Tanya Jawab
Kembalinya Shalat ke Hagia Sophia dan Makin Tingginya Suara Menuntut Kembalinya Khilafah!
Soal:
Kita tahu bahwa Muhamamd al-Fatih rahimahullâh ketika menaklukkan Konstantinopel, ia menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid … Dan kita juga tahu bahwa Mushthafa Kamal la’natullâh ‘alayh telah menghilangkan sifat masjid dari Hagia Sophia dan menjadikannya museum … dan pada tahun 2013, Erdogan menolak tuntutan dari kaum Muslim untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid … Kemudian tahun ini, dan berdasarkan instruksi Erdogan, Mahkamah mengeluarkan keputusan mengembalikan Hagian Sophia sebagai masjid … Dan shalat pun ditegakkan di Hagia Sophia pada hari Jumat 24 Juli 2020. Dan gambar-gambar nashrani yang ada di dinding hanya akan ditutupi ketika shalat. Apakah ini mempengaruhi keabsahan shalat? Kemudian dari mana datangnya gambar-gambar ini padahal Hagia Sophia dahulu adalah masjid yang bersih dari semacam itu selama 500 tahun?!
Kita memiliki semacam kerancuan dalam hukum syara’ terkait Hagia Sophia ketika Muhammad al-Fatih menaklukkannya. Yang kami harapkan, dan kami ucapkan terima kasih kepada Anda, adalah penjelasan hukum syara’ tentang tempat-tempat ibadah kaum kafir di negeri-negeri yang ditaklukkan, agar jawaban itu menenteramkan hati kami, dan terima kasih serta penghargaan untuk Anda.
Jawab:
Agar jawaban pertanyaan-pertanyaan itu jelas, kami paparkan perkara-perkara yang berhubungan dan memiliki keterkaitan, disertai penjelasan pandangan syar’iy tentangnya. Kami katakan dengan izin dan taufik dari Allah:
Pertama: telah dinyatakan di dalam pidato kami pada 7 Jumadil Ula 1441 H (2 Januari 2020 M) pada moment peringatan penaklukan Konstantinopel tahun 857 H-1453 H sebagai berikut: [ … Al-Fatih menyerang dan mengepung Konstantinopel mulai 26 Rabiul Awal sampai bisa ditaklukkan pada fajar hari Selasa 20 Jumadul Ula 857 H seperti bulan ini. Artinya, pengepungan berlangsung selama sekitar dua bulan. Ketika memasuki kota sebagai pemenang, al-Fatih turun dari kudanya, berjalan kaki dan bersujud kepada Allah SWT sebagai ungkapan syukur atas kemenangan dan keberhasilan ini. Kemudian al-Fatih menuju gereja Hagia Sophia. Di situ rakyat Bizantiyum dan para rahibnya berkumpul. Al-Fatih memberikan jaminan keamanan kepada mereka. Al-Fatih memerintahkan untuk mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. Ia memerintahkan agar didirikan masjid di tempat makam shahabiy yang agung Abu Ayyub al-Anshari yang termasuk dalam barisan gelombang pertama untuk menyerang Konstantinopel dan wafat di sana rahimahullâhu wa radhiya ‘anhu … Al-Fatih yang digelari dengan gelar tersebut setelah penaklukan itu, memutuskan menjadikan Konstantinopel sebagai ibukota negaranya menggantikan Edirne. Ia memberikan sebutan kepada Konstantinopel setelah penaklukannya dengan Islam Bul yakni kota Islam “Dâr al-Islâm” dan kemudian terkenal dengan Istanbul. Kemudian al-Fatih memasuki kota dan menuju Hagia Sophia dan melaksanakan shalat di situ dan menjadi masjid berkat karunia, nikmat dan anugerah Allah … Begitulah, terealisir kabar gembira Rasulullah saw yang ada di dalam hadits beliau dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, ia berkata: “sementara kami ada di sekitar Rasulullah saw, kami sedang menulis, ketika Rasulullah saw ditanya, “kota manakah dari dua kota yang ditaklukkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Roma?” Maka Rasulullah saw bersabda:
«مَدِينَةُ هِرَقْلَ تُفْتَحُ أَوَّلاً، يَعْنِي قُسْطَنْطِينِيَّةَ»
“Kotanya Heraklius ditaklukkan lebih dahulu, yakni Konstantinopel”.
Diriwayatkan oleh imam Ahmad di Musnad-nya dan al-Hakim di al-Mustadrak ‘alâ Shahîhayn dan ia berkata, “ini hadits shahih menurut syarat syaikhayn meski keduanya tidak mengeluarkannya”. Adz-Dzahabi mengomentari di at-Talkhish, “menurut syarat al-Bukhari dan Muslim”. Demikian juga di dalam hadits yang mulia dari Abdullah bin Bisyri al-Khats’amiy dari bapaknya bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda:
«لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
“Sungguh Konstantinopel pasti ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu”.
Abdullah bin Bisyri berkata, “Maslamah bin Abdul Malik memanggilku dan bertanya kepadaku lalu aku sampaikan hadits itu kepadanya lalu dia menyerang Konstantinopel”. Diriwayatkan oleh imam Ahmad. Dinyatakan di Majma’ az-Zawâid komentar terhadapnya, “diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabarani dan para perawinya tsiqah”… Lalu kabar gembira itu terealisir di tangan pemuda ini, Muhammad al-Fatih yang usianya belum genap 21 tahun, tetapi dia telah dipersiapkan dengan baik untuk itu sejak masa kanak-kanaknya. Bapaknya, Sulthan Murad Kedua menaruh perhatian besar kepadanya. Ia menjadikan Muhammad al-Fatih belajar kepada para ustadz terbaik di masanya, termasuk Ahmad bin Ismail al-Kawrani yang disebutkan oleh as-Suyuthi sebagai pengajar pertama al-Fatih. As-Suyuthi berkata tentangnya, bahwa ia “seorang ’alim faqih. Para ulama masanya mengakuinya lebih unggul dan sempurna. Bahkan para ulama masanya menyebutnya Abu Hanifah zamannya”. Demikian juga syaikh ‘Aq Syamsuddin Sanqar yang menjadi orang pertama yang menanamkan di benak Muhammad al-Fatih sejak kecil hadits Rasulullah saw tentang “penaklukan Konstantinopel”. Pemuda itu pun tumbuh besar memusatkan perhatian agar penaklukan itu terealisir melalui tangannya … Allah telah memuliakannya dengan anugerah dan karuniaNya. Dia berhak mendapat pujian Rasulullah saw. Sungguh al-Fatih adalah sebaik-baik panglima …].
Kedua: sejak waktu itu, Hagia Sophia menjadi masjid jami’ islami yang agung menjadi simbol besar pada kaum Muslim. Muhammad al-Fatih dan orang-orang yang punya keahlian pada masanya menghilangkan gambar-gambar yang menyalahi Islam dari dinding dan gambar yang tidak bisa dihapus ditutup dengan cat atau semacamnya. Sehingga Hagia Sophia menjadi masjid yang bersih dan bersinar, yang mana kaum Muslim menunaikan shalat di situ memuji Allah atas kemenangan dan penaklukan yang nyata … Hal itu terus berlangsung sampai penjahat abad itu Mushthafa Kamal melarang shalat di masjid ini dan dia mengubahnya menjadi museum melalui keputusan beracun pada 24 November 1934 M … Sebelum itu, Mushthafa Kamal la’natullâh ‘alayh telah menutup masjid sejak 1930 M selama empat tahun: (Hagia Sophia telah ditutup bagi orang-orang yang shalat antara 1930-1935 M disebabkan pekerjaan restorasi yang dilaksanakan atas perintah Mushthafa Kamal pendiri Republik Turki. Selama pekerjaan restorasi, dilakukan beragam pekerjaan restorasi … Setelah itu disusul dengan keputusan Kabinet tertanggal 24 November 1934 M dengan mengubah Hagia Sophia menjadi museum (aa.com.tr/ar/190 – kantor berita Anadul, 11/7/2020 M). Artinya, masjid tersebut terus ditutup selama periode waktu itu. Selama penutupan atau restorasi itu, tidak bisa dijauhkan bahwa telah datang dari negeri Barat orang yang menggambar gambar-gambar itu dan berikutnya Hagia Sophia dibuka sebagai museum pada tahun 1935 M setelah jangka waktu yang disebutkan itu untuk ditampakkan kepada masyarakat bahwa di situ ada jejak-jejak dan gambar-gambar nashrani …! Sebelum itu, Mushthafa Kamal telah melakukan kejahatan besar menghapus al-Khilafah al-Islamiyah pada 1342 H-1924 M. Sebagaimana Mushthafa Kamal dengan brutal memerangi semua seruan untuk mengembalikan al-Khilafah, begitu juga dia melakukan hal yang sama terhadap semua seruan akan kembalinya Hagia Sophia kembali menjadi masjid … Meski demikian, kaum Muslim terus merasa rindu untuk mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid seperti dahulu. Dinyatakan di website al-Mudun, 26/3/2019 M: [banyak orang Turki terus menantikan hari yang mana “museum Hagia Sophia” kembali menjadi masjid untuk kaum Muslim. (pada 27 Mei 2012 M, ribuan kaum Muslim menunaikan shalat di depan bangunan itu sebagai protes terhadap undang-undang larangan menegakkan syiar-syiar keagamaan di situ. Hal itu bertepatan dengan momen peringatan ke-559 kemenangan sultan Muhammad al-Fatih dan penaklukan Konstantinopel. Orang-orang yang melakukan protes meneriakkan: “patahkan rantai-rantai … buka masjid Hagia Sophia … masjid yang tertawan”). Tekad mereka tidak pernah padam menuntut pembukaan kembali Hagia Sophia sebagai masjid. [Tetapi Erdogan menolak mereka yang menuntut itu ketika dia menjadi perdana menteri pada tahun 2013 bahwa dia tidak akan pernah berpikir mengubah posisi Hagia Sophia… (website al-Mudun)].
Ketiga: tetapi pandangan Erdogan berubah selama kampanye pemilu Parlemen yang diadakan di Turki pada Ahad 31 Maret 2020 M yang mana terjadi penurunan sahamnya. Seolah dia memandang bahwa lonceng konversi Hagia Sophia menjadi masjid akan menaikkan saham pemilu parlemennya. Maka dia pun menyerukan hal itu pada puncak kampanye pemilu: “Presiden Turki Recep Tayep Erdogan mengatakan pada Jumat bahwa penyebutan kembali Hagia Sophia sebagai masjid di Istanbul harus dilakukan, menggantikan sebutan museum, setelah pemilu hari Ahad. Besok dilakukan di Turki pemilu kota, dan Partai Keadilan dan Pembangunan -AKP berharap meraih kemenangan seperti apa yang terjadi pada tahun 2014 … (al-Jazeera.net, Sabtu, 30 Maret 2019). Tetapi kaum Muslim paham bahwa kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid sebagaimana dahulu merupakan perkara yang berkaitan dengan Islam, Daulah Islam, al-Khilafah. Dahulu Hagia Sophia merupakan masjid yang bersinar Daulah al-Khilafah, simbol kemenangan dan penaklukan yang nyata, realisasi kabar gembira Rasulullah saw yang benar dan terpercaya … Begitulah, yang diinginkan oleh orang-orang Mukmin yang benar: kembali bernaung di bawah panji al-Khilafah, panji lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh, bukan bernaung di bawah panji sekulerisme dan sistem positif buatan manusia! Oleh karena itu, kampanye pemilu Erdogan untuk mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid tidak meraih tujuannya sehingga Erdogan kehilangan Istanbul dan Ankara yakni dua kota terbesar di Turki! Dia kalah di hadapan siapa? Di hadapan Partai Popular, para pengikut Mushthafa Kamal yang mengubah Hagia Sophia menjadi museum!! Hal itu karena masyarakat tidak mendapati adanya perbedaan besar di antara partai-partai ini selama keduanya tidak ingin Hagia Sophia bernaung di bawah panji al-Khilafah!
Keempat: Erdogan tidak paham bahwa kembalinya Hagia Sophia menjadi masjid sebagaimana dahulu tidak membuahkan hasilnya dan tidak mendukungnya dengan popularitas kecuali jika dikaitkan dengan kembalinya al-Khilafah. Meski dia melihat sendiri hal itu di dalam hasil pemilu, namun ia terus menempuh jalan yang sama! Begitulah. Berdasarkan instruksi dan keinginannya, Mahkamah Tinggi Turki mengeluarkan keputusan pada 10 Juli 2020 untuk mengubah museum Hagia Sophia di kota Istanbul kembali menjadi masjid tanpa menyebutkan keterkaitan hal itu dengan kembalinya al-Khilafah. Dan berikutnya dilaksanakan shalat Jumat pada 24 Juli 2020 seraya tetap bertahannya sistem sekuler dan hukum positif berkibar di atas masjid Hagia Sophia!!
Shalat hari itu menyingkap betapa besar kerinduan kaum Muslim kepada kembalinya al-Khilafah dan kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid sebagaimana dahulu selama 500 tahun. Hal itu tampak jelas dalam kegembiraan sebagian besar masyarakat dengan apa yang dikatakan oleh khatib Jumat itu, Eli Erbas kepala urusan keagamaan Turki pada 3 Dzulhijjah 1441 H-24 Juli 2020 M di masjid Hagia Sophia ketika kembali dilaksanakan shalat di situ setelah 90 tahun ditutup dari pelaksanaan shalat … Khususnya ketika dia berkata; “sungguh pujian yang agung dan syukur kita panjatkan kepada Rabb kita azza wa jalla yang menjadikan kita bertemu dan berkumpul pada semisal hari bersejarah yang mulia ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasul kita yang paling mulia yang telah menyampaikan kabar gembira dengan sabda beliau:
«لَتُفتَحَنَّ القُسْطَنْطينيَّةُ؛ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ»
“Sungguh, Konstantinopel pasti ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukan itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu”.
Dan salam semoga tercurahkan kepada para sahabat beliau yang dimuliakan yang telah keluar berjihad di jalan Allah mencari tercapainya kabar gembira ini dan yang terdepan adalah Abu Ayyub al-Anshari radhiyallâh ‘anhu yang dianggap sebagai pembangun maknawi Istanbul, dan juga kepada siapa saja yang menyusuri jejak mereka dan kepada semua syuhada dan prajurit kita yang menjadikan Anadul sebagai rumah bagi kita dan melindunginya dan mempercayakan kepada kita untuk menjaganya.
Dan salam semoga tercurahkan kepada Aq Syamsuddin pemilik ilmu dan kebijaksanaan yang meniupkan ke dalam hati sultan Muhammad al-Fatih kecintaan penaklukan, dan mengimami shalat pada shalat pertama di masjid jami’ Hagia Sophia pada 1 Juni 1453 M. dan salam semoga tercurahkan kepada amir, seorang pemuda cerdas dan sultan al-Fatih Muhammad Khan … yang dengan karunia Allah ‘azza wa jalla dan pertolonganNya berhasil menaklukkan Istanbul … dan salam juga semoga tercurahkan kepada arsitek besar Ma’mar Sinan yang menghiasai Hagia Sophia dengan menara adzan …
Sungguh Hagia Sophia merupakan simbol penaklukan dan amanah Sang Penakluk (al-Fatih). Sultan al-Fatih Muhammad Khan mewakafkan tempat itu dan menjadikannya wakaf dengan sifatnya sebagai masjid sampai hari Kiamat dan meninggalkannya dalam perjanjian dengan kaum Mukmin. Di dalam keyakinan kita, kepemilikan wakaf tidak bisa disentuh. Dan tidak butuh syarat pihak yang mewakafkan kepemilikan ini. Dan orang yang melanggarnya layak mendapat laknat. Oleh karena itu, Hagia Sophia sejak waktu itu sampai hari kita bukan hanya tempat suci negeri kita saja, tetapi juga tempat suci umat Muhammad saw … (aa.com.tr/ar/192, Istanbul, al-Anadul, 24 Juli 2020 M).
Kelima: persepsi-persepsi Islam bergerak di hati kaum Muslim, khususnya ketika mereka mendengar kabar gembira Rasulullah saw dengan penaklukan Konstantinopel. Mereka paham bahwa pemerintahan Islam lah yang menaklukkan Konstantinopel dan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Istanbul dan masjidnya Hagia Sophia tetap menjadi markas al-Khilafah Utsmaniyah sekira 500 tahun. Oleh karena itu, persepsi-persepsi al-Khilafah bergerak di hati mereka, bahkan diumumkan di sebagian media sebagaimana di majalah Ghersik Hayat – al-Hayah al-Haqîqiyah. Majalah Ash-Sharqu al-Awsath pada Selasa, 7 Dzulhijjah 1441 H-28 Juli 2020 menyebutkan: [sementara itu majalah Ghersik Hayat – al-Hayah al-Haqîqiyah pada nomor barunya yang terbit pada kemarin secara langsung menyerukan pendeklarasian al-Khilafah di Turki. Majalah tersebut dalam sampulnya berbahasa arab melansir: “jika tidak sekarang lalu kapan?]. Yang wajib adalah Erdogan menyambutnya, dan bukannya malah juru bicara partainya menentang hal itu: “Ankara –Zaman at-Turkiyah– Juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan -AKP yang berkuasa di Turki Amru Chalik mengecam kontroversi yang mencuat pasca pembukaan masjid Hagia Sophia menyusul seruan pendeklarasian al-Khilafah. Majalah Ghersik Hayat – al-Hayah al-Haqîqiyah yang terbit hari itu dalam nomornya melansir di sampulnya ungkapan yang menyerukan dihidupkannya kembali al-Khilafah al-Islamiyah. Chalik menjelaskan bahwa Turki adalah negara hukum demokrasi, sekuler dan sosial. Dia menyatakan bahwa merupakan kesalahan menciptakan polarisasi politik tentang sistem politik Turki … Dia melanjutkan: “saya berdoa memohonkan belas kasihan untuk komandan perang kemerdekaan dan pendiri republik serta presiden pertamanya, Mushthafa Kamal Ataturk dan seluruh komandan perang kemerdekaan. Kita akan melanjutkan langkah damai dan tegas menuju keinginan bangsa kita dengan kepemimpinan terampil presiden kita. Seruan kami bersama bangsa dan tujuan kita adalah negeri yang bersatu. Hidup Republik Turki” … (Zaman at-Turkiyah, 28/7/2020 M). Begitulah, juru bicara atas nama partai berkuasa menyingkap bahwa perkara itu bukan karena Allah tetapi untuk tujuan duniawi yang cepat hilang!
Bukan begitu ya Presiden, onta digembalakan! Setiap muslim yang benar dalam Islamnya bergembira dengan kembalinya Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Namun setiap muslim yang benar dalam Islamnya juga menginginkannya sebagaimana hal itu dimulai oleh Muhammad al-Fatih sebagai alamat kemenangan dan penaklukan yang nyata, cahaya yang bersinar di dalam sejarah al-Khilafah Utsmaniyah, al-Khilafah al-Islamiyah, perealisasian kabar gembira Rasulullah saw … Begitulah yang diinginkan oleh setiap orang muslim yang benar dalam islamnya, yakni sebagai masjid yang bersinar, di atasnya dikibarkan panji Islam, panji pemerintahan Islam, panji al-Khilafah yang telah menaunginya sekira 500 tahun, bukan kembalinya Hagia Sophia sebagai masjid karena tujuan pemilu yang selintas akan lenyap, baik pemilu kota atau parlemen! yang bernaung dengan panji sekulerisme dan hukum positif yang melayani kepentingan kaum kafir imperialis dan bukan melayani kepentingan Islam dan kaum Muslim!
Keenam: adapun apa yang ada di akhir pertanyaan, (di kami menjadi ada sesuatu kekacauan tentang hukum syara’ terkait Hagia Sophia ketika Muhamamd al-Fatih membukanya, dan yang kami harapkan, dan kami ucapkan terima kasih kepada Anda, adalah penjelasan hukum syara’ tentang tempat-tempat ibadah kaum kafir di negeri yang ditaklukkan, agar jawaban itu menenteramkan hati kami …).
Ya akhiy, tidak ada kekacauan tentang hukum syara’ di situ. Hingga meski di situ ada beberapa pandangan berbeda pada sebagian cabang menurut para fukaha kaum Muslim, maka itu menurut apa yang menjadi ghalabah azh-zhann mereka berdasarkan pemahaman mereka yang rajih untuk dalil-dalil syara’ yang sah digunakan berhujjah menurut mereka. Oleh karena itu tidak ada kekacauan …
Adapun masalah ini, maka itu bukanlah hal baru. Bahkan para fukaha telah membahasnya, dan dengan merenungkannya secara benar menjadi jelas hal-hal berikut:
Negeri-negeri yang ditaklukkan tidak keluar dari satu di antara kondisi-kondisi ini:
1- Yang dirancang dan didirikan oleh kaum Muslim seperti Kufah, Bashrah, Wasith dan semisalnya, maka di situ tidak boleh ada pembangunan gereja dan biara. Ahlu adz-Dzimmah tidak diberi kemungkinan, seandainya mereka memasuki negeri itu untuk berjual beli… dll, mereka tidak diberi kemungkinan untuk meminum khamr, memakan daging babi sebab itu adalah dar al-Islam yang didirikan oleh kaum Muslim … Hal itu karena sabda Rasul saw:
«لاَ تُبْنىَ بِيْعَةٌ فِي الْإِسْلاَمِ وَلاَ يُجَدَّدُ مَا خَرَبَ مِنْهَا»
“Tidak boleh dibangun biara di dalam al-Islam dan yang sudah hancur tidak diperbarui”.
Dikeluarkan oleh ‘Alauddin al-Burhan Fawriy (w. 975 H) di Kanzu al-‘Umâl fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl dari Ibnu ‘Asakir dari Umar. Demikian juga telah dikeluarkan oleh as-Suyuthi di al-Jâmi’ al-Kabîr. Ibnu ‘Abbas berkata menurut riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas:
«أَيُّمَا مِصْرٍ مَصَّرَتْهُ الْعَرَبُ فَلَيْسَ لِلْعَجَمِ أَنْ يَبْنُوا فِيهِ بِنَاءً، أَوْ قَالَ: بِيعَةً»، أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه
“Kota manapun yang dibangun oleh orang Arab, maka orang non arab (‘ajam) tidak boleh membangun bangunan di situ atau biara” (HR Ibnu Abiy Syaibah di Mushannaf-nya).
2- Negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim secara damai (shulhan). Maka hukum tentang biara dan gereja mengikuti perdamaian dengan mereka. Dan yang lebih utama, mereka diikat perdamaian menurut perjanjian yang dilakukan Umar bin al-Khathab ra tahun 15 H – 638 M dalam Perjanjian al-‘Umariyah (al-‘Ahdah al-‘Umariyah) untuk penduduk Iliya’ (al-Quds) ketika kaum Muslim menaklukkannya.
3- Apa yang ditaklukkan oleh kaum Muslim melalui perang (‘anwatan), maka tidak boleh dibangun sesuatu pun dari hal itu (tempat ibadah kaum kafir) di situ. Sebab negeri itu menjadi milik kaum Muslim. Dan yang sudah ada sejak sebelum penaklukan maka di situ ada dua pendapat:
Pertama, bahwa dengan penaklukan melalui perang maka itu menjadi negeri yang dimiliki oleh kaum Muslim, Dar al-Islam. Maka tidak boleh di situ ada biara atau gereja seperti halnya negeri yang dirancang oleh kaum Muslim.
Kedua, bangunan-bangunan tempat ibadah mereka boleh tetap dipertahankan sebab dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abiy Syaibah di dalam Mushannaf-nya:
«أَيُّمَا مِصْرٍ مَصَّرَتْهُ الْعَجَمُ يَفْتَحُهُ اللَّهُ عَلَى الْعَرَبِ وَنَزَلُوا يَعْنِي عَلَى حُكْمِهِمْ فَلِلْعَجَمِ مَا فِي عَهْدِهِمْ…»
“Kota manapun yang dibangun oleh orang non arab yang Allah taklukkan melalui tangan orang arab dan mereka menempatinya menurut hukum mereka maka bagi orang non arab (‘ajam) apa yang ada di dalam perjanjian mereka …”.
Dengan itu, maka perkaranya kembali kepada sang penakluk yang menaklukkan negeri melalui perang sesuai pandangannya untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslim serta pemeliharaan urusan rakyat kaum Muslim dan ahlu adz-dzimmah …
Dan karena topik Konstantinopel masuk dalam bab penaklukan melalui perang maka akan saya kutipkan pendapat sebagian fukaha untuk makin menenteramkan:
a- Dinyatakan di Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifati Alfâzh al-Minhâj karya Muhammad asy-Sayrbini w. 977 H dalam menjelaskan matan Minhâj ath-Thâlibîn karya imam Nawawi w. 676 H:
[(dan kita larang mereka membangun gereja di negeri yang kita bangun atau penduduknya masuk Islam atasnya. Dan apa yang ditaklukkan ‘anwatan (melalui perang), tidak boleh mereka mengadakannya di situ, dan mereka tidak diizinkan atas gereja yang ada di situ menurut yang lebih sahih, atau yang ditaklukkan secara damai (shulhan) dengan syarat tanah menjadi milik kita dan syarat mereka menempatinya dan gereja mereka dipertahankan, maka itu boleh. Dan jika dimutlakkan maka yang lebih shahih adalah dilarang atau untuk mereka disetujui dan untuk mereka boleh mengadakannya, dalam pendapat yang lebih shahih).
Syarah: “dan kita melarang mereka” secara wajib “mengadakan gereja” dan biara dan kuil untuk para rahib dan rumah api untuk orang Majusi “di negeri yang kita adakan” … “atau” negeri “yang penduduknya masuk Islam atasnya” … “dan apa” yakni negeri yang “ditaklukkan dengan perang” seperti Mesir, Ashbahan dan Maroko “mereka tidak boleh mengadakannya di situ” sebab kaum muslim memilikinya dengan penguasaan sehingga terhalang untuk dijadikan gereja dan sebagaimana tidak boleh gereja diadakan di situ atau dibangun baru juga tidak boleh dikembalikan jika hancur “dan mereka tidak diijinkan atas gereja yang ada di situ dalam pendapat yang lebih shahih” karena alasan yang sudah dipaparkan … dan yang kedua mereka disetujui sebab kemaslahatan menuntut hal itu. Dan yang menjadi obyek perbedaan pendapat adalah dalam apa yang sudah berdiri ketika ditaklukkan …].
b- Dinyatakan di Fathu al-Qadîr karya Kamaluddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu al-Humam (w. 861 H) fikih hanafi:
[yang kedua, apa yang ditaklukkan oleh kaum muslim dengan perang maka di situ tidak boleh diadakan (dibangun baru) sesuatu (tempat ibadah kaum kafir) menurut ijmak. Dan sesuatu yang ada di situ dari hal itu (tempat ibadah kaum kafir) apakah wajib dihancurkan? Maka berkata Malik dan asy-Syafi’iy dalam satu pendapat dan Ahmad dalam satu riwayat: wajib. Dan menurut kami, dijadikan sebagai dzimmah perkara mereka adalah gereja mereka dijadikan tempat tinggal dan shalat mereka di situ dilarang tetapi tidak dihancurkan, dan itu adalah pendapat asy-Syafi’iy dan satu riwayat dari Ahmad sebab para sahabat menaklukkan banyak negeri dengan perang tetapi mereka tidak menghancurkan gereja dan tidak pula negeri dan tidak dinukilkan hal itu sama sekali].
c- Dinyatakan di al-Mughni karya Ibnu Qudamah w. 620 H:
[Bagian kedua, apa yang ditaklukkan oleh kaum Muslim dengan perang, maka tidak boleh diadakan -dibangun baru- sesuatu pun dari yang demikian itu di situ, sebab itu menjadi milik kaum Muslim. Sedangkan apa yang ada di situ maka ada dua pendapat. Pertama, wajib dihancurkan dan haram tetap dipertahankan sebab itu merupakan negeri yang dimiliki oleh kaum Muslim sehingga di situ tidak boleh ada biara seperti negeri yang dirancang oleh kaum Muslim. Dan kedua, adalah boleh, sebab di dalam hadits Ibnu ‘Abbas:
أَيُّمَا مِصْرٍ مَصَّرَتْهُ الْعَجَمُ، فَفَتَحَهُ اللَّهُ عَلَى الْعَرَبِ، فَنَزَلُوهُ، فَإِنَّ لِلْعَجَمِ مَا فِي عَهْدِهِمْ
“Kota manapun yang dibangun orang non arab (‘ajam) dan ditaklukkan oleh Allah melalui orang arab dan mereka menempatinya maka untuk orang non arab apa yang ada di dalam perjanjian mereka”].
Ketujuh: atas dasar itu maka jawaban pertanyaan yang ada di pertanyaan dengan ringkas adalah sebagai berikut:
1- Jika negeri itu ditaklukkan secara damai melalui perjanjian maka itu menurut syarat-syarat perdamaian. Dan yang lebih utama adalah seperti yang ada di dalam Perjanjian Umariyah ketika Baitul Maqdis ditaklukkan …
2- Jika negeri itu ditaklukkan dengan perang maka perkaranya kembali kepada penguasa Muslim yang menaklukkan, dia mempertahankannya untuk ibadah mereka atau tidak mempertahankannya untuk ibadah mereka, sesuai apa yang diadopsi penguasa Muslim itu dari sisi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim dan dari sisi pemeliharaan urusan kaum Muslim dan ahlu adz-dzimmah.
3- Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Muhammad al-Fatih rahimahullah wa radhiya ‘anhu dengan mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah bagian dari kewenangan dia, sebab negeri itu ditaklukkan dengan perang.
4- Ada riwayat-riwayat yang memberi pengertian bahwa Muhammad al-Fatih membayar kepada Paus Roma Ortodoks harga pembelian Hagia Sophia, dari sisi perlakuan yang baik terhadap ahlu az-dzimmah, yakni Nashrani di Istanbul. Dan beberapa dokumen historis menurut riwayat-riwayat itu menegaskan bahwa Sultan Muhammad Kedua yang dikenal dengan Muhammad al-Fatih membayar harga pembelian yang disebutkan itu [dari harta pribadinya dan bukan dari harta negara, dan beliau mencatatnya dengan stempel kepemilikan pribadi atas namanya sendiri dan perkara itu didokumentasikan melalaui kontrak jual beli dan pelepasan kepemilikan serta pembayaran jumlah itu dengan bukti pembayaran. Hal itu setelah penaklukan kota Konstantinopel selama masa pemerintahannya untuk Daulah Utsmaniyah. Kemudian beliau membuat pintu-pintu properti untuk kemaslahatan yayasan sebagai wakaf atas nama Abu al-Fatah as-Sulthan Muhammad …]. Dan baik riwayat-riwayat itu shahih atau di situ ada masalah dari sisi pembelian, maka penguasa yang memerintah dengan Islam jika dia menaklukkan negeri kaum kafir melalui perang maka dia boleh mempertahankan tempat-tempat ibadah mereka dan dia juga boleh tidak mempertahankannya sebagaimana yang telah dijelaskan di atas …
5- Adapun tentang keabsahan shalat dengan adanya gambar-gambar di dinding dan cukup dengan menutupinya ketika shalat, maka selama itu ditutup maka shalat itu sah … Tetapi tidak boleh dibuka setelah shalat dan negara berdosa besar dengan pembukaan itu. Hukum syara’ dalam hal itu adalah haramnya gambar di dinding masjid atau tempat manapun di situ. Dan jika ada gambar, maka wajib dihilangkan. Dan jika tidak bisa dihilankan karena suatu sebab maka wajib ditutup secara final menggunakan wasilah yang tepat tidak bisa lagi dibuka. Di antara dalil-dalilnya:
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra.:
«أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ “يعني الكعبة” لَمْ يَدْخُلْ حَتَّى أَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ…»
“Nabi saw ketika melihat gambar di al-Bayt “yakni Ka’bah”, beliau tidak masuk sampai beliau memerintahkan gambar itu lalu dihapus …”.
Ibnu Hibban juga telah mengeluarkannya di Shahîhnya.
– Imam Ahmad telah mengeluarkan di Musnadnya dari Jabir bin Abdullah:
«أَنَّ النَّبِىَّ ﷺ نَهَى عَنِ الصُّوَرِ في الْبَيْتِ وَنَهَى الرَّجُلَ أَنْ يَصْنَعَ ذَلِكَ وَأَنَّ النَّبِىَّ ﷺ أَمَرَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ زَمَنَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِالْبَطْحَاءِ أَنْ يَأْتِي الْكَعْبَةَ فَيَمْحُوَ كُلَّ صُورَةٍ فِيهَا وَلَمْ يَدْخُلِ الْبَيْتَ حَتَّى مُحِيَتْ كُلُّ صُورَةٍ فِيهِ»
“Nabi saw melarang gambar di al-Bayt dan melarang orang melakukan itu (membuat gambar) dan bahwa Nabi saw memerintahkan Umar bin al-Khaththab pada waktu penaklukan Mekah dan dia ada di al-Bathha’ agar mendatangi Ka’bah lalu dia menghapus semua gambar di Ka’bah dan Nabi saw tidak masuk ke dalam Ka’bah sampai semua gambar di situ dihapus”.
Al-Baihaqi juga telah mengeluarkannya di as-Sunan al-Kubrâ.
Atas dasar itu, maka haram menempatkan gambari di masjid atau mushalla di semua waktu, bukan hanya ditutup waktu shalat dan dibuka kembali setelah shalat. Penguasa berdosa menyalahi hal itu.
Penutup, saya berdoa kepada Allah SWT agar menyegerakan tegaknya al-Khilafah melalui tangan-tangan para pejuangnya dari kaum Muslim sehingga terealisir melalui tangan al-Khilafah semua yang dikabargembirakan oleh Rasulullah saw berupa pembebasan bumi yang diberkahi dari najis Yahudi, dan Roma ditaklukkan setelah Konstantinopel telah ditaklukkan sebelumnya, dan berikutnya bumi kembali disinari dengan kemuliaan Islam dan panji Islam berkibar di atas panji-panji yang lainnya.
﴿وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ﴾
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (TQS Yusuf [12]: 21).
Hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) 1441 H
30 Juli 2020 M
http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/political-questions/69707.html