Tsaqofah
Benarkah Mengoreksi Penguasa Wajib Empat Mata
Karena Adanya Kata 'Inda dalam Hadits Afdhal al-Jihad?
Pertanyaan
Kata ‘inda pada kalimat ‘inda sulthân[in] jâ’ir[in], dalam hadits afdhal al-jihâd apakah berkonotasi empat mata, yakni di hadapan penguasa empat mata saja?
Yakni menyoal hadits ini, Rasulullah Saw. bersabda:
«أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar pada pemimpin yang zhalim.” (HR. Al-Hakim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Thabrani, al-Baihaqi)
Ada pertanyaan menarik dari perspektif bahasa:
“Kata ‘inda sulthon’ dipahami lain oleh sebagian orang yang justru melarang aktivitas mengoreksi penguasa di depan umum, mohon dijelaskan ustadz… ”
Jawaban
Pertama, Kesimpulan tersebut bisa dinilai sebagai kesimpulan prematur, mengingat kesimpulan tersebut bertolak belakang dengan riwayat-riwayat yang menjadi argumentasi kokoh kebolehan mengoreksi penguasa zhalim secara terbuka, mencakup keteladanan Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Kedua, Kata ‘inda, tak harus menunjukkan keharusan empat mata, sesuai dengan kajian dalam perspektif ilmu nahwu, dimana lafal ini berlaku untuk kata benda yang hâdhir (di hadapan mata) atau ghâib (tidak berada di hadapan mata).
Kata ’inda merupakan keterangan tempat (zharf makân[in]), berlaku untuk kata benda yang hadhir (di hadapan mata) atau ghaib (tidak berada di hadapan mata), sebagaimana keterangan yang disebutkan oleh Syaikh al-Adib al-Nahwi Mushthafa al-Ghulayaini (w. 1364 H):
أمّا “عند” فتكون للحاضر والغائب
“Adapun huruf ’inda, maka ia berlaku baik untuk sesuatu yang berada di depan mata atau ghaib.”[1]
Misalnya pada kalimat:
عِنْدِيْ مَالٌ
“Di sisiku terdapat uang.”
Artinya saya memiliki uang, meskipun uang tersebut sifatnya gaib, tersimpan jauh di suatu tempat misalnya tidak ada di hadapan mata (misalnya di ATM, dsb). Berbeda dengan lafal لدن, yang berlaku untuk kata benda yang “hadhir”, dan hadits ini menggunakan diksi عِنْد, bukan لدن. Maka, kalimatu haqq[in] ’inda sulthân jâ’ir, bisa jadi kalimat yang haq tersebut disampaikan di hadapan penguasa (hâdhir) atau tidak di hadapannya (yakni ghâib namun sampai kepadanya dengan berbagai sarana).
Pada aspek ini, kita pun tidak menemukan adanya petunjuk lain keharusan empat mata, kita berbicara di hadapan seseorang, bisa jadi di depan orang banyak atau hanya berdua, sehingga untuk sampai pada kesimpulan keharusan empat mata, diperlukan petunjuk (qarînah) lainnya yang mendukung, dan realitasnya, tidak ditemukan adanya petunjuk tegas tersebut.
Misalnya kalimat:
جلَسْتُ عِنْدَ فُلانٍ
“Saya telah duduk di samping/di sisi seseorang.”
Pada kalimat tersebut, kita tidak menemukan petunjuk apakah “saya” duduk berdua saja, atau duduk di samping orang lain di tempat publik, misalnya di bandara. Kita bisa tentukan jika ada keterangan lebih lanjut yang menunjukkan bahwa kebersamaan tersebut berdua saja, atau di hadapan banyak orang. Maka jelas bahwa dari sisi manapun, mengoreksi penguasa tidak wajib empat mata, boleh secara terbuka, sesuai dengan kemaslahatan yang harus dipertimbangkan dengan timbangan syari’ah. []
Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I
Khadim Ma’had Du’at al-Furqan
Penulis Buku ”Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah: Tafsir & Balaghah Ayat-Ayat al-Qur’an & Hadits-Hadits Nabawiyyah”
[1] Mushthafa bin Muhammad Salim Al-Ghulayaini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. Ke-28, 1414 H, juz III, hlm. 61.