Ada seseorang yang berpendapat bahwa politik itu tidak ditetapkan oleh syariat Islam sehingga bentuk Pemerintahan Islam itu bisa bermacam-macam dan tidak baku.
Ia berargumentasi dengan pendapat Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali,
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛
“politik (siyasah) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan, meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya.(I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil’ alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah hal 17, darul hadis)
Dari kalimat _*”meskipun tidak disyariatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada wahyu yang turun tentangnya”*_ inilah ia mengatakan Rasulullah Saw tidak membangun pemerintahan Islam karena memang tidak disyariatkan.
Seharusnya ia jujur dalam mengutip pendapat ulama, tidak asal memotong penjelasan Ibnu Aqil berikutnya
Penjelasan berikutnya secara utuh dari Ibnu Aqil yaitu
فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .
Jika yang Anda maksud dengan Pernyataanmu ‘Tidak ada politik kecuali harus sesuai dengan syariat’ dalam arti politik tidak boleh bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang disebutkan oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.”
Para khulafa’ur rasyidin telah banyak melakukan kebijaksanaan sendiri, terkait dengan hukuman bunuh dan jenis hukuman berat lainnya yang tidak dibantah/ditentang oleh (para sahabat nabi) yang mengetahui. Pembakaran semua mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani dalam rangka menyatukan) maka semata-mata pendapat yang dipegang demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid dan Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.” (I’lamul Muwaqqi’in ‘an rabbil ‘alamin II/649, daru Ibnu al-jauziy, dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah oleh Ibnu Qayyim al-jauziyah, hal 17, darul hadis)
Dari penjelasan berikutnya oleh Ibnu Aqil bisa ditarik kesimpulan bahwa *politik itu harus sesuai dengan hukum syariat namun tidak semua politik itu dijelaskan secara tekstual oleh syariat*. Contohnya seperti yang beliau sebutkan diatas yaitu kebijakan para Khulafaur Rasyidin
Jika kita kaitkan contoh-contoh aktivitas politik para Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan oleh Ibnu Aqil dengan definisi yang rumus beliaukan maka akan tampak bahwa aktivitas politik yang tidak disebutkan secara tekstual oleh syariat adalah
Masalah ijtihadiy terhadap masalah yang muncul yang mana masalah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah Gergaji.
Ibnu Aqil mencontohkan Khalifah Usman bin Affan r.a. memerintahkan untuk membakar semua mushaf dan mengharuskan umat Islam untuk berpegang kepada hanya satu mushaf saja demi menjaga persatuan dan untuk kemaslahatan umat. Ali bin Abi Thalib r.a menghukum kaum zindiq dengan membakar supaya menjadi pelajaran yang lain. Umar bin Khattab mengasingkan Nasr bin hajjaj supaya tidak timbul fitnah karena banyak wanita yang tertarik kepadanya.
Ini semua adalah wilayah ijtihadiy para Khulafaur Rasyidin yang memang menjadi wewenang mereka untuk mengadopsi hukum tertentu.
Perbedaan kebijakan para Khulafaur Rasyidin, selain masalah ijtihadiy, juga bisa terjadi terhadap masalah tekhnis (uslub) dan sarana (wasilah) dalam menjalankan suatu perintah dari nas. Memang masalah tehnis (uslub) ini merupakan masalah cabang yang tidak membutuhkan dalil khusus dan cukup hanya dengan dalil umum pada perbuatan pokoknya.
*Ketika syariat telah menjelaskan dengan dalil pada aktivitas pokok maka dalil itu juga meliputi aktivitas-aktivitas cabang yang merupakan cabang dari aktivitas pokok tersebut*.
Contoh
وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ
Tunaikan zakat (QS Al-Baqarah 277)
Ini merupakan dalil yang bersifat umum. Namun tidak terdapat dalil yang menjelaskan tata cara pengumpulannya, apakah pergi dengan naik kendaraan atau jalan kaki, apakah boleh mempekerjakan para pekerja untuk membantunya ataukah tidak, apakah harus dicatat dalam daftar, apakah harus ditetapkan di tempat tertentu untuk mengumpulkannya, apakah harus digunakan brankas dan seterusnya. Semua itu dan semisalnya merupakan perbuatan-perbuatan cabang dari perintah Tunaikan zakat (QS Al-Baqarah 277).
Semua telah tercakup di dalam dalil-dalil umum tersebut.
Cara-cara administrasi atau cara-cara manajemen itu juga termasuk masalah teknis yang bersifat universal dimana memungkinkan bisa diambil dari sistem manapun kecuali jika terdapat dalil spesifik yang melarang satu cara administrasi tertentu. Contoh Umar bin Khattab r.a. telah mengambil diwan, meniru yang dilakukan oleh raja di Syam, sebagai cara untuk mencatat nama-nama tentara dan rakyat. Catatan itu dibuat dalam rangka membagikan harta kepada mereka baik yang berasal dari harta kepemilikan umum maupun kepemilikan negara dalam bentuk pemberian negara atau gaji.
Jadi perbedaan kebijakan politik para Khulafaur Rasyidin *bukan menandakan tidak adanya perintah untuk mendirikan pemerintah Islam atau tidak adanya sistem baku pemerintah Islam.* Perbedaan itu bisa terjadi pada Ijtihad para Khalifah yang menjadi wewenangnya terhadap persoalan yang baru dan mungkin juga terjadi pada masalah tehnis. Namun yang penting kebijakan para Khulafaur Rasyidin semuanya berpijak dan bersandar kepada dalil-dalil Al-Qur’an dan as-sunah.
Sementara itu Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk berpegang pada sunahnya dan sunah Khulafaur Rasyidin. Dan diantara sunah Khulafaur Rasyidin adalah menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum-hukum Allah. Artinya kita wajib meniru sistem pemerintahan para Khulafaur Rasyidin yaitu sistem khilafah.
Rasulullah Saw bersabda
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Maka wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk, Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jika kita kaji dalil-dalil baik dari Al-Qur’an, as-sunah, ijma’ sahabat dan qiyas maka kita akan mendapatkan gambaran sistem pemerintahan Islam yang khas yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lainnya.
Juga akan didapatkan perkara-perkara pokok yang menjadi pilar pemerintahan Islam yaitu kedaulatan ditangan Syara’, kekuasaan adalah milik umat, mengangkat seorang Khalifah adalah wajib bagi kaum muslim dan hanya Khalifah yang memiliki hak untuk Mengadopsi hukum dan undang-undang negara.
Jadi jelas bahwa Rasulullah Saw telah mensyariatkan sistem pemerintahan Islam, berikut sistem politiknya baik dalam negeri maupun luar negeri.
*Makna politik*
Secara bahasa politik (siyasah) berasal dari kata “Sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti mengurus kepentingan seseorang.
Berkata pengarang kamus mukhith : “sustu ar-ra’iyyah siyasatan amartuha wa nahaituha” artinya Mengatur urusannya dengan perintah dan larangan
Secara istilah maknanya telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’ :
السياسية: رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية
“Siyâsah (politik) adalah pengaturan urusan umat baik dalam maupun luar negeri berdasarkan syari’at Islam.”
Namun definisi yang lebih komprehensif adalah yang dijelaskan oleh syeh Abdul Qadim zallum dalam kitab afkarun siyasiyatun
السـياسـة هي رعاية شـؤون الأمة داخلياً وخارجياً، وتكون من قبل الدولة والأمة، فالدولة هي التي تباشر هذه الرعاية عملياً، والأمة هي التي تحاسب بها الدولة.
Politik (siyasah) adalah pengaturan urusan umat baik dalam negri maupun luar negeri, yang dilaksanakan oleh negara (pemerintah) maupun umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis sedangkan umat mengoreksi kepada pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Definisi politik (siyasah) ini adalah definisi syar’i yang berasal dari dalil-dalil syar’i. Hal ini difahami dari adanya nas-nas yang menjelaskan tugas dan tanggung jawab penguasa dan juga adanya nas-nas yang menjelaskan tentang kewajiban muhasabah umat kepada penguasa atau hubungan antar sesama kaum muslim dalam mengurus urusan mereka maka semua itu menunjukkan makna politik yakni mengurus kepentingan umat.
Definisi politik ini juga merupakan definisi yang umum pada semua orang karena menggambarkan realitas aktivitas politik. Sehingga istilah tersebut mempunyai makna tunggal. Namun demikian masing-masing kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka. Jika sistem politiknya adalah sistem Islam maka pasti akan mengantarkan kemaslahatan dan keadilan, tetapi jika sistem politiknya sekuler maka pasti akan mengantarkan kedzaliman.
Oleh karena itu imam Ibnu Qayyim al-jauziyah dalam kitab i’lamul muwaqqi’in dan ath-thuruq al-hukmiyah fii as-siyasati asy-syar’iyyah, membagi siyasah ada dua jenis yaitu
as-siyasah al-‘adilah dan as-siyasah adz-dzalimah.
Demikian juga Imam Syafi’i memberikan batasan bahwa politik itu harus sesuai dengan syariat sebagaimsna yang dinukil oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H):
لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ السِّيَاسَةُ
“Tidak ada siyasah kecuali yang sejalan dengan hukum syari’ah.”
Yakni yang tidak menyelisihi hukum syari’ah.
Wallahu a’lam bis shawab