Tanya Jawab
Hukum Mengkonsumsi Ganja
Oleh: Ustadz Muhammad Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Saat ini muncul kampanye untuk melegalkan penggunaan ganja, beberapa negara melegalkan ganja, bahkan Uruguay negara pertama yang melegalkan warganya untuk menanam, mengkonsumsi dan menjual ganja. Bagaimana hukum menggunakan ganja dalam pandangan Islam ? (Abu Fatih, Jakarta)
Jawab :
Menurut kami haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak. Meskipun untuk sekedar penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut.
Keharamannya didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.
Dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab : al hasyisy) adalah hadits sebagai berikut :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ
Dari Ummu Salamah RA, dia berkata,”Bahwa Nabi SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).” (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).
Sebagian ulama menilai hadits ini dha’if (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib Al Arna`uth. Namun kami lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar Al Asqalani yang menghukumi hadits ini sebagai hadis hasan. (‘Aunul Ma’bud, 3/378; Musnad Ahmad bin Hanbal Ma’a Hukm Syu’aib Al Arna`uth, Juz 6 hlm. 309; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47; Kitabul Asyribah, Bab Al Khamr min Al ‘Asl, syarah hadits no 5263; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35, Bab “At Takhdiir”; Ahmad Fathi Bahnasy, Al Khamr wal Mukhaddirat fi Al Islam, hlm. 169).
Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadits di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 342; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35).
Maka dari itu, hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).
Keharaman ganja ini menurut kami bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).
Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah yang bersifat mutlak pula. Artinya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasannya apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak. Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula. Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208).
Selain itu, keharaman ganja ini semata-mata didasarkan pada nash, bukan didasarkan pada illat (alasan) keharaman ganja. Karena illat itu memang tidak ada. Bahwa ganja dapat menimbulkan efek negatif, adalah semata-mata fakta (al waqi’), namun bukan illat keharaman ganja.
Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan :
إِنَّ العِبَادَاتَ وَالمَطْعُومَاتَ وَالمَلْبُوسَاتَ وَالمَشْرُوبَاتَ وَالأخْلَاقَ لَا تُعَلَّلُ وَإِنَّمَا يُلْتَزَمُ فِيهَا بِالنَّصِ
sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja. (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55). Wallahu a’lam.[]