Tanya Jawab
Bolehkah Berperkara di Pengadilan Darul Kufur?
Soal:
Di dalam surat an-Nisa ayat 60 Allah SWT melarang kita pergi kepada thâghût untuk meminta keputusan hukum. Namun, saat Khilafah tidak ada, setiap negeri Muslim diperintah oleh pemimpin thâghût. Pertanyaannya, jika kita perlu menyelesaikan suatu persengketaan, bisakah kita mengajukan perkara kita ke pengadilan pemimpin thâghût itu?
Asumsikan saja, salah seorang anggota keluarga saya diperkosa. Lalu apakah dibenarkan dia pergi ke pengadilan untuk mendapat keadilan, sementara pengadilan akan dilakukan oleh thâghût demokratis? Tentu mereka tidak menghukumi dengan syariah. Padahal Allah melarang kita ber-tahkim kepada thâghût yang menyelesaikan persengketaan dengan hukumnya sendiri, dengan meninggalkan hukum Allah SWT.
Jawab:
Kami telah mengeluarkan Jawab-Soal pada 18/2/2009. Berikut teksnya:
Boleh bagi orang yang hidup di darul kufur, yang di situ tidak ada mahkamah syar’iyyah, untuk merujuk (datang) ke mahmakah/pengadilan (sekular) guna menolak kezaliman atas dirinya dan menghalangi haknya diambil oleh pihak lain. Dengan syarat, hak itu terbukti secara syar’i miliknya, dan bukan menurut hukum undang-undang mereka yang menyalahi syariah. Misal, orang yang menjadi korban pencurian. Islam mengharuskan untuk mengembalikan kepada dia hartanya yang dicuri itu. Dalam hal ini boleh orang yang kecurian hartanya untuk datang ke mahmakah/pengadilan guna mendapatkan kembali hartanya yang dicuri itu.
Contoh lain, orang menjual rumah kepada seseorang dengan harga sejumlah tertentu dibayarkan di muka, kemudian sisanya diangsur. Lalu pembeli membayar sebagian dari jumlah itu dan menolak membayar sisanya atau dia mengingkarinya, sementara dia telah membeli sekaligus mendiami rumah itu. Islam mengharuskan untuk mengembalikan kepada penjual apa yang menjadi haknya dari pembeli. Oleh karena itu, boleh bagi penjual itu datang ke mahmakah/pengadilan untuk mengembalikan kepada dia harga rumahnya yang diingkari oleh pembeli itu.
Begitu. Artinya, boleh bagi seseoang datang ke mahmakah/peradilan di darul kufur untuk menghalangi kezaliman atas dirinya dan mengembalikan kepada dia apa yang menjadi haknya dengan ketentuan hak itu terbukti miliknya secara syar’i.
Sebaliknya, jika hak itu ditetapkan sebagai miliknya menurut undang-undang positif (sekular), tetapi menyalahi syariah, ia tidak boleh datang ke mahkamah/pengadilan untuk mendapatkan hak yang menyalahi syariah ini. Misal, pemilik saham di dalam syirkah musahamah (PT) yang akadnya batil. Ketika pembagian keuntungan (deviden) kepada para pemilik saham, dia memandang bahwa keuntungan yang diberikan kepada dia menurut nisbah sahamnya lebih kecil dari apa yang menjadi haknya. Dalam hal ini, dia tidak boleh datang ke mahmakah/peradilan darul kufur untuk mendapat semua haknya yang didasarkan pada sahamnya itu. Sebab hak ini ditetapkan sebagai miliknya menurut undang-undang positif, dan itu menyalahi syariah. Sebabnya, syirkah tersebut batil dan apa yang menjadi akibatnya berupa keuntungan itu tidak dibenarkan oleh syariah. Yang wajib bagi seorang Muslim adalah keluar dari syirkah semacam ini.
Misal lain, orang yang menyimpang hartanya dengan riba di bank, dengan bunga tertentu. Lalu bank memberikan bagiannya kepada dia menurut tingkat bunga dengan jumlah lebih sedikit dari yang disepakati dengan bank. Dalam hal ini tidak boleh bagi dia datang ke mahkamah/pengadilan darul kufur untuk menuntut semua jumlah riba itu dan memaksa bank membayar nisbah riba yang jadi haknya. Pasalnya, hak ini ditetapkan menurut undang-undang positif (sekular) yang menyetujui bank-bank ribawi. Hak itu tidak ditetapkan sebagai miliknya menurut syariah. Yang wajib bagi seorang Muslim adalah membatalkan muamalah ribawiyah dengan bank ini.
Begitulah. Artinya, jika seseorang dizalimi atau haknya diambil pihak lain, dan hak itu ditetapkan sebagai miliknya menurut hukum-hukum syariah maka dia boleh datang ke mahmakah/pengadilan darul kufur, tempat dia hidup untuk menghilangkan kezaliman itu atas dirinya dan mengembalikan apa yang menjadi haknya.
Sebaliknya, jika hak itu ditetapkan sebagai miliknya menurut undang-undang positif (sekular) dan bukan menurut hukum syariah, tidak boleh bagi dia datang ke mahkamah/pengadilan darul kufur tempat dia hidup untuk mendapatkan hak ini. Meski demikian, yang lebih afdhal bagi dia adalah berupaya mengembalikan haknya dengan jalan meminta tolong mediator orang-orang baik di tengah masyarakat sebelum dia datang ke mahkamah/pengadilan itu.
Selesai jawaban kami terdahulu.
Saya berharap, di dalam jawaban ini ada kecukupan jawaban.
WalLâh a’lam awa ahkam. [Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah/Amir Hizbut Tahrir]
Sumber:
1 http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/64458.html