Oleh: Yuana Ryan Tresna
Sebagaimana diberitakan, Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme. Nasaruddin mengatakan pelajaran fikih yang ada saat ini masih produk era Perang Salib. Sehingga masih mempertentangkan negara Islam dengan negara bukan Islam. Nasaruddin menjelaskan fikih era Perang Salib mengusung tiga konsep negara, yaitu darul Islam, darul Harb (negara musuh), dan darul sulh (negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat). (https://www.cnnindonesia[dot]com/nasional/20200610182533-20-511951/imam-istiqlal-sebut-kitab-fikih-saat-ini-produk-perang-salib).
Pernyataan tersebut telah mengundang reaksi dari banyak kalangan. Lantas tepatkah pernyataan yang mendiskreditkan fikih Islam tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk kita simak ungkapan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya, Syari’ah Allah al-Khalidah (hlm.7). Beliau menegaskan bahwa pengamalan fikih Islam secara benar justru akan menjadi kunci kebangkitan dan kebaikan. Beliau menyampaikan,
فلو أنّ المسلمين ( اليوم ) عملوا بأحكام الفقه والدين كما كان آباؤهم لكانوا أرقى الأمم وأسعد الناس!
“Sekiranya kaum muslimin hari ini menerapkan hukum-hukum fikih dan agama (Islam) sebagaimana para pendahulu mereka, niscaya mereka akan menjadi umat yang terdepan dan paling bahagia.”
Fikih itu sudah ada sejak zaman shahabat radhiyallahu ‘anhum, dan kodifikasinya dilakukan pada zaman setelahnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullahu ta’ala mengatakan,
فَمِمَّا حَدَثَ تَدْوِينُ الْحَدِيثِ ثُمَّ تَفْسِيرُ الْقُرْآنِ ثُمَّ تَدْوِينُ الْمَسَائِلِ الْفِقْهِيَّةِ الْمُوَلَّدَةِ عَنِ الرَّأْيِ الْمَحْضِ ثُمَّ تَدْوِينُ مَا يَتَعَلَّقُ بِأَعْمَالِ الْقُلُوبِ فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَأَنْكَرَهُ عُمَرُ وَأَبُو مُوسَى وَطَائِفَةٌ وَرَخَّصَ فِيهِ الْأَكْثَرُونَ وَأَمَّا الثَّانِي فَأَنْكَرَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ كَالشَّعْبِيِّ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَنْكَرَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَطَائِفَةٌ يَسِيرَةٌ وَكَذَا اشْتَدَّ إِنْكَارُ أَحْمَدَ لِلَّذِي بَعْدَهُ
“Termasuk di antara perkara-perkara yang baru muncul adalah: 1) Kodifikasi (pembukuan) hadits; 2) Kodifikasi tafsir al-Quran; 3) Kodifikasi masalah-masalah fiqih yang lahir dari pemikiran semata; 4) Kodifikasi perkara-perkara yang berkaitan dengan hati (tazkiyah al-nafs).
Poin pertama, awalnya ditolak oleh Umar (bin Khaththab), Abu Musa dan sejumlah shahabat lainnya. Tapi sebagian besar membolehkan. Poin kedua dulu ditolak oleh sejumlah ulama Tabi’in seperti al-Sya’bi. Poin ketiga, dulu ditolak oleh Imam Ahmad dan sebagian kecil ulama lainnya. Begitu juga poin-poin setelahnya sangat ditolak oleh Imam Ahmad.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 13/253).
Semua perkara di atas muncul setelah zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan hanya baik, justru perkara-perkara di atas sangat diperlukan oleh umat Islam yang hidup belakangan.
Fikih berkembang di era tabi’in, lalu tabi’ tabi’in, lalu generasi setelahnya. Bahkan dikodifikasi dalam kitab-kitab karya para imam madzhab. Sanad ilmu fikih empat Imam Madzhab adalah dari tabi’in dan dari shababat radhiallahu ‘anhum.
Sanad fikih Islam dari Madinah bersumber dari Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar, lalu kepada Nafi, Salim, al-Zuhri, Malik, al-Syafi’i dan Ahmad.
Sanad fikih Islam dari Makkah bersumber dari Ibnu Abbas, lalu kepada Amr bin Dinar, Sufyan bin Uyainah, al-Syafi’i dan Ahmad.
Sanad fikih Islam dari Irak bersumber dari Ibnu Mas’ud, lalu kepada Alqamah, Ibrahim, Hamad, Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, Malik dan al-Syafi’i.
Jadi sebuah kekeliruan yang sangat fatal jika dikatakan jika fikih klasik adalah produk dari perang salib. Fikih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ia sudah berkembang dan dikodifikasi (ditadwin) jauh sebelum Perang Salib.
Topik-topik fikih tersebut termasuk konsep pemerintahan/imamah, jihad dan futuhat, konsep al-dar (darul Islam/hijrah, darul kufr/harb), ghanimah, fai’, jizyah, kharaj, dll. Janganlah kebencian pada sebagian umat Islam yang masih gigih menyuarakan penerapan syariah dan khilafah membuat tidak adil dan melakukan pembodohan kepada umat. In sya Allah umat akan makin penasaran dengan kekayaan khazanah fikihnya yang luar biasa. []