Tanya Jawab

Hukum Penggunaan Kamera Pengawas (CCTV)

سم الله الرحمن الرحيم

Jawab Soal:

Hukum Penggunaan Kamera Pengawas

Dan Apakah Gambar Rekamannya Merupakan Bukti Syar’iy?

Kepada Dr. Basam asy-Syu’ban

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Tiap tahun datang dan semoga Anda mendapat seribu kebaikan dan selamat Hari Raya Id wahai Amir kami, semoga Allah senantiasa menjaga Anda.

Pertanyaan saya, apa hukum kamera pengawas (CCTV) di toko-toko, apakah boleh mengkriminalkan seseorang dengan bukti rekaman kamera jika dia melihat melalui kamera pengawas bahwa seseorang itu mencuri?

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Pertanyaan Anda terdiri dari dua cabang: pertama, Anda bertanya tentang hukum penggunaan kamera pengawas. Kedua, Anda bertanya tentang gambar yang direkam oleh kamera pengawas apakah dinilai sebagai bukti syar’i atau tidak?

Jawaban pertanyaan pertama:

Hukum kamera terderivasi di bawah kaedah syar’iyah “al-ashlu fî al-asyyâ`i al-ibâhah mâ lam yarid dalîl at-tahrîm –hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak datang dalil yang mengharamkan-“. Kaedah tersebut diambil dari semisal firman Allah SWT:

﴿ أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ﴾

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi …” (TQS Luqman [31]: 20)

﴿ وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ﴾

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya …” (TQS al-Jatsiyah [45]: 13)

 

Dan tidak ada dalil yang mengharamkan kamera sehingga tetap pada hukum asalnya yaitu mubah.

Akan tetapi, sesuatu yang mubah jika digunakan dalam aktivitas yang haram maka penggunaan ini menjadi haram. Hal itu sesuai kaedah syar’iyah kulliyah “al-wasîlatu ilâ al-harâmi harâmun –wasilah kepada yang haram adalah haram-“. Demikian juga kaedah dharar kedua: “kullu fardin min afrâdi al-mubâh idzâ kâna dhâran aw mu`adiyan ilâ dhararin hurrima dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubâhan – Segala sesuatu yang mubah jika membahayakan atau menyebabkan kepada bahaya (dharar) maka sesuatu itu diharamkan dan perkara tersebut tetap mubah-“.

Atas dasar itu, jika kamera pengawas (CCTV) digunakan dalam perkara yang boleh seperti mengawasi toko komersial untuk mencegah pencurian atau di jalan untuk mengawasi arus lalu lintas … dan semacamnya, maka semua penggunaan itu adalah boleh. Adapun jika penggunaan kamera pengawas (CCTV) itu untuk tajasus (memata-matai) masyarakat dan mengawasi pergerakan mereka dan tempat tinggal mereka atau untuk menelisik aurat mereka atau untuk memotret dalam rumah mereka … maka semua penggunaan tersebut adalah haram sebab tajasus terhadap masyarakat dan mengawasi pergerakan dan tempat tinggal mereka adalah haram. Hal itu sesuai firman Allah SWT:

﴿ وَلَا تَجَسَّسُوا ﴾

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang …” (TQS al-Hujurat [49]: 12)

 

Dan karena apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dari Nabi saw, beliau bersabda:

«إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»

“Sesungguhnya, pemimpin jika mencari-cari hal yang mencurigakan di masyarakat maka dia merusak mereka.”

 

Dan karena menelisik aurat masyarakat dan melihat kehidupan khusus mereka adalah haram dikarenakan imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, beliau bersabda:

«مَنِ اطَّلَعَ فِي بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَقَدْ حَلَّ لَهُمْ أَنْ يَفْقَئُوا عَيْنَهُ»

“Siapa yang mengintip di dalam rumah satu kaum tanpa ijin mereka, maka sungguh halal bagi mereka mencolok matanya.”

 

Adapun jawaban pertanyaan kedua:

Gambar yang diperoleh melalui kamera pengawas secara syar’iy tidak layak menjadi bukti atas suatu kejahatan. Sebab bukti syar’iy yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iy adalah empat jenis saja, yaitu: pengakuan (al-iqrâr), sumpah (al-yaminu), kesaksian (asy-syahâdah) dan dokumen tertulis yang dipastikan.

Tidak ada bukti selain bukti-bukti yang empat ini. Diantara dalil-dalilnya sebagai berikut:

– Pengakuan (al-iqrâr): apa yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari Zaid bin Khalid dan Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, beliau bersabda:

«وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا»

“Pergilah wahai Unais kepada wanita ini, jika dia mengakui maka rajamlah dia.”

 

– Sumpah (al-yamînu): apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di Sunan-nya dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda:

«لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، ادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ، وَلَكِنِ الْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ»

“Seandainya manusia diberi menurut dakwaan mereka, niscaya orang mendakwa darah orang dan harta mereka, akan tetapi sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa.”

 

Dan apa yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dari Atha’ dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, beliau bersabda:

«الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنِ ادَّعَى , وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ»

“Bukti menjadi kewajiban penuntut dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari kecuali dalam perkara al-qasamah.”

 

Dan dalam riwayat yang lain dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda:

«الْبَيِّنَةُ عَلَى مَنِ ادَّعَى , وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ إِلَّا فِي الْقَسَامَةِ»

“Bukti wajib bagi orang yang menuntut dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari kecuali dalam perkara al-qasamah.”

 

– Kesaksian (asy-syahâdah): firman Allah SWT:

)وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ(

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan…” (TQS al-Baqarah [2]: 282)

 

– Dokumen tertulis yang dipastikan: firman Allah SWT:

)وَلاَ تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُوا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا(

dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. (TQS al-Baqarah [2]: 282)

 

Inilah bukti-bukti yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iy. Adapun selain keempat bukti itu seperti bukti forensik, analisis darah, foto, anjing pelacak dan lainnya, maka tidak lebih sebagai indikasi (petunjuk) yang mengarahkan sebab tidak memiliki dalil baik dari al-Quran maupun as-Sunnah sehingga tidak dianggap sebagai bukti-bukti syar’iy.

Begitulah, suatu bukti tidak dinilai sebagai bukti syar’iy kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal itu atau masuk di bawah salah satu dalil yang ada…

Atas dasar itu, maka rekaman kamera pengawas bukan bagian dari bukti. Akan tetapi tidak berarti rekaman kamera pengawas tidak ada nilainya. Rekaman kamera pengawas dapat menjadi indikasi atau petunjuk. Hanya saja petunjuk adalah sesuatu sedangkan bukti adalah sesuatu yang lain. Foto dan yang lainnya yang mungkin dijadikan petunjuk artinya boleh digunakan untuk menjadi petunjuk. Hal itu seperti ucapan korban pembunuhan bahwa Fulan adalah yang membunuhnya, maka itu dijadikan petunjuk. Akan tetapi semua itu tidak menjadi bukti atas dakwaan. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahîh-nya dari Anas bin Malik ra:

«أَنَّ يَهُودِيًّا رَضَّ رَأْسَ جَارِيَةٍ بَيْنَ حَجَرَيْنِ، فَقِيلَ لَهَا: مَنْ فَعَلَ بِكِ هَذَا، أَفُلاَنٌ، أَفُلاَنٌ؟ حَتَّى سُمِّيَ اليَهُودِيُّ، فَأَوْمَأَتْ بِرَأْسِهَا، فَجِيءَ بِاليَهُودِيِّ فَاعْتَرَفَ، فَأَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُضَّ رَأْسُهُ بِالحِجَارَةِ»

“Seorang Yahudi menjepit kepala seorang hamba sahaya perempuan diantara dua buah batu, lalu dikatakan kepada hamba sahaya perempuan itu: “siapa yang melakukan ini kepadamu, apakah Fulan atau Fulan? Sampai disebut nama seorang Yahudi lalu hamba sahaya perempuan itu memberi isyarat dengan kepalanya. Lalu Yahudi itu didatangkan dan dia mengakui, maka Nabi saw memerintahkan dan dia pun dijepit kepalaya dengan batu.”

 

Jadi Rasul saw ketika bertanya kepada hamba sahaya perempuan “siapa yang membunuhmu” dan disebut nama Fulan dan Fulan lalu hamba sahaya perempuan itu menunjuk kepada seorang Yahudi, Beliau saw tidak mengambil ucapan hamba sahaya perempuan itu sebagai bukti akan tetapi dijadikan petunjuk lalu Yahudi itu didatangkan dan ia mengakui maka dia pun dibunuh. Jadi bukti adalah pengakuan dan pembenaran Yahudi itu, bukan ucapan korban terbunuh…

Demikian juga semua indikasi (petunjuk) dan semisalnya, semua itu dijadikan petunjuk dan tidak menjadi bukti syar’iy kecuali jika ada dalil syar’iy.

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rashtah

 

11 Raibul Awal 1437 H

22 Desember 2015 M

https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.ht/posts/1952652711626738:0

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close