FiqihTanya Jawab
Bolehkah Melegalisasi Zina Dengan Konsep Milk Al-Yamin?
Soal:
Bolehkah penggunaan konsep Milk al-Yamîn untuk menjustifikasi hubungan non-marital (di luar akad pernikahan), suka sama suka, sebagai bukan zina, sebagaimana diungkap dalam disertasi Abdul Aziz
Jawab:
Jika penulis menyandarkan kepada Syahrur, yang katanya membolehkan zina, ternyata Syahrur sendiri tidak menyatakan demikian. Bahkan ketika Syahrur, ditanya, “Apakah Syahrur membolehkan zina?” Dengan tegas dia menjawab, “Sama sekali tidak. Semua itu adalah kebohongan.” katanya. Syahrur juga mengakui, ada ayat-ayat Muhkamat, dan itu merupakan ayat-ayat yang tertutup, tidak ada ruang ijtihad di sana.
Mengenai zina dan fâkhisyah, Syahrur menjelaskan: Semua hubungan seksual, yang tidak dibenarkan syariah (ghayr syar’iyyah), disebut fâkhisyah. Semua perbuatan fâkhisyah, baik yang terang-terangan maupun tidak, hukumnya haram. Di sini, Syahrur lalu merinci perbuatan fâkhisyah itu menjadi enam kategori:
- Zina, yaitu hubungan seksual yang dilakukan secara terbuka (di hadapan saksi), disaksikan minimal empat orang, baik pelakunya telah menikah (muhshan), maupun belum (ghayr muhshan). Dalam konteks ini, Allah mengizinkan negara dan masyarakat untuk menghukum pelakunya, dengan 100 cambukan bagi yang belum menikah, dan rajam, bagi yang telah menikah.
- Menikahi Mahram, yaitu hubungan seksual dengan ibu, ayah, saudara atau anak perempuan.
- Menikahi Muhshanah, yaitu berhubungan seksual dengan wanita yang bersuami.
- Sifâh, yaitu lelaki yang berhubungan seksual dengan sejumlah wanita meskipun istri-istrinya sah secara hukum; atau wanita yang berhubungan seksual dengan sejumlah pria; atau hubungan seksual sejumlah wanita dengan sejumlah pria, dan begitu juga sebaliknya.
- Hubungan sejenis (gay), sesama pria, yaitu hubungan seksual sejenis, antara dua pria atau lebih.
- Sahiqât, yaitu hubungan seksual sejenis antara dua perempuan, atau lebih.
Semuanya ini merupakan bentuk fawâkhisy, jamak dari fâkhisyah, dan hukumnya haram. Ini menurut Syahrur.1
Berdasarkan penjelasan Syahrur ini, sebenarnya, Syahrur sendiri tidak menyatakan zina itu boleh. Syahrur menjelaskan bahwa dari sekian perbuatan fâkhisyah itu, zinalah satu-satunya perbuatan yang pelakunya Allah izinkan untuk dihukum bukan hanya negara, tetapi juga oleh masyarakat. Ini memang ada benarnya, sebagaimana dalam kasus zina muhshan. Sebab pelaku zina dirajam, yaitu dilempari batu oleh masyarakat hingga mati. Adapun yang lain, hanya negara yang berhak menghukum.
Karena itu, sekali lagi, ketika Syahrur ditanya, “Apakah Syahrur membolehkan zina?” Dengan tegas dia menjawab, “Sama sekali tidak. Semua itu adalah kebohongan.” katanya. Inilah pendapat Syahrur.
Dari penjelasan Syahrur ini, juga dari kesimpulan yang ditarik oleh Abdul Aziz dan dibenarkan oleh tim penguji di UIN Jogja, bisa dipetakan letak kesalahannya, sebagai berikut:
Pertama, kesalahan kriteria zina, dan ketidakmampuan Abdul Aziz, dan tim penguji di UIN Jogja, membedakan kriteria zina (ahkâm az-zinâ) dan kriteria pembuktian (ahkâm al-bayyinât), yang menyebabkan pelakunya dijatuhi sanksi zina (hadd az-zinâ).
Mengenai kriteria zina, bahwa zina adalah tindakan kriminal yang dilakukan di hadapan orang, maksudnya di hadapan empat saksi, sebenarnya ini tidak menjelaskan kriteria zina, tetapi menjelaskan kriteria nishâb kesaksian, yang menjadikan pelakunya bisa dihukum. Artinya, meski nishâb kesaksiannya kurang, hubungan seksual non-marital, meski dilakukan suka sama suka, tetap disebut zina. Sekalipun dilakukan di tempat tertutup, tidak disaksikan empat saksi, hanya disaksikan oleh tiga, dua, satu saksi, atau bahkan tidak ada saksi. Semuanya ini tetap disebut zina. Zina tidak ada kaitannya dengan berapa saksi, dilakukan suka sama suka, atau tidak. Sebab, definisi zina itu adalah:
الزِّنا هُوَ وَطْءُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ فِي فَرْجِهَا وَطْئًا خاَلِيًا مِنَ الْمِلْكِ وَشُبْهَتِه
Zina adalah persenggamaan pria dengan wanita pada kemaluannya (wanita) dengan persenggamaan yang tidak disertai kepemilikan (seperti budak), atau yang sejenis (seperti nikah) 2
Inilah definsi yang dinyatakan para fuqaha’. Karena itu status persenggamaan (wath’i), oleh para fuqaha’ dipilah menjadi tiga. Salah satunya zina, yang merupakan persenggamaan yang diharamkan: “Persenggamaan itu bisa dibagi menjadi tiga: Pertama, mubah, yaitu persenggamaan dalam pernikahan yang sah, atau dengan budak (perempuan). Kedua, persenggamaan syubhat, yaitu persenggamaan dalam pernikahan yang fâsid (akadnya tidak sah), pembelian (budak) yang fâsid (akadnya tidak sah), atau persenggamaan dengan wanita, yang dikira istrinya atau budaknya (ternyata bukan), atau persenggamaan dengan budak perempuan yang dimiliki bersama, antara dia dengan yang lain. Ketiga, persenggamaan yang haram secara mutlak, yaitu zina. Tidak ada perbedaan, sebagaimana yang telah kami sebutkan, antara zina di vagina maupun anus.” 3
Tentang persenggamaan yang disebut zina? Imam Abu Ya’la al-Farra’ (w. 458 H), dari mazhab Hanbali, menjelaskan:
فَيَجِبُ بِغَيْبُوْبَةِ حَشَفَةِ ذَكَرِ الْبَالِغِ الْعَاقِل فِي أَحَدِ الْفَرْجَيْنِ: مِنْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ مِمَّنْ لاَ عِصْمَةَ بَيْنَهُمَا وَلاَ شُبْهَةَ
(Terjadinya zina) harus disertai tenggelamnya kepala penis pria, baligh dan berakal, pada salah satu kemaluan, baik depan (vagina) maupun belakang (anus), dari orang yang tidak ada izin di antara keduanya, atau syubhat.” 4
Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie menyatakan:
لاَ يُعْتَبَرُ المَرْءُ زَانِيًا، وَلاَ يُقَامُ عَلَيْهِ حَدُ الزّنَا حَتَّى يَتِمَّ إِدْخَالُ رَأْسِ ذَكَرِهِ – اَلْحَشَفَةِ، أَوْ قَدْرِهَا مِنْ مَقْطُوْعِهَا، فِي فَرْجِ آدَمِيَّةٍ، قُبُلاً كَانَ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَمْ دُبُرًا، سَوَاءٌ أَنْزَلَ الْمِنِيُّ أَمْ لَمْ يَنْزِلُ
Seseorang tidak disebut berzina, dan tidak boleh dijatuhi sanksi zina, hingga berhasil memasukkan kepala penis (hasyafah)-nya, atau perkiraannya dari potongan batang (penis bagian depan) di dalam kemaluan perempuan, baik bagian depan (vagina), atau belakang (anus), baik spermannya keluar atau tidak. 5
Inilah definisi, batasan dan kriteria zina. Dalam definisi, batasan dan kriteria zina tersebut tidak ada kriteria zina itu harus dilakukan di tempat terbuka, atau tertutup, diketahui banyak orang atau tidak, dilakukan suka sama suka, atau tidak. Semuanya itu tidak ada hubungannya dengan fakta zina.
Adapun mengenai kriteria pembuktian (ahkâm al-bayyinât) sebenarnya ini masalah lain di luar substansi zinanya itu sendiri. Artinya, ketika kriteria zina itu terbukti, maka perbuatan tersebut disebut zina. Adapun apakah perzinaan tersebut harus dijatuhi sanksi zina (hadd az-zina), ini masalah lain. Dalam hal ini, harus dirinci:
- Kesaksian empat saksi: Empat saksi ini harus laki-laki semua. Jika ada tiga saksi wanita, satu laki-laki, maka nishâb kesaksiannya kurang (Lihat: QS an-Nur [24]: 4).
Selain adanya empat saksi, saksi harus bisa menyebutkan pelaku zina dan pasangannya, kapan waktunya, di mana tempatnya, cara mereka berzina (dengan menjelaskan masuknya penis ke dalam vagina atau anus). Jika salah satu, dari empat ini dia lupa, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.
- Jika empat saksi tidak ada, kemudian pelakunya mengakui perbuatannya, sebanyak empat kali, di majelis yang berbeda, dimana pelaku zina tersebut menyebutkan dengan siapa pasangannya, dan bagaiamana cara mereka berzina, maka mereka dijatuhi hadd ad-zina.6Mengapa cara mereka berzina harus dijelaskan karena boleh jadi mereka mengira apa yang dilakukan itu dia anggap zina, ternyata tidak.
- Perempuan yang tidak mempunyai suami, tetapi hamil, tidak serta-merta dihukumi berzina jika dia tidak mengakui dirinya berzina.7Pasalnya, kehamilan itu bisa terjadi karena zina atau tidak. Misalnya, sperma laki-laki dimasukkan ke dalam kemaluan perempuan tersebut dengan salah satu sebab,8 atau sengaja ditanam “hewan” di dalam rahimnya, tanpa melalui persenggamaan, atau perempuan tersebut dipaksa berzina, dan sebagainya.9
Karena itu dalam konteks perzinaan yang dilakukan suka sama suka, dan tidak ada saksi, tetapi ketika pelakunya mengakui, maka perbuatan tersebut tetap disebut zina, dan pelakunya bisa dijatuhi hukuman. Ini seperti kasus Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah, yang sama-sama telah melakukan zina, dan tidak ada saksi. Masing-masing kemudian dirajam oleh Nabi saw. hingga mati.10
Kedua, kesalahan dan ketidakmampuan Abdul Aziz, dan tim penguji di UIN Jogja dalam memahami fakta dan konsep Milk al-Yamîn, sebagaimana yang dimaksud oleh nash syariah.
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦
Mereka yang menjaga kemaluannya, kecuali dari istri-istri mereka, atau budak-budak mereka. Sesungguhnya mereka tidaklah tercela (QS al-Mu’minun []: 5-6).
Siapa Milk al-Yamîn? Secara harfiah, Milk al-Yamîn adalah milik tangan kanan. Secara umum, Milk al-Yamîn bisa diartikan, “Perempuan yang berada di tangan pemiliknya, bisa karena pernikahan maupun perbudakan.”
Hanya saja, menurut Al-‘Allamah as-Syinqithi, istilah Milk al-Yamîn digunakan dalam al-Quran dengan satu konotasi, yaitu budak perempuan. Dinyatakan: Wal muhshanât min an-nisâ’ illâ mâ malakat aymânuhukum (Perempuan-perempuan yang telah menikah, kecuali yang kalian miliki). Makna ayat ini: Telah diharamkan atas kalian perempuan yang menikah karena perempuan yang sudah bersuami tidak dihalalkan bagi yang lain; kecuali yang dimiliki tangan kalian; yaitu kaum kafir yang didapatkan melalui “Sabi” (rampasan perang). Pasalnya, “Sabi” menghapus hukum suami-istri yang pertama dalam kekufuran. Ini merupakan pendapat yang sahih, dan ini yang dijelaskan kesahihannya oleh al-Quran. Pasalnya, pendapat pertama mengandung konotasi, “Milk al-Yamîn” bisa dibawa pada konotasi apa yang dimiliki dengan pernikahan (istri). Padahal “Milk al-Yamîn” tidak dinyatakan dalam al-Quran, kecuali dengan konotasi dimiliki melalui perbudakan. Ini sebagaimana firman-Nya: Fa min mâ malakat aymânukum min fatâyatikum al-mu’minât (Dihalalkan menikahi) perempuan yang beriman di antara hamba sahaya yang kalian miliki [QS an-Nisa’ (4): 25]). Juga firman-Nya: Wa mâ malakat yamînuka min mâ afâ’alLâhu ‘alayka (Hamba sahaya milikmu, termasuk apa saja yang engkau peroleh dalam peperangan, yang dikaruniakan oleh Allah kepada kamu [QS al-Ahzab (33): 50]). Juga firman-Nya: wa ashâhib bi al-janbi wa ibn as-sabîl wa mâ malakat aymânukum (Tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibn sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki [QS an-Nisa’ (4): 36]). Juga firman-Nya: walladzîna hum li furûjihim hâfizhûn illâ ‘alâ azwâjihim aw mâ malakat aymânuhum (Orang-orang yang menjaga kemaliannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba-hamba sahaya mereka (QS al-Mu’minun [23]: 5-6]), dalam dua tempat. Dengan demikian Dia menjadikan “Milk al-Yamîn” sebagai kategori lain, selain pernikahan. Juga firman-Nya: Jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (pembebasan (QS an-Nur [24]: 33). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Ma Malakat Aymanukum” adalah budak, bukan perempuan yang dinikahi, sebagaimana yang tampak di permukaan.” 11
“Konotasi ini diperkuat oleh sebab turunnya ayat. Karena sebab turunnya ayat ini, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Muslim, dalam kitab Shahîh-nya, dari Abu Sa’id al-Khudri ra. yang berkata, “Kami mendapatkan “Sabi” Authas, yang mempunyai suami. Kami tidak ingin menyetubuhinya, sementara mereka bersuami. Maka, kami bertanya kepada Nabi saw. kemudian turunlah ayat ini, “”Perempuan-perempuan yang telah menikah, kecuali yang kalian miliki.” Karena itu kami mendapatkan kehalalan atas kemaluan mereka.” 12
Ini ditegaskan oleh para fuqaha’, sebagaimana penjelasan Ibn Qudamah di atas: “Persenggamaan itu bisa dibagi menjadi tiga: Mubah, yaitu persenggamaan dalam pernikahan yang sah, atau dengan budak (perempuan)…” 13
Karena itu, pernikahan dan Milk al-Yamîn menjadi sebab persenggamaan yang halal meski masing-masing berbeda sebabnya. Persenggamaan melalui pernikahan dinyatakan jika akadnya sah, tidak fasid, apalagi batil. Adapun Milk al-Yamîn diperoleh melalui jihad, yaitu tatkala perempuan tersebut menjadi “Sabi”, atau jual-beli yang sah, bukan fasid, apalagi batil. Inilah perbedaan fakta di antara kedua hukum, pernikahan dan Milk al-Yamîn, yang menjadi sebab persenggamaan dibolehkan.
Karena itu dengan tidak adanya Milk al-Yamîn, karena tidak adanya “Sabi”, karena tidak adanya jihad, maka sebab persenggamaan melalui Milk al-Yamîn ini sebenarnya tertutup. Karena itu membuka pintu persenggamaan melalui Milk al-Yamîn, tanpa adanya “Sabi”, dan jihad, jelas tidak mungkin.
Dari sini saja, tampak bahwa baik penulis maupun penguji disertasi tersebut jelas tidak bisa memahami fakta dan hukum Milk al-Yamîn ini dengan tepat dan cermat.
Ketiga, kesalahan lain, penulis maupun penguji sama-sama tidak menguasai Ushul Fiqih dan Kaidah Ushul Fiqih dengan baik dan benar, khususnya masalah yang terkait dengan dalâlah dan ‘illat hukum.
Ketidakpahaman mereka tampak ketika mencoba merekonstruksi dalâlah tentang “zina”, juga “Milk al-Yamîn”, yang secara syar’i mempunyai makna dan fakta yang jelas, sebagaimana dijelaskan pada poin pertama dan kedua. Keharaman zina dinyatakan tanpa ‘illat. Kehalalan “Milk al-Yamîn” juga dinyatakan tanpa ‘illat. Karena itu menarik ‘illat dari dua fakta dan hukum ini jelas keliru.
Alhasil, dari kesalahan-kesalahan ini tampak ada agenda yang dipaksakan di balik disertasi sampah ini.
Kesalahan Ushul Fiqih, Kaidah Ushul dan metodologi berpikir ini bisa dirunut, pada poin-poin berikut:
- Lemahnya nalar akademis karena tidak bisa membedakan antara “Qiyas ‘Aqli dan Qiyas Mantiqi” di satu sisi serta “Qiyas Syar’i” di sisi lain. Padahal ini sudah terang benderang di mata ulama pada masa lalu, sebagaimana penilitian Prof. Dr. Sami ‘Ali an-Nasyar, dalam Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiri al-Islâm. Pada masa lalu para ulama jelas-jelas tidak pernah menggunakan Qiyas ‘Aqli dan Qiyas Mantiqi dalam pengambilan hukum,14meski mereka membahas “Qiyas Syar’i”. Ini juga ditegaskan oleh al-Qadhi al-Baidhawi dan al-Isnawi.15
- Membuktikan kesalahan metode berpikir “Tasyrî’i” karena tidak bisa membedakan berpikir untuk memahami hukum (fahm al-ahkam) dengan berpikir untuk menggali hukum (istinbâth al-ahkam). Misalnya, zina haram, memanfaatkan “Milk al-Yamîn” sebagai hak milik boleh, adalah berpikir memahami hukum. Adapun zina bisa disamakan hukumnya dengan “Milk al-Yamîn” sebenarnya, jika penelitinya menguasai cabang hukum fikih yang terkait, seperti akad nikah, akad ijârah, akad tamalluk wa tamlîk, raqq wa istirqâq, ghanîmah, asra dan sabaya, maka dengan mudah bisa menarik kesimpulan, bahwa keduanya berbeda. Karena itu kebolehan “Milk al-Yamîn” tidak boleh ditarik untuk menjustifikasi zina.
- Karena tidak adanya metode berpikir istinbât al-ahkâm pada peneliti, pengkaji dan penilai, pemikiran Syahrur yang mestinya diruntuhkan, karena jelas batil, karena menggunakan “Qiyas Mantiqi”, bahkan menarik “Illat” yang tidak ada ‘Illat-nya, justru digunakan untuk menjustifikasi zina yang secara qath’i hukumnya haram. Bahkan, kemudian dianggap sebagai terobosan baru dalam “mencegah kriminalisasi zina”, atau lebih tepatnya, “legalisasi zina”.
- Kesalahan lain, yang juga tidak kalah pentingnya adalah penggunaan “metode ilmiah” yang tidak pada tempatnya. Pasalnya “metode ilmiah” sebagai metode berpikir yang benar, jika digunakan dalam konteks meneliti benda mati di laboratorium, telah digunakan untuk meneliti pemikiran, apalagi fikih, yang bukan benda mati. Nalar inilah yang digunakan dalam “metode Hermeunitika”, ketika menafsirkan teks al-Quran, dilakukan dengan membuang semua informasi, dan konsepsi yang dimiliki oleh peneliti. Akibatnya, seperti yang kita lihat.
Keempat, melegalisasi zina dengan justifikasi “Milk al-Yamîn”, selain menunjukkan peneliti, pengkaji dan penilainya tidak bisa membedakan perbedaan hukum keduanya, termasuk hukum-hukum yang terkait, seperti akad nikah, akad ijârah, akad tamalluk wa tamlîk, raqq wa istirqâq, ghanîmah, asrâ, dan sabaya,16 juga menunjukkan kesalahan nalar berpikirnya, akibat dari penggunaan logika mantik untuk menarik kesimpulan hukum.
[KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, penjelasan Syahrur, https://www.youtube.com/watch?v=KeS9Vy7Z63Q
2 Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz II/1020.
3 Al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, ad-Dar al-‘Alamiyyah, Beirut, cet. I, 1438 H/2016 M, Juz VI/489-490.
4 Al-Imam Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1403 H/1983 M, hal. 263.
5 Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz II/1022.
6 Dalam hal ini, Al-‘Allamah al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki membedakan, antara pengakuan pelaku zina, dan mengakui perbuatannya. Pengakuan pelaku dinyatakan empat kali, sedangkan pengakuan terhadap perbuatannya cukup dilakukan sekali. Lihat, Al-‘Allamah al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam a-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1410 H/1990 M, hal. 34-35.
7 Pendapat al-‘Allamah al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki menyatakan, bahwa kehamilan bagi wanita yang tidak bersuami bisa dijadikan bukti, bahwa dia berzina. Hanya saja, dalam menjatuhkan sanksi, tetap harus hati-hati. Lihat, Al-‘Allamah al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam a-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1410 H/1990 M, hal. 37-38.
8 Dalam konteks ini ada perbedan pendapat di kalangan fuqaha’, mengenai status boleh dan tidaknya. Tetapi, dari aspek perzinaan, berdasarkan definisi zina di atas, maka praktik ini tidak bisa disebut zina.
9 Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz II/1022.
10 Lihat, Al-‘Allamah al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam a-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1410 H/1990 M, hal. 34.
11 Al-‘Allamah as-Syinqithi, Adhwa’ al-Bayan, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz I/234.
12 Al-‘Allamah as-Syinqithi, Adhwa’ al-Bayan, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1421 H/2000 M, Juz I/234.
13 Al-Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, ad-Dar al-‘Alamiyyah, Beirut, cet. I, 1438 H/2016 M, Juz VI/489.
14 Menurut beliau, Imam Syafii tahu Mantiq Aristoteles, tetapi ketika merumuskan Qiyas Syar’i, sama sekali tidak terpengaruh dengan Mantiq Aristoteles. Justru sebaliknya. Lihat, Prof. Dr. Sami ‘Ali an-Nasysyar, Manahij al-Bahts ‘Inda Mufakkiri al-Islam, Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, Beirut, 1404 H/1984 M, hal. 85.
15 Karena Ushul Fiqih hanya membahas Qiyas yang digunakan dalam fiqih. Para fuqaha’ juga hanya menggunakan Qiyas ‘Illat. Selain itu, seperti Talazum dan Iqtirani, maka yang menyebut keduanya sebagai Qiyas adalah Ahli Mantiq. Lihat, al-Isnawi, Nihayatu as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wushul Ila ‘Ilmi al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, 1420 H/1999 M, Juz II/796.
16 Akad nikah, disebut oleh para ulama’ dengan istbahatu al-manafi’, akad mendapatkan kemubahan untuk memanfaatkan jasa. Berlaku bagi pasangan suami-isteri, bukan untuk yang lain. Berbeda dengan Milk al-Yamîn, yang dimiliki seorang tuan, sebagai hak milik (tamalluk wa tamlik), karenanya bisa digunakan sendiri, atau diberikan kepada orang lain. Meski terhadap masing-masing ada kesamaan dalam hal pemanfaatan, tetapi berbeda. Akad ijarah, akad terhadap jasa dengan kompensasi. Akad nikah bukan akad ijarah, dengan konsekuensi memiliki jasa, dan boleh memindahkan jasa tersebut kepada orang lain. Begitu juga, akad ijarah, meski ada aspek tamalluk dan tamlik, tetapi berbeda dengan perbudakan. Ghanimah adalah rampasan yang diperoleh dari peperangan, bisa dalam bentuk benda mati, maupun hidup. Asra adalah pasukan yang ikut berperang dan dijadikan tawanan. Mereka boleh dibebaskan, dengan atau tanpa tebusan. Adapun Sabaya adalah orang yang terlibat dalam peperangan, seperti wanita, anak-anak dan orang tua. Ketika peperangan usai, status mereka seperti Ghanimah. Dari sinilah, status budak dan perbudakan (raqq wa istirqaq) itu muncul. Hanya, semuanya kembali kepada kebijakan Khalifah.