurunkan harga energi yang melonjak. Dengan kata lain, pemerintahan Bush sebenarnya tidak pernah menyelesaikan masalah defisit perdagangan yang ada secara ekonomi.
Begitu juga pemerintahan Bush tidak menyelesaikan masalah utangnya. Sebaliknya, justru menambah utang, karena kelanjutan invasinya atas Afghanistan dan Irak yang telah menelan biaya lebih dari 2 triliun dolar Amerika. Begitu pula pemerintahan Bush memberikan utang kepada para Kapitalis kaya Amerika sekitar 1 triliun dolar melalui pemotongan pajak dari mereka. Kebijakan tersebut dilakukan karena motif politik untuk kepentingan pemilu… Ini menyebabkan utang Amerika tetap seperti semula, bahkan semakin bertambah.
Demikianlah, Amerika tetap mengalami devaluasi dolar dan tidak mengambil langkah-langkah ekonomi untuk memperbaikinya. Devaluasi tersebut kemudian dijadikan instrumen politis untuk memeras negara-negara yang memiliki cadangan devisa yang besar dalam bentuk dolar… Contohnya, Cina yang memiliki cadangan devisa dalam bentuk dolar sekitar 100 miliar dolar Amerika. Langkah tersebut menyebabkan Cina mengalami kerugian sangat besar akibat devaluasi dolar. Berikutnya India, negara-negara Eropa dan negara-negara penghasil minyak… Realitas tersebut memaksa negara-negara tadi berupaya menopang dolar dengan menyesuaikan nilai sebagian mata uangnya dan membeli dolar, sehingga terjadi peningkatkan permintaan atas dolar. Maka devaluasi dolar pun berkurang sedikit….
2. Setelah itu, berikut ini adalah langkah-langkah politik Amerika untuk menghadapi rontoknya saham-saham perusahaan jaminan properti. Melalui langkah-langkah tersebut, Amerika bisa menyebarkan krisis, dari krisis Amerika menjadi krisis dunia.
Pemerintah Amerika memberikan utang dengan bunga rendah kepada perusahaan-perusahaan properti, khususnya perusahaan jaminan properti yang menjual perumahan dengan mengagunkannya hingga angsuran harga jualnya lunas. Karena itu, likuiditas yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya meningkat dengan jumlah yang besar. Ini kemudian mendorong perusahaan untuk mempermudah syarat-syarat penjualan perumahan… dan dengan harga murah, bahkan rendah. Karena likuiditas keuangan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bisnis perumahan dan agunan properti tersebut meningkat, sebagai dampak dari utang dengan bunga rendah yang diberikan oleh negara… Maka, masyarakat di Amerika pun antusias untuk membeli properti… Di depan mereka terbentang jalan yang luas untuk membayar uang mukanya dari utang lunak yang mereka ambil dari bank-bank Amerika yang memberikan utang kepada para pemilik properti dengan bunga yang sesuai. Bahkan, bank-bank Amerika tersebut telah memberikan utang untuk properti yang menutupi seluruh harga properti (rumah) yang diagunkan. Kebijakan ini tidak seperti yang dilakukan bank-bank Eropa yang memberikan utang pada batas 60% dari harga properti yang diagunkan. Semuanya itu bisa dilakukan, karena negara memberikan utang kepada perusahaan-perusahaan dan bank-bank dengan bunga rendah, sesuatu yang menyebabkan stok properti melimpah.
Akibat politik globalisasi dan keterbukaan perusahaan-perusahaan satu dengan yang lain, setiap kali ada booming dan keuntungan, maka perusahaan-perusahaan multinasional, bank-bank swasta, dan bank-bank sentral, bahkan individu antusias membeli saham-saham perusahaan agunan properti Amerika dalam rangka memperoleh profit. Nilai properti dan berikutnya nilai saham perusahaan properti yang listing di bursa pun terus mengalami kenaikan di seluruh bagian dunia, khususnya di Amerika. Bahkan pada saat itu, membeli properti menjadi jenis investasi favorit. Pada saat yang sama, kegiatan bisnis lainnya termasuk dalam bidang teknologi modern justru terancam mengalami kerugian. Fenomena ini seperti yang pernah terjadi sebelumnya ketika terdapat antusiasme luar biasa untuk berinvestasi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi. Masyarakat Amerika, baik individu maupun perusahaan antusias membeli properti dengan tujuan dijadikan tempat tinggal atau untuk investasi jangka panjang atau sekadar spekulasi. Kemudahan properti itu meluas sampai pada tingkat, di mana bank-bank memberikan kredit hingga kepada individu-individu yang tidak mampu untuk membayar cicilan utang kredit mereka, karena pendapatan mereka yang rendah.
Fenomena ini terus berlanjut, nyaris tanpa ada masalah, hingga tahun lalu, khususnya ketika beban utang terhadap negara semakin meningkat. Amerika pun berhenti memberikan utang mudah kepada perusahaan-perusahaan agunan properti dan bank-bank. Sebaliknya pemerintah Amerika malah meminta perusahaan-perusahaan dan bank-bank tersebut membayar utang yang telah mereka ambil saat jatuh tempo… Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan kredit properti dan bank-bank tersebut juga meminta para pemilik properti untuk membayar utang mereka. Karena pengangguran, inflasi, dan kondisi perekonomian yang buruk terjadi di Amerika, maka para pemilik properti itu tidak sanggup membayar harga beli properti mereka. Mereka juga tidak mampu membayar cicilan utang yang telah mereka ambil dari bank-bank… Nilai properti pun menurun drastis dan individu-individu tidak bisa lagi dinilai mampu membayar utang mereka, bahkan meski properti yang mereka agunkan pun dijual. Seperti yang diberitakan oleh media, rumah yang sebelumnya seharga 0,5 juta dolar, nilainya menjadi 200 ribu dolar, tetapi tetap tidak ada orang yang membelinya. Sekitar 2 juta orang Amerika telah kehilangan pemilikan mereka atas properti dan terlilit kewajiban finansial sepanjang hayat mereka. Akibat masalah yang dialami oleh bank-bank kreditor karena ketidakmampuan para debitor membayar kredit mereka, maka nilai saham bank-bank tersebut di bursa turun drastis. Perusahaan-perusahaan properti menderita kerugian besar yang mencapai 2 miliar dolar. Sejumlah perusahaan properti bahkan mengumumkan pailit.
Konsekuensi berikutnya, banyak utang yang lenyap dan tidak mungkin ditarik kembali.
Gambaran besarnya kerugian bank-bank besar yang belakangan mengalami kegoncangan dahsyat pada sektor properti Amerika diisyaratkan oleh majalah Market, sebuah jurnal, yang dikeluarkan oleh Kamar Dagang dan Industri Arab Jerman di Berlin untuk bank City Group Amerika. Jurnal ini awal tahun lalu mengungkap kerugian bank City Group Amerika pada kuartal terakhir tahun lalu mencapai 9,83 miliar dolar (ketika itu senilai 6,6 miliar Euro). Kerugian bank yang sama terus mengalami peningkatan di sektor properti hingga sekarang sampai lebih dari 18,1 miliar dolar.
Perkembangan negatif yang sama juga menimpa bank Meryland Amerika. Bank tersebut mengumumkan pemotongan 14,1 miliar dolar asetnya. Ini artinya, bahwa kerugian bank tersebut pada kuartal terakhir tahun 2007 mencapai 9,8 miliar dolar. Jumlah tersebut merupakan kerugian terbesar sepanjang sejarahnya.
Masalah yang sama juga menimpa bank besar UBS Swiss yang mendapatkan miliaran dolar dari GIC Singapura untuk menghindari kebangkrutan.
Begitulah, saham-saham perusahaan properti rontok di lantai bursa. Dan berikutnya saham-saham perusahaan dan bank-bank harganya turun drastis di bursa banyak negara. Ini karena memiliki hubungan dengan investasi atau saham perusahaan properti Amerika, atau berhubungan dengan aktivitas langsung di sektor properti Amerika. Sampai-sampai tekanan tersebut juga menimpa sektor-sektor yang tidak bergerak di bidang bisnis properti. Karena globalisasi dan saling terkaitnya kegiatan perekonomian, maka kondisi tersebut berpengaruh terhadap sektor-sektor lain, di luar properti.
Nilai saham-saham di Wall Street mengalami penurunan. Sehingga indeks nilai gabungan turun 7,1 % di Frankfurt; 6,8 % di Paris; 5,4 % di London; 7,5 % di Madrid; 3,8% di Tokyo; 5,1 % di Shanghai; 6 % di Sao Paolo; 9,8 % di Riyadh; 9,4 % di Dubai; 3 % di Beirut dan 4,2 % di Kairo.
Karena besarnya kerugian dan banyaknya utang yang hilang, presiden Perancis Nikolai Sarkozi dan PM Inggris Gordon Brown dalam pertemuan keduanya pada 27 Maret 2008 memutuskan untuk mendorong bank-bank tersebut agar mengungkapkan secara menyeluruh dan segera atas utang-utang yang menguap di masing-masing. Brown pada Januari 2008 mengatakan, bahwa Inggris akan menghadapi ujian berat bersama perekonomian dunia dalam kondisi yang sulit dan kritis disebabkan krisis kredit akibat krisis agunan properti Amerika. Pernyataan Brown itu datang setelah Northern Rock —lembaga perbankan kelima terbesar Inggris dalam sektor kredit yang berkaitan dengan agunan properti— terancam bahaya besar disebabkan berantainya krisis agunan properti di Amerika Serikat.
Demikianlah, Amerika telah berhasil menyebarkan krisis perusahaan agunan properti dari krisis domestik Amerika menjadi krisis dunia sampai pada taraf, di mana bank-bank sentral Eropa menyuntikkan lebih dari 150 miliar dolar pada tahun lalu untuk menopang perusahaan-perusahaan agunan properti supaya tidak mengalami kebangkrutan. Juga agar bursa-bursa di dunia, termasuk Eropa tidak ambruk karena ekspansi perusahaan-perusahaan internasional di setiap negara dan persaingan antar perusahaan tersebut, akibat dari sistem globalisasi. Dengan cara ini, Amerika telah berhasil memeras Eropa dan tetap bisa menopang perusahaan-perusahaannya, yaitu perusahaan-perusahaan agunan properti Amerika.
Ringkasnya, untuk krisis perekonomian Amerika, memang ada sisi ekonomi dan politiknya. Amerika jelas mengalami krisis ekonomi secara riil, yang menyebabkan turunnya nilai dolar. Lalu Amerika melakukan manuver (konspirasi) politik untuk menyeret seluruh dunia agar ikut merasakan krisis yang dialaminya. Jika tidak, seluruh dunia akan ikut tenggelam bersamanya. Terlebih setelah tersebarnya globalisasi dan terbukanya pasar satu negara terhadap negara lain di bawah apa yang disebut sebagai perekonomian pasar, ekspansi perusahaan-perusahaan ke seluruh dunia dan saling terkaitnya satu negara dengan negara lain. Akhirnya, mayoritas negara di dunia saling membuka pasarnya di antara mereka, sebagian terhadap sebagian yang lain.
Demikianlah, Amerika memanfaatkan penurunan nilai dolar yang disebabkan krisis perekonomiannya untuk menurunkan defisit perdagangannya dan untuk melakukan pemerasan politis, khususnya terhadap negara-negara yang memiliki cadangan devisa dalam jumlah besar dalam bentuk dolar. Begitu pula Amerika mampu menyebarkan krisis perusahaan-perusahaan agunan propertinya menjadi krisis dunia. Jadi, sebenarnya Amerika tidak jauh dari krisis yang terjadi.
Meski demikian, semua aktivitas politik Amerika itu tidak akan pernah bisa mengembalikan perekonomian Amerika ke taraf kemakmuran. Semuanya itu hanya akan menunda keambrukannya. Seandainya bukan karena politik globalisasi, pasar bebas, dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menguasai perekonomian dunia… dan seandainya juga bukan karena negara-negara di dunia tetap menggunakan dolar sebagai cadangan devisanya, juga seandainya bukan karena semua itu, niscaya perekonomian Amerika tidak akan bisa lagi berdiri di atas kedua kakinya hingga sekarang.
Ketiga, adapun sebab naiknya harga-harga hasil tambang, baik minyak, emas, besi dan lain-lain… sesungguhnya setelah ambruknya perusahaan-perusahaan agunan properti, menurunnya pasar saham dan surat berharga, serta menurunnya indeks bursa, maka kepercayaan para investor terhadap sarana-sarana investasi yang tidak memiliki nilai instrinsik semakin kecil. Yang tidak mengandung nilai intrinsik, misalnya, seperti surat berharga dan saham bursa. Maka para investor itu beralih kepada sarana-sarana investasi yang memiliki nilai intrinsik seperti emas dan hasil tambang lainnya. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan atas emas, sehingga harganya melonjak luar biasa. Sampai harga emas mencapai 1000 dolar, dan diperkirakan akan terus naik sampai sekitar 1500 dolar atau lebih sesuai dengan kondisi-kondisi yang terjadi…
Pihak yang paling menderita akibat kenaikan harga emas adalah Amerika Serikat. Karena, jika kenaikan harga emas ini terus berlanjut, Amerika akan mengembalikan nilai dolar kepada nilai yang tidak lebih dari (harga) kertas dan (ongkos) pencetakannya. Untuk itu, ada kemungkinan besar Amerika, dalam jangka waktu tidak lama lagi, akan mengontrol harga–harga emas. Isyarat ke arah itu sudah mulai tampak. Karena Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengambil keputusan untuk menjual 403 ton emas akibat defisit neraca anggaran. Hanya saja, IMF mengumumkan akan melakukan penjualannya dalam jangka panjang ke depan. Pengumuman itu sendiri merupakan spekulasi yang biasanya akan berpengaruh terhadap penurunan harga emas. Di sana ada kemungkinan berlangsungnya penjualan emas kepada bank-bank sentral. Sesuatu yang kadang kala menyebabkan bank-bank sentral menaikkan suku bunga dan menyebabkan naiknya nilai kurs. Yang terbaru pernyataan IMF pada 9 April 2008, bahwa krisis finansial akan menciptakan beban triliunan dolar, adalah lebih dari sekadar penjelasan realitas secara adil dan jujur. Pernyataan itu tidak lain adalah spekulasi untuk merubah arah jalannya perekonomian dan finansial. Sebagaimana dalam komentar yang dikeluarkan oleh Daily Telegrap Inggris, bahwa IMF adalah alamat terakhir yang mungkin ditempuh untuk keluar dari krisis keuangan yang ada. Karena itu, pernyataan tadi sebenarnya merupakan proses untuk menghadirkan kondisi tersebut.
Begitulah, anjloknya nilai dolar dan krisis hilangnya kepercayaan para investor di pasar aset Amerika telah mendorong sejumlah investor untuk tidak berinvestasi di pasar uang kertas. Hipotesis riil untuk itu menyatakan, bahwa uang kertas saat ini tidak disandarkan secara sempurna kepada aset riil. Dengan kata lain, fakta itu dan dalam kondisi seperti sekarang ini, sebenarnya krisis kepercayaan akan secara cepat menyebar ke berbagai mata uang yang ada. Beranjak dari sebab inilah, maka beberapa bank sentral seperti bank sentral China mulai membeli emas. Ini menyebabkan naiknya harga emas sampai tingkat tertinggi. Ini juga menyebabkan naiknya harga hasil-hasil tambang seperti perak dan platinum. Sebagaimana meningkatnya permintaan India dan China atas tembaga, zink, aluminium dan nikel telah menyebabkan kenaikan harga logam-logam itu. Terjadinya peningkatan permintaan atas beberapa jenis logam itu oleh India dan Cina disebabkan pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut yang sangat cepat. Permintaan atas hasil-hasil tambang dari Cina akan terus berlanjut selama 12 tahun, dan dari India selama 4 tahun ke depan. Cina telah membelanjakan 1 triliun dolar untuk pembangunan infrastruktur dan masih akan membelanjakan 50 miliar dolar tambahan setiap tahun selama lima belas tahun ke depan. India telah memulai kembali pembangunan infrastruktur sejak enam tahun lalu. Pada awal investasinya, memang masih kecil. Tetapi total investasinya selama empat tahun terakhir mencapai 50 miliar dolar. India telah menyusun rencana investasi antara 30–40 miliar dolar per tahun selama sepuluh tahun ke depan. Hanya saja, hasil tambang yang ada tidak mencukupi untuk menutup semua keperluan rencana tersebut. Ditambah lagi naiknya harga minyak telah meningkatkan biaya produksi, dan berikutnya menyebabkan kenaikan harga komoditi secara umum.
Kenaikan harga minyak sebenarnya bisa dikembalikan pada masalah terpuruknya nilai dolar. Meningkatnya daya beli minyak dari negara-negara seperti UniEropa, Cina, dan India untuk memenuhi meningkatnya permintaan sebenarnya untuk menutupi kebutuhan negara-negara itu sendiri. Namun, ada faktor penting yang menyebabkan naiknya harga minyak, yaitu spekulan. Spekulasi Amerika terhadap minyak telah menyebabkan naiknya harga minyak. Ini maksudnya supaya Amerika bisa mengumpulkan dolar yang ada di pasar dari pihak-pihak yang membeli minyak. Sehingga Amerika bisa menghindari keterpurukan mata uangnya. Inilah penyebab tidak stabilnya informasi tentang jumlah cadangan minyak Amerika.
Spekulasi mempunyai peran dalam kenaikan harga. Sebagai contoh, spekulasi pada dekade yang akan datang pada komoditi minyak akan semakin meningkat. Demikian pula spekulasi pada harga hasil-hasil tambang, utamanya emas. Kenaikan harga emas semakin cepat akibat antusiasme negara-negara, seperti Cina, Rusia dan beberapa negara Asia untuk membeli emas guna melepaskan diri dari banyaknya jumlah dolar yang dimilikinya. Negara-negara yang ada tidak lagi percaya kepada dolar. Penurunan nilai dolar telah menyebabkan kerugian besar bagi negara-negara tersebut. Demikian juga antusiasme Cina untuk membeli besi dan hasil-hasil tambang yang diperlukan dalam industri telah meningkatkan harga-harga besi dan bahan tambang lainnya. Di sini, Jerman misalnya, mempunyai penerimaan besar dari besi baja, dan harganya meningkat, bahkan berlipat ganda karena banyak dari besi bajanya telah diekspor ke Cina.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa setiap terjadi penurunan nilai dolar, harga minyak akan naik dalam hubungan kebalikan, yang sudah diketahui sejak lama. Inilah fakta yang terjadi sekarang ini. Pada 17 April 2008 tercatat, bahwa harga minyak kualitas sedang sebesar 115 dolar per barel. Dan terus mengalami kenaikan hingga hari ini 5 Mei 2008, yaitu mencapai 120 dolar.
Begitulah, harga minyak telah mengalami kenaikan hampir empat kali lipat dari harganya pada tahun 2002. Karena permintaan bertambah, khususnya Cina dan semua negara yang perekonomiannya tumbuh pesat. Perkiraan yang ada mengisyaratkan, bahwa harga minyak akan menembus 130 dolar per barel pada akhir bulan Desember yang akan datang.
Keempat, adapun krisis pangan dunia, maka sesungguhnya di tengah kritisnya krisis perekonomian dunia dan yang disebabkan oleh krisis agunan properti Amerika, maka di tengah semua itu, dan juga disebabkan oleh krisis lain yang lebih berbahaya, kini tengah mengancam keamanan pangan dunia. Di berbagai belahan dunia, harga-harga bahan pangan mengamali lonjakan mulai dari roti hingga susu.
Krisis pangan dunia ini sebenarnya terjadi belakangan setelah terjadinya kenaikan harga-harga gandum, shorghum, beras dan bahan-bahan makanan pokok pada tahun-tahun terakhir dan melambung secara fluktuatif pada beberapa bulan terakhir.
Pada 6 Desember 2007 majalah The Economist Inggris mempublikasikan laporan. Di dalamnya dinyatakan, bahwa harga biji-bijian telah mengalami kenaikan yang belum terjadi sebelumnya sejak The Economist membuat indeks harga bahan pangan pada tahun 1945. Menurut The Economist, kenaikan tersebut telah mencapai 75 %. Sedangkan bursa Chicago Board of Commerce yang mencerminkan standar utama dalam hal yang berkaitan dengan harga biji-bijian di dunia menyebutkan, bahwa harga gandum telah mengalami kenaikan 90 %, kedelai 80 % dan shorghum 20 %. Harga-harga ini terus mengalami kenaikan sejak saat itu hingga sekarang.
Sedangkan naiknya harga, yang diikuti dengan krisis pangan sebenarnya sebab utamanya adalah sebagai berikut:
1. Naiknya harga minyak dan turunnya nilai dolar
Naiknya harga minyak menyebabkan naiknya harga-harga bahan yang diperlukan dalam pertanian, semisal benih, pupuk, obatan-obatan, peralatan dan transportasi. Kenaikan biaya produksi dan transportasi telah berpengaruh terhadap naiknya harga bahan-bahan pangan terutama gandum, beras, dan shorghum. Contohnya, harga beras di Philipina telah mengalami kenaikan 70 % selama setahun lalu.
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, harga-harga bahan pangan biasanya ditentukan dengan menggunakan dolar. Maka, ketika nilai dolar turun, otomatis harga bahan pangan naik.
Grachiano mengatakan: ”Hilangnya kepercayaan terhadap dolar membuat para pemilik modal mencari keuntungan yang lebih tinggi pada komoditi bahan mentah… Pertama-tama pada komoditi hasil tambang kemudian bahan pangan”. Sejumlah spekulan pada lima tahun terakhir mengalihkan harta mereka ke pasar komoditi bahan mentah untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi daripada keuntungan yang bisa mereka peroleh dari pasar saham dan surat berharga.
2. Kondisi-kondisi klimatologi
Kondisi-kondisi klimatologi yang berpengaruh terhadap turunnya produksi hasil pertanian, seperti banjir, topan dan kekeringan. Misalnya, Australia, salah satu penghasil terbanyak biji-bijian, menghadapi kondisi kekeringan yang paling buruk sepanjang sejarahnya… Kondisi-kondisi klimatologi ini pada tahun-tahun terakhir diiringi lompatan perekonomian di beberapa negara seperti Cina, India, dan Brazil yang menyebabkan meningkatnya konsumsi daging.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk memproduksi sepotong daging yang mengandung 100 kalori, ternak penghasil daging harus diberi pakan berupa biji-bijian sebanyak 700 kalori. Dari 2,13 miliar ton biji-bijian, menurut statistik FAO hanya 1,01 miliar ton saja yang digunakan untuk makanan manusia. Dengan begitu pemeliharaan ternak menambah naiknya harga dunia.
3. Produksi biofuel dari biji-bijian.
Jan Zigler, reporter khusus PBB untuk urusan makanan, dalam pernyataannya kepada sebuah radio Jerman, menilai bahwa produksi besar-besaran biofuel pada saat ini bisa dianggap sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan”. Ini disebabkan oleh pengaruhnya terhadap naiknya harga bahan pangan di dunia.
Biofuel menggunakan bahan dasar produk-produk pertanian. Pada tahun-tahun terakhir, banyak negara industri memanfaatkan lahan pertanian untuk memproduksi biofuel untuk menurunkan ketergantungan kepada minyak, yang harganya melonjak sampai angka yang tidak rasional. Ini menyebabkan bertambahnya permintaan terhadap biofuel, kemudian menyebabkan naiknya harga biji-bijian.
Di negara seperti Amerika dan Brazil, banyak lahan pertanian yang diubah menjadi areal tanam shorghum dan kedelai untuk produksi etanol. Sejak tahun 2001 jumlah shorghum yang digunakan untuk memproduksi etanol meningkat 300 %. Begitu juga Amerika berencana memproduksi etanol sebanyak 35 miliar galon (setara 133 miliar liter) pada awal 2017. Kongress Amerika di dalam dokumen energi tahun 2005 telah memutuskan untuk menambah produksi etanol yang diproduksi dari shorghum dari 4 miliar galon pada tahun 2006 menjadi 7,5 miliar galon pada tahun 2012.
Pada Maret 2007, Presiden AS George Bush bertemu dengan rekannya dari Brazil, Luiz Enisa Lula Silva untuk menandatangani perjanjian bilateral, yaitu Perjanjian Etanol bagi kerjasama di antara kedua negara untuk melakukan penelitian dan pengembangan generasi baru produksi biofuel, juga untuk membentuk persatuan dagang biofuel, khususnya di negara-negara Asia Tengah. Kesepakatan Perjanjian Etanol kedua kepala negara itu menjadi awal pertumbuhan yang nyata penanaman biji-bijian untuk dimanfaatkan dalam produksi biofuel. Gula tebu, kelapa sawit dan kedelai yang khusus untuk produksi biofuel telah menghabiskan lahan belukar dan hutan di Brazil, Argentina, Kolombia, Ekuador dan Uruguay. Areal tanam kedelai di Brazil telah menghabiskan 21 juta hektar lahan hutan dan 14 juta hektar di Argentina. Tidak tampak, bahwa fenomena ini akan menurun selama harga biji-bijian terus naik. Sebanyak 100 juta ton biji-bijian dari total 2,13 miliar ton akan digunakan dalam memproduksi biofuel pada tahun 2008. Dengan kata lain, ratusan juta ton biji-bijian ini akan digunakan untuk memberi makan mobil.
4. Kegagalan Pemerintah dan Politik
Tentang produksi gandum yang merupakan produk strategis, Uni Eropa memproduksi 122 juta ton, Cina 106 juta ton, India 75 juta ton, Amerika Serikat 56 juta ton, dan Rusia memproduksi 48 juta ton. Amerika Serikat mengekspor 32 juta ton, Kanada 15 juta ton, Uni Eropa 10 juta ton dan Argentina 10 juta ton.
Sedangkan negara-negara Arab, seluruhnya kecuali Suria, mengimpor gandum. Mesir, negeri sungai Nil, merupakan pengimpor gandum terbanyak di dunia. Mesir mengimpor 7 juta ton gandum. Aljazair negeri gunung Atlas dengan pertaniannya yang dahulu pernah kesohor sebagai produsen gandum pada masa penjajahan Perancis, ternyata mengimpor 5 juta ton gandum. Irak negeri sungai Eufrat dan Tigris mengimpor 3 juta ton, Maroko 3 juta ton, Yaman mendekati 3 juta ton, Tunisia satu juta ton dan Yordania 500 ribu ton.
Di tengah menurunnya nilai dolar dan naiknya harga minyak, maka biaya impor gandum akan naik drastis. Ini akan membebani neraca negara-negara tersebut dengan beban yang amat besar untuk mengimpor gandum, sampai seandainya negara-negara itu memperoleh gandum dan biji-bijian dengan harga khusus sekalipun.
Ini bisa terjadi, meski negara-negara tersebut memiliki sumber air dan tanah yang subur! Bukankah sesuatu yang mengherankan, negeri Nil, dua sungai (Eufrat dan Tigris) dan gunung Atlas justru termasuk negara pengimpor gandum terbesar di dunia!
Bisa jadi rekomendasi terakhir yang ada dalam laporan Bank Dunia tentang sumber-sumber air di Timur Tengah dan Afrika Utara, sebenarnya menjelaskan bagaimana politik yang keji tengah didesain untuk negara-negara Arab! Laporan tersebut menyimpulkan, bahwa untuk penyediaan air wajib diadopsi politik pertanian yang meminimalkan penggunaan air. Laporan ini merekomendasikan penanaman tomat dan semangka… Sebaliknya tidak menanam gandum! Tentu saja rekomendasi Bank Dunia yang dikatakan oleh Pir Franchesco Mantovani, ahli air di Bank Dunia, tidak ada kaitannya dengan prosedur teknik yang ditetapkan oleh para insinyur, tetapi berkaitan dengan reformasi politik yang mendalam!
Perlu diketahui, bahwa sebenarnya banyak negara yang memiliki potensi menanam gandum. Tetapi, politik penjajah yang diadopsi IMF menghalangi produksi gandum tersebut. Karena, IMF mendorong negara-negara yang mengikuti politiknya untuk menanam tembakau dan kapas, sementara IMF memberikan utang dan berbagai bantuan untuk menanamnya. Pada saat yang sama, utang dan bantuan itu dihalangi untuk penanaman gandum. Ini untuk mensuplay industri barat dengan dua komoditi tersebut.
Sesungguhnya negeri-negeri kaum Muslim telah dikaruniai Allah tanah-tanah yang subur dan air yang berlimpah. Semua itu, jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadikan kaum Muslim berada dalam kemakmuran hidup. Tetapi itu memerlukan sistem yang baik yang berasal dari Zat yang Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. Sistem itu adalah sistem Islam, yaitu Khilafah Rasyidah, yang akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kebaikan. Mudah-mudahan itu segera terwujud dalam waktu dekat atas seizin Allah.
Jumadil Ula 1429 H
5 Mei 2008